Jovita Diana Juno dikhianati oleh kekasihnya sendiri, Adam Pranadipa tepat tiga bulan sebelum pernikahan mereka. Sementara itu, Devan Manendra lekas dijodohkan dengan seorang anak dari kerabat ibunya, namun ia menolaknya. Ketika sedang melakukan pertemuan keluarga, Devan melihat Jovita lalu menariknya. Ia mengatakan bahwa mereka memiliki hubungan, dan sudah membicarakan untuk ke jenjang yang lebih serius. Jovita yang ingin membalas semua penghinaan juga ketidakadilan, akhirnya setuju untuk berhubungan dengan Devan. Tanpa perasaan, dan tanpa rencana Jovita mengajak Devan untuk menikah.
update setiap hari (kalo gak ada halangan)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nisa Amara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20
Mereka makan dalam suasana tenang. Sesekali Devan melirik ke arah Jovita tanpa benar-benar menoleh, seperti ingin mencuri pandang. Setiap kali ia mendapati Jovita mengunyah dengan mulut penuh dan pipi yang mengembul, ujung bibirnya terangkat sedikit, senyum kecil yang bahkan ia sendiri tak sadar muncul. Ia cepat-cepat menggeleng, berusaha menahan tawa.
Jovita yang sedang menikmati suapan berikutnya tiba-tiba merasakan tatapan itu. Ia langsung menatap Devan balik, curiga.
“Kenapa senyum-senyum?” tanyanya. Dahinya terlipat, ekspresinya seperti sedang menuduh sesuatu.
Devan segera meratakan wajahnya. “Siapa yang senyum-senyum?”
“Kamu.” Jovita mengarahkan dagunya pada Devan, seperti bukti tak terbantahkan.
Devan mengangkat sebelah alis, tenang. “Enggak tuh.”
Jovita mendesis frustrasi, tapi tidak melanjutkan perdebatan. Ia kembali fokus pada makanannya, meski jelas masih sebal. Devan sempat menahan tawa lagi, namun tetap hanya tersenyum dalam hati.
Namun tiba-tiba Jovita tersedak. Suara batuknya pecah, membuatnya membungkuk sedikit, air mata mulai mengumpul di sudut mata. Devan langsung bereaksi. Ia mengambil gelas air tanpa pikir panjang dan menyodorkannya dengan cepat namun hati-hati.
“Makan pelan-pelan,” ucapnya lembut sambil menahan tawa kecil yang hampir lolos. “Aku gak bakal rebut milikmu.”
Setelah piring terakhir kosong, Devan menggeser kursinya pelan dan mulai membereskan sisa-sisanya. Ia merapikan alat makan dan membuang bungkus-bungkus makanan dengan gerakan yang rapi dan teratur. Sementara itu, Jovita bangkit dan berjalan ke toilet.
Begitu wanita itu kembali, Devan langsung meliriknya sekilas sebelum fokus lagi pada dokumen tebal di tangannya.
“Bantu aku sini,” ucapnya tanpa melihat.
Jovita mengembuskan napas pendek, jelas tidak terlalu antusias. Tapi ia tetap melangkah mendekat dan duduk di sebelah Devan. Mata Jovita menatap dokumen yang tergeletak di meja dengan setengah hati. Setelah makan, kelopak matanya terasa berat.
“Tandain kejadian pentingnya. Tau kan?” kata Devan sambil menyodorkan dokumen itu ke arahnya.
“Hm. Aku udah sering liat di drama,” gumam Jovita pelan, menerima kertas itu dan membaca sepintas. Meski malas, rasa penasaran membuat matanya tetap bergerak mengikuti baris-baris tulisan.
Tak lama kemudian Devan berdiri. Gerakannya cukup tiba-tiba hingga Jovita menatap penuh tanda tanya.
“Mau kemana?”
“Mandi,” jawab Devan singkat sambil berjalan masuk ke kamar tanpa menunggu reaksi.
Jovita mengerjapkan mata, lalu kembali menunduk pada dokumen di tangannya. Setelah beberapa detik, pandangannya teralih ke tumpukan dokumen lain di meja. Ada banyak.
Rasa kantuknya langsung sedikit buyar. Ia mengambil satu, membuka halamannya, lalu menatapnya dengan mulut terbuka kecil.
“Jadi pekerjaannya sebanyak ini?” gumamnya, tak percaya.
Begitu Devan selesai mandi dan kembali ke ruang tamu, ia langsung berhenti di ambang pintu. Di sana, Jovita sudah tertidur pulas dengan posisi yang membuatnya tampak rapuh dan lucu sekaligus. Kepalanya terkulai di atas meja, satu tangan masih menggenggam dokumen seolah berusaha bertahan untuk tidak kalah dari rasa kantuk.
Devan mendekat pelan, langkahnya nyaris tak bersuara. Ia duduk di sebelah Jovita, menatap wanita itu dari jarak dekat. Rambutnya jatuh sedikit menutupi wajah, napasnya teratur, dan ekspresi tidurnya begitu damai. Hati Devan terasa hangat. Tanpa sadar, senyum kecil muncul di bibirnya.
Dengan sangat hati-hati, ia meraih dokumen yang masih digenggam Jovita. Jemarinya bergerak pelan agar tidak membangunkannya. Ada sedikit rasa pahit, Jovita tadi berjanji ingin membantu, tapi malah tertidur. Namun Devan sama sekali tidak berniat memarahi atau membangunkannya. Ia membiarkan wanita itu terlelap, sementara dirinya kembali mengerjakan tugasnya sendirian.
Waktu terus bergulir. Jam menunjukkan semakin larut. Devan sudah menyelesaikan pekerjaannya, tapi Jovita tetap tidur pulas di posisi yang sama. Devan menghela napas pendek, lengan kirinya menopang kepala sambil menatap wanita itu lama-lama. Jantungnya berdebar, bukan berantakan, tapi ritme yang menenangkan, seakan kehadiran Jovita membuat malam itu berbeda.
Ponselnya tiba-tiba berbunyi, layar menyala dengan kilatan kecil. Devan melirik, lalu matanya membesar sedikit ketika melihat waktu: hampir jam sebelas malam.
Ia menoleh ke arah Jovita lagi, lalu menyentuh bahunya pelan. “Bangun,” panggilnya dengan suara datar namun lembut.
Jovita tidak bergerak. Justru helaan napasnya makin terdengar jelas. Devan mencoba lagi, sedikit lebih keras, mengguncang bahunya.
“Jovita, bangun. Kamu gak mau pulang?”
Akhirnya kelopak mata itu terbuka perlahan. Jovita mengerjap, terlihat kebingungan, lehernya terasa pegal. Devan langsung berdiri, meraih kunci mobilnya.
“Cepet bangun, aku antar pulang,” katanya.
Jovita masih separuh sadar, seperti terjebak di antara mimpi dan kenyataan. Butuh beberapa detik sampai otaknya benar-benar memproses situasi. Saat ia menyalakan ponselnya dan melihat jam, matanya langsung terbelalak.
“Kenapa gak bangunin dari tadi?” katanya panik sambil buru-buru merapikan barang-barangnya.
“Aku juga baru sadar udah selarut ini. Cepetan, aku antar,” jawab Devan, suaranya tetap tenang meski sedikit terburu-buru.
Mereka keluar apartemen dengan langkah terburu-buru. Mata Devan sempat terarah ke pinggir jalan, sebuah mobil hitam dengan kaca gelap terparkir di sana.
Begitu mobil Devan melaju meninggalkan parkiran, ia mengintip spion tengah. Mobil hitam itu ikut bergerak. Jaraknya cukup aman, tapi terus mengikuti ritme mobil Devan. Ia tidak kaget. Sejak kedatangan Jovita tadi sore, ia sudah sadar akan keberadaan mobil itu. Sesuatu yang menghilang bersamaan dengan ketidakhadiran Jovita adalah mobil itu.
Saat Devan berhenti di depan rumah Jovita, ia kembali mengecek spion. Mobil hitam itu ikut berhenti beberapa meter di belakang, meski tidak mencolok. Lalu perlahan mereka mematikan mesin, bergabung dengan beberapa mobil lain yang juga terparkir di tepi jalan, seolah hanya mobil warga biasa.
Jovita, yang awalnya mengantuk, kini tampak cemas. Ia sudah membuka seatbeltnya, duduk lebih tegak. Wajahnya tampak tegang. Bahkan saat masih bersama Adam pun, ia tidak pernah pulang selarut ini.
“Jo,” panggil Devan pelan.
Jovita menoleh, menunggu penjelasan.
“Apa akhir-akhir ini kamu merasa diikuti seseorang?”
Alis Jovita bertaut bingung. Pertanyaan itu terasa asing… dan agak menakutkan. “Enggak. Kenapa?”
Devan terdiam cukup lama. Ia memandang wajah Jovita, seolah menimbang-nimbang apakah perlu mengatakan yang sebenarnya. Tapi ia mengurungkan niat itu.
“Bukan apa-apa,” jawabnya akhirnya.
Jovita menatapnya lebih lama, mencoba membaca maksud di balik wajah datar itu. Namun Devan terlalu sulit ditebak: tidak ada petunjuk apa pun. Pada akhirnya ia membuka pintu tanpa protes.
“Jo,” panggil Devan lagi. Nada suaranya membuat Jovita terpaksa menoleh, meski sedikit kesal.
“Kalau ada sesuatu terjadi, beritahu aku.”
Ucapannya tegas, hampir seperti perintah, tetapi mengandung kekhawatiran yang jelas.
“Hm.”
Jovita hanya mengangguk singkat lalu keluar dari mobil. Ia masuk melewati pagar dan berjalan ke pintu.
Devan memperhatikan sampai wanita itu benar-benar masuk ke rumah. Begitu pintu tertutup dan sosok Jovita menghilang, ia mengembuskan napas panjang, mengendurkan bahunya.
Tatapannya berpindah ke spion lagi, ke arah mobil hitam yang kini kosong.
Apa ini pekerjaan Mama lagi? batinnya.
Ia sempat berniat menghampiri mobil itu, tapi begitu Jovita masuk rumah tadi, mobil itu sudah kabur lebih dulu, seolah mereka tahu kapan harus pergi.
Begitu Jovita masuk ke dalam rumah, ia melangkah pelan, hampir menjinjit, berusaha sebisa mungkin tidak menimbulkan suara.
Namun, di ruang tamu yang remang, Noah masih duduk di sofa. Lampu meja menyala lembut, namun cukup untuk memperlihatkan sorot matanya yang tajam.
“Kenapa baru pulang?” suaranya dingin, datar.
Jovita langsung menegang. Punggungnya kaku, tenggorokannya terasa kering.
“A… itu,” ujarnya pelan, mencoba menyusun kata-kata meski otaknya kosong. Jantungnya berdetak kencang. “Aku harus lembur.”
Noah mengernyit, tatapannya meruncing penuh curiga. Ia mengamati wajah Jovita, mencari celah, mencari kepalsuan, mencari sesuatu yang bisa menjawab keraguan di pikirannya.
Tapi Jovita sudah terlalu sering menutupi semuanya. Ekspresinya tetap datar.
“Kenapa harus ngendap-ngendap masuknya?” tanya Noah lagi.
Jovita menjawab cepat, hampir refleks. “Karena takut membangunkan kalian. Aku pikir kamu udah tidur.”
Hening sejenak. Noah masih menatapnya lurus, lama, seolah ingin menembus wajah adiknya.
Akhirnya Noah bersuara lagi. “Kalau pulang telat, kabari dulu.”
Jovita mengangguk patuh, tidak berani menatap mata Noah lebih lama. “Iya.”
Begitu Noah kembali bersandar dan tidak mengatakan apa-apa lagi, Jovita langsung melesat menuju kamarnya, menutup pintu dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara.
Saat daun pintu tertutup rapat, ia akhirnya membiarkan dirinya menghela napas panjang. Jari-jarinya gemetar sedikit.
Untung saja Noah belum tahu yang sebenarnya… Bahwa ia sudah tidak bekerja di perusahaan itu lagi.
To be continued