Anya bermimpi untuk memiliki kehidupan yang sederhana dan damai. Namun, yang ada hanyalah kesengsaraan dalam hidupnya. Gadis cantik ini harus bekerja keras setiap hari untuk menghidupi ibu dan dirinya sendiri. Hingga suatu malam, Anya secara tidak sengaja menghabiskan malam di kamar hotel mewah, dengan seorang pria tampan yang tidak dikenalnya! Malam itu mengubah seluruh hidupnya... Aiden menawarkan Anya sebuah pernikahan, untuk alasan yang tidak diketahui oleh gadis itu. Namun Aiden juga berjanji untuk mewujudkan impian Anya: kekayaan dan kehidupan yang damai. Akankah Anya hidup tenang dan bahagia seperti mimpinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Tyger, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 08 - Tawaran Mengejutkan
Begitu memasuki ruang kerja Aiden, Anya kembali terpukau. Ruangannya luas dan sangat mewah. Meja kerja hitam berdiri megah, sementara tumpukan dokumen tersusun di atasnya. Di sisi lain ruangan, ada sofa besar yang bahkan bisa dijadikan tempat tidur. Bahkan saat dulu ia masih tinggal bersama ayahnya yang kaya, ia tidak pernah punya sofa sebesar itu.
Di dekat sofa, ada sebuah pintu terbuka yang ternyata mengarah ke kamar tidur. Anya terkejut. “Kantor macam apa yang punya kamar pribadi di dalamnya?”
Sayangnya, ruangan mewah ini tidak mendapat cahaya matahari karena jendelanya selalu tertutup tirai tebal. Tapi Anya bisa membayangkan betapa indahnya ruangan ini jika sinar matahari bisa masuk. Ia juga membayangkan betapa indahnya pemandangan kota dari balik jendela besar itu.
Aiden duduk di sofa sambil mengamati ekspresi Anya yang takjub dengan ruangan tersebut. Melihat mulut wanita itu sedikit menganga membentuk huruf O membuatnya tersenyum. Baginya, wanita ini terlalu menarik untuk tidak diperhatikan.
Aiden berdeham pelan, menyadarkan Anya dari keterpakuannya. Anya buru-buru duduk di sofa seberangnya. Namun lagi-lagi, Aiden tidak mengatakan apa-apa. Membuat suasana kembali canggung.
Anya merapikan rambut ke belakang telinga. Ia gugup, tidak tahu harus berbuat apa.
“Aku… aku dengar kamu mencariku?” tanya Anya pelan, berusaha memecah keheningan.
“Hmm…” Aiden hanya menjawab dengan gumaman pelan, tidak menjelaskan maksud sebenarnya.
Melihat Aiden begitu irit bicara, Anya makin bingung. “Kenapa pria ini begitu misterius? Untuk apa dia mencariku? Tapi sekarang malah diam begini?”
Ia mengumpulkan keberanian untuk kembali bertanya. “Sebenarnya… kenapa kamu mencariku?” suaranya pelan, penuh rasa hati-hati.
Aiden menatapnya tenang dan berkata, “Bukankah kamu yang awalnya menolak bertemu denganku?”
Anya menunduk. Pertanyaan itu membuat jantungnya berdegup kencang. Ia memang menolak dijemput oleh Abdi dan sempat bersikeras tidak ingin bertemu. Tapi sekarang, ia membutuhkan bantuan pria ini. Ia harus segera mencari alasan.
“Aku… aku hanya tidak biasa naik mobil orang asing. Aku memang berniat menemuimu setelah dari rumah sakit menjenguk Ibu,” jawab Anya gugup. Itu satu-satunya alasan yang bisa ia pikirkan saat ini.
Alis Aiden terangkat. Ia tahu Anya berbohong. Tapi ia tidak mempermasalahkannya. Yang terpenting, wanita itu sudah ada di depannya sekarang.
Tatapan pria itu membuat Anya makin tak tenang. “Apa dia tahu aku bohong? Apa aku harus bilang yang sebenarnya?”
Namun sebelum ia berkata apa-apa lagi, pintu ruangan terbuka. Elise masuk membawa dua cangkir teh, meletakkannya di hadapan mereka berdua.
Anya mengucapkan terima kasih, tapi Elise bahkan tidak menoleh. Ia langsung menghadap Aiden, menunggu respons dari pria itu.
Tapi Aiden tidak berkata apa-apa. Ia tidak menoleh, tidak menyentuh teh itu sedikit pun.
Aiden tahu Elise sengaja masuk bukan hanya karena teh. Ia pasti penasaran dengan Anya. Jika Elise bukan pegawai yang cekatan dan berpengalaman, mungkin ia sudah lama ia pecat.
Elise sudah lama bekerja dengannya. Ia tahu betul ritme kerja perusahaan. Sayangnya, Aiden sadar belakangan ini Elise mulai berani menunjukkan rasa suka padanya. Dulu mungkin hanya dari kejauhan. Tapi kini, ia berani masuk ruangan tanpa izin dengan dalih mengantar teh.
Apa dia harus memecatnya? Harris saja sebenarnya sudah cukup.
Setelah meletakkan teh, Elise tidak segera pergi. Ia berdiri di samping Aiden seperti menunggu perintah.
Aiden mengangkat tangannya, memberi isyarat agar Elise keluar.
Dengan berat hati, Elise akhirnya pergi. Namun langkahnya tampak enggan dan kecewa.
Anya memperhatikan kepergian Elise dengan pandangan waswas. Ia merasa lebih nyaman tadi ketika wanita itu masih berada di ruangan ini. Kini, ia kembali sendiri berhadapan dengan Aiden.
Apa yang harus aku katakan sekarang? Haruskah aku langsung jujur dan minta bantuan padanya?
Suasana sunyi kembali menyelimuti ruangan.
Dan di benaknya, hanya ada satu pertanyaan besar:
Haruskah aku benar-benar memohon... padanya?
Ruangan itu kembali sunyi. Hanya ada mereka berdua, ditemani dua cangkir teh yang terlantar di atas meja.
Aiden bersandar santai di sofanya, menatap Anya yang duduk di hadapannya dengan wajah panik. Gadis itu tampak seperti kelinci kecil yang ketakutan, seolah Aiden adalah harimau yang siap menerkamnya. Duduknya tegak dan waspada, seakan jika ia lengah sedikit saja, dirinya bisa lenyap ditelan situasi.
Anya menyibakkan helaian rambut yang menutupi pipinya. Tangannya tanpa sengaja menyentuh luka bekas tamparan Mona. Rasa perih langsung terasa, membuat wajahnya meringis menahan sakit.
Aiden mengamati gerak-gerik Anya. Matanya langsung fokus saat melihat raut kesakitan itu. Tanpa pikir panjang, ia berdiri dan mencondongkan tubuh ke depan, tangannya meraih dagu Anya agar bisa melihat wajahnya lebih jelas.
Sentuhannya sedikit kasar karena tergesa-gesa, membuat Anya kesakitan. Dari jarak sedekat itu, Aiden bisa melihat bekas luka samar yang ditutupi bedak tipis. Luka itu begitu halus hingga sulit dikenali jika tidak diperhatikan seksama.
Saat-saat seperti inilah Aiden merasa frustrasi dengan penglihatannya yang tidak lagi sempurna. Dulu, sedikit saja ada perubahan, ia pasti akan menyadarinya. Tapi sekarang, karena matanya tak sebaik dulu, ia bahkan gagal melihat bahwa Anya terluka hanya karena gadis itu menutupinya.
Anya terdiam saat Aiden memegang dagunya. Ia terpaku melihat wajah tampan pria itu hanya beberapa senti dari wajahnya. Jantungnya berdebar kencang, wajahnya memanas sampai ke telinga. Ia tak terbiasa sedekat ini dengan pria mana pun.
Tapi Aiden tidak peduli dengan rona merah di wajah Anya. Ia hanya fokus memperhatikan luka kecil itu, menahan emosi yang membuncah di dadanya. Siapa yang berani menyakitinya seperti ini?
Menyadari bahwa Aiden tak berniat melepas tangannya, Anya segera menarik diri, tersenyum tipis untuk menenangkan suasana.
“Aku nggak apa-apa. Tadi cuma nggak sengaja ke gores kuku sendiri,” ucapnya pelan.
Aiden kembali duduk, namun auranya tidak lagi setenang sebelumnya. Suasana seketika menjadi menegangkan. Amarahnya memang tidak ditujukan pada Anya, tapi karena hanya mereka berdua di ruangan ini, Anya yang merasakannya paling kuat.
Aiden tahu Anya berbohong. Kukunya pendek dan terawat, mustahil bisa melukai pipinya seperti itu. Ia makin kesal karena ia tahu dirinya bukan siapa-siapa bagi Anya. Jika gadis itu tidak mau bicara, ia pun tidak punya hak untuk memaksa.
Melihat ekspresi Aiden yang berubah dingin, Anya jadi bingung. Kenapa pria ini tiba-tiba marah? Apa karena aku menolak bertemu dengannya sebelumnya? Apa sekarang dia tak ingin bicara denganku lagi?
Akhirnya, Anya memutuskan untuk berkata jujur. “Maaf karena tadi aku menolak dijemput. Tapi sekarang aku benar-benar butuh bantuanmu,” katanya akhirnya.
“Bantuan seperti apa?” tanya Aiden datar. Padahal ia sudah tahu semua informasi tentang Anya, tapi suasana hatinya sedang buruk jadi nadanya terdengar sangat dingin.
“Aku butuh uang untuk biaya rumah sakit ibu. Bisa… bisa pinjamkan aku uang? Aku janji akan mengembalikannya secepat mungkin,” Anya menarik napas dalam dan melanjutkan, “Atau aku bisa bekerja untukmu. Apa pun pekerjaan yang kamu punya…”
Kata-katanya terasa berat. Ini adalah satu-satunya harapan terakhirnya. Jika Aiden menolak… ia benar-benar tidak tahu harus bagaimana lagi.
Aiden hanya menatapnya tanpa ekspresi. Anya tak bisa membaca pikirannya. Tidak ada tatapan kasihan, tapi juga tidak ada penolakan. Ia hanya bisa menunggu.
“Kenapa aku harus membantumu? Kamu bahkan nggak tahu siapa aku,” tanya Aiden.
“Benar…” Anya mengangguk pelan. Ia memang tak mengenal Aiden. Bahkan setelah mengamati pria itu berulang kali, ia tetap tak bisa mengingat apakah mereka pernah bertemu sebelumnya.
“Kamu benar-benar nggak ingat aku?” tanya Aiden lagi.
“Kita… pernah kenal sebelumnya? Pernah bertemu?” balas Anya dengan pertanyaan. Ia benar-benar tidak tahu. Kalau pun pernah bertemu, mana mungkin ia melupakan sosok seperti Aiden?
“Coba ingat-ingat sendiri,” jawab Aiden datar, tanpa memberikan petunjuk apa pun tentang hubungan mereka di masa lalu.
“Aku akan mencoba mengingat… tapi sekarang aku benar-benar butuh bantuan,” ucap Anya putus asa. “Aku bisa jadi asisten pribadi. Aku bersedia lakukan pekerjaan apa saja.”
“Aku tidak butuh asisten pribadi. Harris sudah cukup,” jawab Aiden cepat.
Anya tidak tahu siapa Harris, tapi dari nada Aiden, sepertinya pria itu sangat dipercaya.
“Aku juga sudah punya banyak pelayan,” lanjut Aiden.
Ucapan itu membuat semangat Anya runtuh. Harapan yang tadi ia genggam mulai runtuh pelan-pelan. Mungkin ini salahnya. Kenapa ia menolak bertemu Aiden pagi tadi? Sekarang, saat ia membutuhkan bantuannya, pria itu malah tidak ingin menolong.
Ia menunduk, mencari ide apa pun yang bisa ia tawarkan agar Aiden mau membantu.
Tapi pikirannya kosong. Tak ada satu pun ide yang muncul.
Aiden memperhatikan wajah bingung Anya saat ditolak. Bukan karena ia tidak ingin membantu. Ia hanya tidak membutuhkan pembantu… atau asisten. Karena ia punya rencana lain.
“Aku bisa membantumu,” ucap Aiden, menatap lurus ke mata Anya.
Kalimat itu membuat kepala Anya langsung terangkat. Matanya yang tadinya redup seperti menemukan cahaya.
“Kamu… kamu mau bantu aku?” suaranya bergetar, tak percaya.
Aiden mengangguk pelan. “Hmm.”
Anya begitu senang sampai ingin berdiri dari kursinya. Akhirnya! Ada seseorang yang mau membantunya!
“Aku bersedia lakukan apa pun. Aku bisa bersih-bersih rumah, masak, cuci baju, angkat barang apa saja!” ucapnya antusias.
Ia menatap Aiden penuh harap. Apa pun pekerjaan yang diberikan, ia akan lakukan demi bisa membayar perawatan ibunya.
Aiden menatap wajah penuh semangat itu dengan tenang. Lalu ia berkata dengan suara yang mantap: “Menikahlah denganku.”