Sebuah kecelakaan tragis merenggut segalanya dari leon—kesehatan, kepercayaan diri, bahkan wanita yang dicintainya. Dulu ia adalah CEO muda paling bersinar di kotanya. Kini, ia hanya pria lumpuh yang terkurung dalam kamar, membiarkan amarah dan kesepian melumpuhkan jiwanya.
Satu demi satu perawat angkat kaki, tak sanggup menghadapi sikap Leon yang dingin, sinis, dan mudah meledak. Hingga muncullah seorang gadis muda, seorang suster baru yang lemah lembut namun penuh keteguhan hati.
Ia datang bukan hanya membawa perawatan medis, tapi juga ketulusan dan harapan.
Mampukah ia menembus dinding hati Leon yang membeku?
Atau justru akan pergi seperti yang lain, meninggalkan pria itu semakin tenggelam dalam luka dan kehilangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ra za, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 Dinding Keputusasaan
Setelah meluapkan seluruh amarah dan kesedihannya, Leon akhirnya tertidur di atas kursi rodanya. Nafasnya terdengar berat dan tidak teratur, seolah beban di dadanya terlalu besar untuk ia pikul seorang diri.
Kamar yang biasanya rapi dan tertata kini tampak berantakan. Pecahan bingkai foto berserakan di lantai, buku-buku berhamburan, vas bunga pecah di sudut ruangan. Semua itu adalah bukti nyata betapa dalam luka hati yang dialami Leon.
Tak ada seorang pun yang berani masuk ke kamar itu, kecuali dua orang yang sangat mencintainya—Gaby, sang mama, dan Bibi Eli, kepala pelayan yang telah bekerja pada keluarga mereka sejak Gaby dan almarhum suaminya menikah. Bibi Eli bukan sekadar pelayan. Ia sudah seperti keluarga sendiri, mengetahui betul sifat dan tabiat Leon sejak masih kecil hingga kini tumbuh dewasa.
Dengan hati-hati, Gaby membuka pintu kamar dengan kunci cadangan. Langkahnya pelan, seolah takut membangunkan amarah Leon yang mungkin masih mengendap. Di belakangnya, Bibi Eli mengikut, membawa perlengkapan untuk membereskan kekacauan di kamar itu.
Namun baru beberapa langkah masuk, suara serak memanggil, membuat Gaby terkejut.
“Mama…”
Gaby berbalik cepat. Ia tak menyangka Leon terbangun, padahal mereka masuk dengan sangat hati-hati.
“Nak, maaf… Mama tidak bermaksud mengganggumu,” ucap Gaby dengan suara lembut, mencoba menenangkan suasana.
Ia melangkah mendekat ke arah putranya, sementara Bibi Eli segera sibuk membereskan pecahan barang di lantai tanpa mengeluarkan suara sedikit pun, berusaha agar suasana tetap tenang.
Gaby berlutut di samping Leon, menyentuh pelan tangan anaknya yang terasa dingin. “Kamu sudah makan, Nak? Dari siang tadi kamu belum makan apa-apa…”
Leon menggeleng lemah. “Aku tidak lapar, Ma,” jawabnya datar, tanpa menatap wajah ibunya.
Gaby menarik napas dalam. Ia tahu, Leon bukan sekadar tidak lapar—ia sedang menolak hidup, perlahan-lahan menyerah pada keadaan.
“Kamu harus makan, Sayang. Kamu harus minum obat juga…” Gaby membujuk, mencoba bersikap setenang mungkin meski hatinya remuk.
Namun Leon hanya tertawa sinis. “Minum obat? Untuk apa, Ma? Percuma saja. Seminggu, sebulan... aku tetap begini. Aku tidak akan pernah bisa berjalan lagi…” Suaranya getir, penuh keputusasaan.
Gaby menahan air mata yang menggenang di pelupuk matanya. Ia tidak boleh menangis. Tidak di depan Leon. Ia harus kuat, karena anaknya membutuhkan kekuatan itu.
“Kamu tidak boleh menyerah, Nak. Mama yakin kamu bisa sembuh. Tapi kamu harus makan, harus kuat…” Gaby terus membujuk dengan suara lembut.
Namun Leon malah membuang muka. Nada suaranya meninggi, menahan kemarahan yang kembali membuncah.
“Aku bilang aku tidak mau makan! Pergilah, Ma! Tinggalkan aku sendiri!” teriaknya.
Gaby terpaku sejenak. Ia ingin sekali memeluk putranya, ingin berkata bahwa ia tidak akan pernah meninggalkannya apa pun yang terjadi. Tapi ia tahu, saat ini Leon tidak ingin mendengar nasihat apa pun.
Sebelum Gaby beranjak pergi, Leon kembali berkata, suaranya dingin dan penuh penolakan. “Dan satu lagi, Ma. Mama tidak perlu repot-repot mencari perawat untukku. Aku tidak butuh orang asing mengasihaniku. Aku bisa mengurus diriku sendiri!”
Gaby mengatupkan bibirnya rapat-rapat, menahan gejolak di hatinya. Ia hanya mengangguk pelan, memilih diam daripada memperpanjang pertengkaran dengan Leon yang sedang rapuh.
Bibi Eli, yang sejak tadi mendengar dan menyaksikan semua, mendekati Gaby setelah keluar dari kamar.
“Sabar ya, Nyonya… Orang yang sakit memang emosinya tidak stabil. Tuan Leon hanya butuh waktu. Dia pasti butuh dukungan kita,” ucap Bibi Eli pelan, berusaha menguatkan.
Gaby mengangguk lemah, matanya tampak berkaca-kaca. “Aku tahu, Eli. Aku tahu… Tapi melihat dia seperti ini, hatiku benar-benar hancur…”
“Percayalah, Nyonya. Semua akan membaik seiring waktu,” ucap Bibi Eli sambil memegang tangan Gaby dengan hangat. “Lagipula, perawat yang Nyonya cari itu akan datang hari ini, kan? Semoga saja dia bisa menghadapi Tuan Leon dan membantu memulihkan semangatnya.”
Gaby menghela napas panjang. “Semoga saja... Semoga Tuhan mengirimkan orang yang tepat untuk anakku…”
“Ya, Nyonya. Saya juga berdoa, semoga Tuan Leon cepat sembuh,” kata Bibi Eli tulus.
Keduanya pun meninggalkan kamar Leon, membiarkan anak itu sendiri dengan segala luka dan amarahnya. Di balik pintu kamar itu, seorang pemuda yang dahulu penuh percaya diri dan mimpi kini terkurung dalam dinding keputusasaan yang perlahan membunuh harapannya.
Sekitar pukul tiga sore, seorang perawat baru akhirnya tiba di rumah keluarg Leon. Wanita itu memperkenalkan dirinya sebagai Mery — perawat yang telah dikirim oleh agensi untuk membantu merawat Leon sesuai permintaan Gaby.
Mery mengenakan seragam perawat berwarna putih yang cukup ketat dan rok di atas lutut, meski sebelumnya Gaby sudah memesan khusus agar perawat yang datang mengenakan celana panjang demi menjaga kenyamanan Leon.
Begitu melihat penampilan Mery, Gaby mengerutkan kening. "Bukankah kami sudah pesan agar memakai celana panjang, Suster?"
Mery tersenyum sedikit canggung, lalu membungkukkan badan dengan sopan. "Maafkan saya Nyonya.... Ini murni kelalaian saya. Saya terbiasa memakai seragam seperti ini. Besok saya janji akan memakai celana panjang."
Gaby mengangguk singkat. "Baiklah, tapi besok jangan lupa. Ini penting."
"Baik, Nyonya. Saya mengerti," jawab Mery cepat.
Setelah itu, Gaby mengantar Mery menuju kamar leon di lantai atas. Sepanjang lorong, Mery tampak berusaha menyesuaikan diri dengan suasana rumah besar yang terasa sunyi dan berat.
Di dalam kamar, Leon tengah duduk di kursi rodanya, membelakangi pintu, menghadap jendela besar yang memperlihatkan taman luas di luar sana. Ia tampak diam, termenung dalam dunianya sendiri.
Langkah Gaby yang membawa Mery masuk ke kamar cukup ringan, namun tetap terdengar oleh Leon. Namun Leon tetap diam, mengira bahwa yang datang hanya mamanya atau Bibi Eli.
Gaby membuka suara, dengan nada hati-hati, "Leon, mama membawa seorang perawat untukmu. Dia akan membantumu. Namanya Suster Mery."
Tanpa berbalik, Leon langsung membalas dengan nada ketus, "Aku sudah bilang aku tidak butuh perawat. Keluar dari kamarku."
Gaby melirik Mery dengan ragu. Ia tahu putranya sangat sensitif akhir-akhir ini. Namun sebelum sempat memutuskan langkah selanjutnya, Mery berbisik pelan di dekat telinganya, "Tuan, biarkan saya mencoba membujuknya. Kadang pasien seperti ini lebih mudah berbicara dengan orang baru."
Gaby tampak bimbang. Kekhawatiran akan amukan Leon membayang di pikirannya. Namun melihat keyakinan di mata Mery, ia akhirnya mengangguk pelan. "Baiklah. Kami akan keluar dulu. Tapi hati-hati," katanya, setengah memperingatkan.
Gaby dan Bibi Eli pun keluar meninggalkan Mery sendirian bersama Leon.
Begitu pintu tertutup, Mery langsung beraksi. Dengan sengaja, ia membuka dua kancing teratas dari seragamnya, memperlihatkan bagian dadanya, lalu melangkah perlahan mendekati Leon dengan gaya genit.
"Tuan muda," katanya dengan suara dibuat manja, "tidak baik terus-terusan marah dan murung seperti ini. Saya di sini untuk membantu. Bukankah lebih baik kita bekerjasama saja?" Mery kini sudah duduk bersimpuh di hadapan Leon, membiarkan tubuhnya condong ke depan, memperjelas lekuk tubuhnya yang memang sengaja ia pamerkan.
Leon menatapnya tajam. Mata dinginnya tak menunjukkan ketertarikan sedikitpun. Melihat Leon diam, Mery mengira rencananya berhasil. Ia pun nekat menyentuh tangan Leon dengan penuh rayuan.
Namun, apa yang terjadi sungguh di luar dugaan.
Tanpa banyak kata, Leon tiba-tiba menepis tangan Mery dengan kasar, lalu dalam hitungan detik mencengkeram lehernya kuat-kuat!
Mery terkejut setengah mati. "T-tuan... Tuan... lepaskan..." serunya dengan suara terbata-bata, kedua tangannya berusaha melepaskan cengkeraman Leon, tapi sia-sia.
Wajah Leon begitu dingin, suaranya penuh kebencian saat berbisik di telinga Mery, "Kau pikir aku sudi dirawat oleh wanita murahan sepertimu? Keluar dari sini, sebelum aku benar-benar menghabisimu."
Mery hanya bisa mengangguk panik, takut setengah mati.
Leon akhirnya melepaskan cengkeramannya. Mery jatuh terduduk di lantai, terbatuk keras sambil memegangi lehernya yang memerah.
Tanpa menunggu lagi, Mery bergegas berdiri dan berlari keluar kamar. Dengan wajah pucat dan ketakutan, ia menemui Gaby yang sudah menunggu di lorong bersama Bibi Eli.
"Ada apa, Suster Mery?" tanya Gaby cemas melihat wajah Mery.
"S-saya... saya tidak bisa merawat Tuan Leon. Maaf. Saya berhenti... saya berhenti hari ini juga," jawab Mery cepat, tanpa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di dalam kamar.
Gaby mencoba membujuknya, "Tolong, bertahanlah sebentar lagi. Leon memang seperti itu, tapi lama-lama dia akan menerima kehadiranmu..."
Namun Mery menggeleng keras. "Tidak, Tuan. Saya tidak mau mempertaruhkan nyawa saya. Saya takut... saya takut dibunuh!" serunya dengan suara bergetar.
Tanpa banyak bicara lagi, Mery segera pergi meninggalkan rumah besar itu.
Dalam hatinya, Mery mengumpat kesal, "Sialan! Padahal kupikir bisa memikatnya dan hidup enak. Ternyata dia monster, bukan pria biasa!"
Gaby hanya bisa terduduk lesu di sofa ruang tamu setelah kepergian Mery. Kepalanya tertunduk berat, pikirannya kalut. Ini bukan pertama kalinya perawat yang dikirim pergi ketakutan setelah bertemu Leon. Ia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa lagi.
Sementara itu, dari lantai atas, Leon hanya menatap kosong ke luar jendela, membiarkan dunia berputar tanpa peduli lagi.