Shanaira Monard tumbuh dalam keluarga kaya raya, namun cintanya tak pernah benar-benar tumbuh di sana. Dicintai oleh neneknya, tapi dibenci oleh ayah kandungnya, ia menjalani hidup dalam sepi dan tekanan. Ditengah itu ada Ethan, kekasih masa kecil yang menjadi penyemangatnya yang membuatnya tetap tersenyum. Saat calon suaminya, Ethan Renault malah menikahi adik tirinya di hari pernikahan mereka, dunia Shanaira runtuh. Lebih menyakitkan lagi, ia harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya tengah mengandung anak dari malam satu-satunya yang tidak pernah ia rencanakan, bersama pria asing yang bahkan ia tak tahu siapa.
Pernikahannya dengan Ethan batal. Namanya tercoreng. Keluarganya murka. Tapi ketika Karenin, pria malam itu muncul dan menunjukkan tanggung jawab, Shanaira diberi pilihan untuk memulai kembali hidupnya. Bukan sebagai gadis yang dikasihani, tapi sebagai istri dari pria asing yang justru memberinya rasa aman.
Yuk ikuti kisah Shanaira memulai hidup baru ditengah luka lama!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Volis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3. Luka + Luka
Aula pernikahan dipenuhi tamu yang berdiri dari kursinya, bersiap menyambut kehadiran pengantin wanita. Musik lembut mengalun dari kuartet gesek di sudut ruangan. Lampu kristal bergemerlap di atas kepala, menyinari setiap wajah yang tersenyum menanti.
Ethan berdiri tegap di depan altar, jas putih gading membalut tubuhnya sempurna. Namun di balik senyum tipisnya, jantungnya berdegup kacau. Tangannya dingin. Ia menarik napas dalam-dalam, menahan kegelisahan yang tak kunjung reda.
Beberapa langkah dari aula, di balik tirai yang memisahkan lorong utama, Shanaira berdiri sambil menggenggam lengan Oma Aini. Gaun putihnya menjuntai anggun, wajahnya dirias lembut, dan sorot matanya menenangkan… namun tak berlangsung lama.
“Sayang, kau siap?” tanya Oma Aini dengan suara lembut.
Shanaira mengangguk, tapi tangannya mulai melemah. Pandangannya terasa berputar. Suara tamu di dalam aula terdengar seperti gema jauh, dan musik perlahan memudar dalam telinganya.
“Aku…” gumamnya, “kenapa rasanya… pusing…”
Oma Aini langsung menoleh, “Shana? Shanaira?”
Tubuh Shanaira limbung. Sebelum sempat memberi peringatan, seluruh tubuhnya ambruk ke lantai, gaun putihnya mengembang tak berdaya di marmer dingin.
“Astaga! Tolong! Seseorang bantu!” teriak Oma Aini panik.
Panik menyebar. Dua bridesmaid segera berlari menghampiri, sementara staf hotel tergopoh membawa air dan memanggil petugas medis. Musik berhenti seketika, digantikan oleh gumaman bingung para tamu.
Di dalam aula, Ethan merasakan dadanya mencelos. Saat mendengar kekacauan di luar tirai, langkahnya spontan maju, wajahnya pucat.
“Ada apa?” tanyanya keras. “Shanaira kenapa?!”
Claira yang berdiri di dekat kursi depan menunduk, wajahnya sulit dibaca. Ia tahu… dan hatinya berdenyut sakit karena ini semua bukan hanya tentang Ethan atau Shanaira—tapi juga tentang apa yang telah ia biarkan terjadi.
Shanaira masih tak sadarkan diri, wajahnya pucat seperti kertas. Oma Aini memeluknya erat, air matanya tumpah tanpa bisa dicegah.
Ethan menerobos keluar altar, melempar jasnya, dan berlari menuju arah kerumunan di balik tirai.
“Shanaira!!!”
Saat ia melihat tubuh gadis itu tergeletak, Ethan nyaris kehilangan napas. Ia jatuh berlutut di sampingnya, menggenggam tangan Shanaira yang dingin.
“Maafkan aku…,” bisiknya lirih, bahkan sebelum Shanaira bisa mendengarnya.
Tapi dia tahu…
Momen hari ini telah berubah. Bukan lagi tentang cinta yang sempurna. Tapi tentang luka yang belum selesai.
***
Ruang medis hotel dipenuhi ketegangan yang menggantung pekat di udara. Shanaira masih terbaring tak sadarkan diri di atas ranjang, wajahnya pucat, napasnya pelan dan stabil di bawah pengawasan perawat.
Oma Aini duduk di sampingnya, menggenggam tangan cucunya yang dingin. Wajahnya penuh kekhawatiran, tapi ia tetap kuat. Ia harus kuat, karena hanya ia yang Shanaira miliki.
Seorang dokter wanita keluar dari ruang konsultasi, membawa hasil pemeriksaan lengkap. Ia menghampiri Nenek Aini, diikuti Ethan yang baru datang bersama kedua orang tuanya, Hazard Renault dan Daisy Renault.
“Bagaimana keadaan cucu saya, Dok?” tanya Oma Aini cepat.
“Secara umum, kondisi fisiknya stabil. Dia hanya kelelahan dan kurang tidur,” jawab sang dokter hati-hati. “Tapi kami menemukan sesuatu dalam hasil pemeriksaan. Shanaira sedang hamil—sekitar empat minggu.”
Suasana seketika membeku. Semua mata terarah pada dokter, lalu ke arah ranjang tempat Shanaira masih tak sadar.
Ethan menegang. “Apa...?”
Daisy menoleh dengan sorot tajam. “Apa maksudnya ini, Ethan? Dia hamil? Sebelum menikah? Ini memalukan!”
Hazard menggeram pelan. “Kau menyentuhnya sebelum sah?”
Ethan mundur setengah langkah, wajahnya kehilangan warna. “Tidak! Aku... aku bahkan belum pernah bersama dia… aku—aku baru...”
Dan di tengah keterkejutan itu, Claira melangkah masuk perlahan. Di belakangnya, Refina berdiri dengan senyum tipis di wajahnya. Claira mengenakan gaun pesta biru muda, rambutnya tergerai sempurna, dan wajahnya sangat mirip dengan Shanaira—cukup untuk mengelabui siapa pun di malam yang kelabu.
Ethan menatap Claira dengan sorot mata hancur. “Claira… malam itu…”
Claira tidak menjawab, hanya menatapnya balik dengan pandangan rumit—campuran dari kemenangan, luka, dan cinta yang tak pernah tersampaikan.
Refina akhirnya angkat suara. “Mungkin ini jalan Tuhan. Tidak jadi menikah, tapi dapat calon cucu. Bukankah itu menggembirakan, Daisy?”
Daisy berbalik menatap Refina dengan tatapan menusuk. “Kau jangan ikut campur! Ini masalah keluarga kami!”
“Masalah yang melibatkan anakku juga,” ujar Refina kalem, tangannya menyentuh bahu Claira. “Mungkin sekarang kau sadar, siapa perempuan yang lebih layak berdiri di altar bersama putramu.”
Ethan memejamkan mata, kepalanya tertunduk. Rasa bersalah menyesakkan dadanya. Shanaira—perempuan yang ia cintai sejak kecil—terbaring tak sadar, tubuhnya mengandung kehidupan, dan semua orang kini saling menuding di sekitarnya… seolah dia biang dari segala kekacauan ini.
Tapi dia tahu, kebenaran itu belum seluruhnya terungkap.
Dan luka ini baru saja mulai berdarah.
***
Gemuruh suara para tamu di aula mulai berubah menjadi bisik-bisik tajam yang menyebar seperti api. Kabar bahwa sang pengantin wanita pingsan dan untuk sementara pernikahan di undur sampai sang pengantin wanita sadar telah menyebar cepat. Dan di tengah itu semua, seseorang baru tiba dengan langkah cepat dan wajah memerah karena emosi.
Ansa Monard—ayah Shanaira.
Pria paruh baya itu mendorong pintu ruang medis dengan kasar, napasnya memburu, wajahnya merah padam. Tatapannya langsung tertuju pada tubuh putrinya yang terbaring lemah di ranjang.
“APA YANG TELAH DIA LAKUKAN?!” teriaknya, membungkam seisi ruangan.
Oma Aini berdiri dengan marah. “Ansa, turunkan suaramu! Ini bukan waktunya—”
“Bukan waktunya? Dia memalukan keluarga kita di depan ratusan orang!” Ansa menunjuk ke arah tubuh putrinya. “Dia hamil sebelum menikah! Apa yang akan kukatakan pada para tamu? Apa yang akan dikatakan pejabat, rekan-rekanku, orang-orang itu—tentang Monard yang tak bisa mengurus anak perempuannya sendiri?”
Daisy Renault mendekat, menyilangkan tangan. “Kami juga tidak bisa menerima ini. Maaf, tapi pernikahan ini tidak akan dilanjutkan. Putra kami tidak bisa menikahi gadis yang... membawa aib seperti ini.”
Hazard Renault mengangguk, tegas. “Ethan akan menikah dengan perempuan yang lebih layak. Perempuan dari keluarga yang baik—dan yang bisa menjaga kehormatan diri.”
"Bagaimana kalau Claira saja yang menikah dengan Ethan? Daripada pernikahan ini batal dan mempermalukan keluarga." Usul Refina tiba-tiba.
Semua mata lalu perlahan berpindah ke arah Claira, yang berdiri sedikit di belakang ibunya. Gadis itu menunduk, tapi senyumnya kecil, samar, menyelinap di sudut bibir.
Refina menyentuh pundaknya berbisik. “Claira... sudah waktunya kau mengambil tempat yang memang seharusnya untukmu.”
Ethan menoleh dengan cepat. “Apa maksud kalian? Aku dan Shanaira bisa tetap menikah setelah Shanaira menggugurkan kandungannya.”
Hazard menatap putranya dengan dingin. “Kau akan bertanggung jawab, Ethan. Kau ingin keluarga kita malu dan tidak mungkin kau membiarkan skandal ini memburuk. Berapa lama kita harus menunggu Shanaira menggugurkan kandungannya? Dan apakah dia mau? Tidak mungkin kita memberitahu semua ini kepada tamu undangan."
"Mau di taruh di mana muka keluarga kita! Pokoknya Claira akan menjadi istrimu. Hari ini!”
Darah Ethan mengalir turun. “Tidak… Ayah, aku tidak bisa. Aku—aku mencintai Shanaira!”
“Cinta tidak ada artinya dibandingkan kehormatan keluarga,” desis Daisy. “Kita tidak akan membiarkan keluarga Renault jadi bahan gunjingan hanya karena emosi remaja.”
Ethan mundur setapak, wajahnya panik, matanya kembali melirik ke arah Shanaira yang masih tak bergerak di ranjang. Ia bahkan belum tahu. Ia belum bisa membela dirinya sendiri.
Claira melangkah maju, suaranya tenang. “Aku… bersedia,” katanya sambil menatap Ethan dalam-dalam. “Kalau itu bisa menyelamatkan semua pihak… aku tidak keberatan.”
Dan dengan kalimat itu, nasib yang awalnya dipersiapkan untuk Shanaira, kini direbut oleh bayangan dirinya—adik tiri yang selama ini memendam rasa dan dendam dalam diam.
Sementara di ranjang, Shanaira tetap terbaring dalam ketidaksadaran, tidak tahu bahwa takdirnya telah direbut… oleh darah dagingnya sendiri.
shanaria biar ketemu bapak dari adek bayi yang ada diperutnya 😌
baca pelan2 ya sambil rebahan 🤭
salam kenal dari 'aku akan mencintaimu suamiku,' jangan lupa mampir 🤗
jangan lupa mampir jg di Menaklukan hati mertua mksh