NovelToon NovelToon
Berondongku Suamiku

Berondongku Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Berondong / Ibu Tiri
Popularitas:61.3k
Nilai: 5
Nama Author: mama reni

Kirana harus menerima kenyataan bahwa calon suaminya meninggalkannya dua minggu sebelum pernikahan dan memilih menikah dengan adik tirinya.

Kalut dengan semua rencana pernikahan yang telah rampung, Kirana nekat menjadikan, Samudera, pembalap jalanan yang ternyata mahasiswanya sebagai suami pengganti.

Pernikahan dilakukan dengan syarat tak ada kontak fisik dan berpisah setelah enam bulan pernikahan. Bagaimana jadinya jika pada akhirnya mereka memiliki perasaan, apakah akan tetap berpisah?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab Tujuh Belas

Siang hari itu, matahari menyerang kota dengan garangnya. Irfan memarkir mobil di depan sebuah toko baju pengantin sederhana, yang kaca depannya dipenuhi manekin memakai gaun putih dari model tahun entah kapan. Tissa turun dari mobil dengan wajah datar, lebih tepatnya wajah yang sedang menahan rasa tidak puas.

Begitu pintu toko berbunyi cling, suasana dalam langsung terasa, lampu putih terang, lantai keramik yang sedikit retak di ujung, dan deretan gaun menggantung yang sudah sedikit kusam warnanya. Penjualnya pun seorang ibu-ibu yang tampak santai sambil memainkan ponsel.

Tissa berhenti di depan pintu, tidak bergerak.

Irfan menoleh. “Kenapa? Masuk, lah.”

Tissa mengerutkan hidungnya, seakan mencium aroma yang tidak disukainya. “Fan … ini toko baju?”

“Iya, kan mau cari kebaya,” jawab Irfan santai.

Tissa menatapnya lama, mata berkedip lambat, seakan mempertimbangkan apakah Irfan serius atau cuma bercanda.

“Fan …,” ucap Tissa akhirnya, pelan tapi penuh tekanan. “Kita ini mau menikah.”

“Iya, makanya kita beli baju pernikahan.”

“Terus kamu bawa aku ke toko baju begini?” Tissa menunjuk ke sekitar dengan dua jari. “Ini toko baju biasa, Fan. Bukan butik. Nikah itu sekali seumur hidup. Masa aku pakai kebaya yang warnanya bahkan beda setengah shade dari yang aku mau?”

Irfan menghela napas. “Ini bagus, kok. Modelnya banyak. Pilih aja dulu.”

Tissa melotot. “Fan. Kamu itu manajer. Masa beliin calon istri baju dari toko yang kalau manekinnya jatuh aja mungkin pecah?”

Ibu pemilik toko menoleh sekilas dari balik meja kasir, tapi Irfan cepat tersenyum minta maaf sebelum ia menjawab Tissa lagi.

“Sudah mending aku mau beliin,” katanya sedikit ketus. “Kirana kemarin aja beli sendiri bajunya.”

Mendengar nama Kirana, Tissa mendengus keras. “Aku bukan Kirana, Fan. Dia itu bodoh.”

Irfan langsung memutar badan, menatap Tissa dengan alis naik. “Hei, jangan begitu. Dia bukan bodoh.”

“Ya iya, lah,” balas Tissa cepat. “Siapa coba yang rela bayar sendiri semua, padahal yang mau nikah itu laki-lakinya juga? Dia mungkin terlalu naif. Aku? Enggak. Ini kewajiban kamu. Masa aku yang bayar?”

“Tapi ini sudah aku belikan, kan,” tegas Irfan lagi, nada suaranya mulai terdengar hilang sabar.

“Kamu manajer, Fan!” Tissa menepuk lengannya sendiri untuk menekankan. “Masak beliin di toko biasa begini? Kita ke butik dong. Minimal butik yang ada AC-nya dingin, lampunya bagus, interiornya bagus buat foto. Yang digantung juga baju terbaru, bukan yang modelnya kayak sinetron tahun 2000-an.”

Irfan menatap Tissa tanpa kata selama beberapa detik. Lalu ia menegakkan badan. “Kalau kamu nggak mau, ya sudah. Nggak usah pilih.”

Tissa langsung berkedip cepat. “Maksud kamu apa?”

“Maksudku…” Irfan memasukkan kedua tangannya ke saku celana. “Kalau kamu ribut soal tempat beli kebaya aja sampai begini, mending batalkan aja pernikahan kita.”

Tissa langsung cemberut, wajahnya mengeras seperti batu. “Fan! Kamu ngomong apa sih?!”

“Kamu mau atau nggak?” ulang Irfan, tenang tapi suaranya tegas.

Tissa mengepalkan tangan, jelas tidak suka dipaksa memilih seperti itu. Ia menatap baju-baju di toko itu dengan pandangan merendahkan. Namun ketika menatap wajah Irfan yang benar-benar tidak bercanda, ia menelan ludah.

“Pilih ...,” gumam Tissa akhirnya, meski suaranya sangat pelan.

Irfan mengangguk sedikit. “Baik.”

Meski Tissa sudah setuju, jelas terlihat ia menahan kekesalan. Ia berjalan ke rak baju dengan langkah malas, seperti anak kecil yang dipaksa ikut belanja ke pasar. Diraihnya satu kebaya warna peach muda, dihampirinya kaca besar, lalu ia tempelkan kebaya itu ke tubuhnya tanpa semangat.

Irfan melihat dari belakang. “Bagus itu.”

“Bagus dari mana?” Tissa memutar mata. “Ini warnanya bukan tone yang aku mau. Aku mau peach yang lebih gelap, bukan yang kayak mau kondangan tujuh bulanan.”

Irfan menutup mata sebentar, menarik napas panjang. “Ya udah cari lagi.”

Tissa mengambil kebaya lain, kali ini warna maroon. Dipasang, lalu dilepas lagi. “Ini kependekan. Mau dipakai nikahan siapa? Pengajian anak SD?”

Ambil lagi. Pink. “Ini too childish.”

Ambil lagi. Hijau emerald. “Ini kaya mau ke acara adat kerajaan. Bukan vibe aku.”

Lima belas menit berlalu, Tissa sudah mencoba dua belas kebaya tanpa ada satu pun yang memuaskannya. Irfan masih menunggu dengan sabar atau tepatnya mencoba sabar meski dari caranya bersandar ke rak baju, jelas ia mulai letih.

“Aku bilang juga apa, Fan,” Tissa akhirnya berkata sambil meletakkan kebaya ungu dengan sedikit bantingan. “Butik! Harusnya ke butik! Toko biasa begini mana ngerti standar orang mau nikah!”

Irfan mengusap wajah. “Tissa .…”

“Aku mau ke butik. Minimal butik. Bukan tempat kayak gini. Kalau aku bilang nanti, teman-temanku bakal ngetawain. ‘Ih, Tissa beli kebaya nikah di toko biasa,’ gitu. Malu banget.”

Irfan langsung menatapnya tajam. “Ini hidup kamu, apa hidup teman-teman kamu?”

Tissa terdiam sepersekian detik, jelas tidak suka dengan pertanyaan itu.

Irfan melanjutkan, suaranya rendah tapi mantap. “Kita ini nikah, Tissa. Bukan lomba kebaya. Bukan pamer siapa paling menarik. Kamu maunya pesta mewah, baju mewah, semuanya mewah. Tapi aku tanya sekali lagi, kamu mau nikah sama aku karena kita mau membangun keluarga, atau karena kamu mau dipuji orang-orang?”

Tissa mengerutkan dahi, tersinggung. “Kamu ngomong kayak aku ini matre?”

“Aku cuma tanya,” jawab Irfan, kembali tenang.

Tissa mendecak, memalingkan muka. “Of course bukan karena itu.”

“Tapi kamu ribut soal butik.”

“Karena itu normal! Semua orang ingin pernikahan bagus, Fan.”

Irfan tidak menjawab. Dia hanya memandang Tissa lama, seperti menimbang-nimbang sesuatu. Tissa sendiri mulai gelisah, langkahnya berubah tidak yakin.

Akhirnya Irfan bersuara pelan, “Kalau mau butik, bilang dari kemarin. Jangan baru masuk sini kamu marah-marah.”

Tissa menggigit bibir, menahan emosi. “Aku kan cuma bilang… pernikahan itu sekali, Fan. Aku mau yang terbaik. Aku mau rasanya benar.”

Nada suaranya kali ini lebih kecil, lebih manusiawi, tidak sekeras barusan. Irfan mengangguk perlahan, walau wajahnya tetap tegang. “Ya sudah. Kita keluar. Kalau kamu mau butik, kita cari.”

Tissa menatap Irfan cepat, seakan tidak percaya Irfan akhirnya mengalah. “Beneran?”

Irfan mengangguk. “Beneran.”

Tissa langsung terlihat lega. Ada senyum puas yang muncul di bibirnya. Namun sebelum mereka keluar dari toko, Irfan menambahkan dengan nada dingin:

“Tapi ingat, Tissa. Kita ini partner. Aku mau nikah karena aku siap. Aku mau kamu juga siap, bukan cuma siap tampil cantik.”

Senyum Tissa langsung kaku.

Irfan melanjutkan, “Kalau kamu terus-terusan mikir ‘mewah’ dan ‘gengsi’, aku takut nanti kamu lupa apa yang sebenarnya penting.”

Tissa terdiam. Tidak membalas. Mungkin karena ia tidak siap mendengar kata-kata seperti itu. Mungkin juga karena Irfan benar, tapi ia tidak mau mengakuinya.

Setelah membayar beberapa aksesoris kecil yang sebelumnya ia ambil (lebih karena gengsi kalau pergi tanpa beli apa pun), Tissa dan Irfan keluar dari toko itu. Udara luar terasa lebih dingin dari sebelumnya.

Irfan membuka pintu mobil untuk Tissa. “Ayo.”

Tissa masuk tanpa bicara.

Saat Irfan memutar kemudi, Tissa meliriknya sekilas. Wajah Irfan tampak lebih serius dari biasanya. Ada garis-garis tegang yang jarang muncul.

“Fan .…” Tissa memanggil pelan. “Kamu marah ya sama aku?”

Irfan tidak menoleh. “Nggak marah.”

“Tapi kamu kelihatan kesal.”

Irfan tersenyum tipis, tapi bukan senyum bahagia—lebih ke senyum lelah. “Bukan kesal. Cuma capek. Ingat Tissa, walau di butik aku juga punya budget. Tak lebih dari harga tiga juta.”

"Tiga juta ...?"

"Kamu mau harga berapa lagi. Ya atau tak jadi ke butik!"

Tissa akhirnya mengangguk dengan terpaksa. Dia berharap akan di bawa ke butik paling ternama di kotanya.

1
Cindy
lanjut kak
Taslim Rustanto
Kirana ternyata punya hobi jatuh ya...bentar LG juga jatuh...
jatuh cinta .wa ea aa
Mama Reni: 🤣🤣🤣🫣🫣
total 1 replies
dyah EkaPratiwi
hahaha pikir mama Vania udah seneng nie ya anaknya proses buat cucu
Taslim Rustanto
astagaaa... bakalan seru nih penganten baru.. kira"ada adegan selanjutnya ga ya..😄😄😄
shenina
ekhem..🤭🤭
Linfaurais
Disangka mama vania si sam mau bikin cucu
Eka ELissa
perkara drama kepleset....jadi ke gep deh ...🤣🤣🤣🤣🤣🤭
Faiz Pendar
ternyata ada untung nya juga notif nya telat jadi bisa sekalian nabung bab🤭

ditunggu lanjutannya
Fitria Syafei
Wow mereka mama semoga ya mereka selalu bersama dan bersatu 🤲 mama cantik kereeen 😍😍
vj'z tri
author ngelawak 🤣🤣🤣🤣 semut say hi🤣🤣🤣🤣🤣
Rahma
maaam aq nunggu2 tisa sm Irfan shock tau pesta pernikahan Kirana mewah dan pernikahan mereka sepi ko blm muncul lg Irfan sm Tissa
𝕸𝖆𝖗𝖞𝖆𝖒🌹🌹💐💐
🤣🤣🤣🤣🤣
Alona Luna
🤣🤣🤣 ngakak bangettt
Tiara Bella
Kirana hobi bngt sh jatoh....wkwkkwkw ..tp lucu
Radya Arynda
ya alloh ikut bahagia melihat mereka....mama reni memang the best🫶🫶🫶🫶🫶
Teh Euis Tea
hahaha ketahuan sm mami vania di kira mau enyak enyak tuh si sam sm kiran
mami pikirannya udah menjurus kesana🤭
Dew666
💎🍭🍎
partini
❤️❤️❤️❤️👍👍👍👍
Fitra Sari
makasih KK doubel up nya ..ditunggu next nya
Arw
kalian berdua ...tanda2 jodoh kuat banget...😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!