Jingga Nayara tidak pernah membayangkan hidupnya akan hancur hanya karena satu malam. Malam ketika bosnya sendiri, Savero Pradipta dalam keadaan mabuk, memperkosanya. Demi menutup aib, pernikahan kilat pun dipaksakan. Tanpa pesta, tanpa restu hati, hanya akad dingin di rumah besar yang asing.
Bagi Jingga, Savero bukan suami, ia adalah luka. Bagi Savero, Jingga bukan istri, ia adalah konsekuensi dari khilaf yang tak bisa dihapus. Dua hati yang sama-sama terluka kini tinggal di bawah satu atap. Pertengkaran jadi keseharian, sinis dan kebencian jadi bahasa cinta mereka yang pahit.
Tapi takdir selalu punya cara mengejek. Di balik benci, ada ruang kosong yang diam-diam mulai terisi. Pertanyaannya, mungkinkah luka sebesar itu bisa berubah menjadi cinta? Atau justru akan menghancurkan mereka berdua selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shinta Aryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Uang Nafkah…
Jingga baru duduk di mejanya, suasana hatinya masih campur aduk karena harus semeja untuk sarapan dengan mertuanya sendiri. Baru meletakkan tas, HP-nya bergetar. Nama ibunya muncul di layar.
“Ya, Bu?”
Suara ibunya bergetar, panik. “Gimana ini, Ga… Bapakmu minta uang banyak. Katanya kalau nggak dikasih, ibu mau dipukulin lagi…”
Jingga refleks bangkit, menoleh kanan-kiri memastikan nggak ada yang dengar. “Astaga, Bu! Kenapa Bapak senang banget main pukul-pukulan gitu sih, kemarin aku… masa sekarang Ibu juga kena? Tapi… ya Allah, aku nggak punya duit.”
Jingga duduk lagi, ponselnya masih di telinga. Tapi otaknya langsung berputar mencari cara. Darimana ia bisa mendapatkan uang? Di kantor mau minjem juga udah kaya blacklist pinjol. Potongan gaji juga gak selesai-selesai. Mau minjem ke Nisa? Ih malu banget. Ke Lidya? Dia saja sekarang melihat Jingga kayak nonton iklan YouTube… langsung di skip.
Wanita itu menutup wajah dengan tangan. Napasnya berat. Nama yang pertama kali muncul di kepalanya: Mahesa. “Yah, paling nggak Mas Mahesa masih ada. Siapa tahu bisa nolong…” gumamnya pelan.
...****************...
Jam makan siang, di kafetaria…
Jingga duduk gelisah, gelas es tehnya sudah tinggal setengah padahal baru disentuh sekali. Mahesa datang dengan nampan.
Belum duduk, senyum manis Mahesa sudah terbit. “Tumben ngajak ketemuan di jam makan siang, sayang.”
Jingga tersenyum ragu-ragu, “Iya, Mas. Aku mau ngomong… tapi jangan ketawa ya.”
Mahesa mengangkat alis. “Kenapa?”
Jingga menunduk, garuk kepala yang tak gatal. “Itu uang setoran KPR… bisa nggak aku pinjem dulu? Kan jatuh temponya masih lama, Mas.”
Mahesa langsung panik. “Waduh, nggak bisa, Ga. Uangnya udah aku setorin kemarin. Biar nggak kepakai buat yang lain.”
Jingga ternganga. “Hah? Serius udah disetor? Mas… untuk sekarang itu bukan sekedar uang, itu nyawaku! Aku lagi butuh banget.” ucapnya ringan, padahal hatinya mencelos berat. Jingga lalu bergumam pelan, malu-malu dan ragu, “kalau… kalau aku pinjam sama Mas, bisa gak?”
Mahesa berdeham, salah tingkah. “Aku juga lagi ada keperluan, Ga. Ada teman satu departemen yang baru lahiran, aku harus beliin hadiah.”
Jingga menatap kosong, lalu nyeletuk lirih, “Iya sih… ternyata hadiah popok lebih penting daripada nyawa pacarmu ya Mas.” candanya, meskipun sebenarnya harapannya pupus sudah.
Mahesa gelagapan. “Bukan gitu maksudnya, sayang. Aku… aku gak enak sama yang lain kalau gak ikut beliin hadiah.”
Bukan Jingga namanya kalau apa-apa dianggap serius, wanita itu menghela napas, lalu tersenyum ceria kembali, “Santai, Mas. Aku ngerti kok. Ternyata nasibku kalah sama bayi, tapi apa boleh buat.. aku rela deh kalau sainganku memang bayi,”
Di meja lain, Nisa yang baru beli kopi gelato sempat berhenti. Kupingnya otomatis menangkap percakapan itu. Matanya melotot, langsung ngacir ke arah ruangan Savero.
“Kak… “ ucapnya langsung setelah masuk dan menutup pintu, tanpa basa basi, “Ini… soal Jingga.”
Savero menoleh, wajahnya datar tapi matanya tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya. “Kenapa dengan dia?”
Nisa menatap sepupunya itu. “Aku dengar sendiri, dia lagi butuh uang. Kak, dia istrimu. Kalau bukan kamu yang bantu, siapa lagi? Kasihan, Kak.” Ucap Nisa, lalu duduk dan menatap Savero serius. “Dia sampai mau pinjam sama Mahesa, tapi Mahesa gak ngasih, Kak.”
Savero bersandar, menautkan jari-jarinya. Wajahnya tenang, tapi pikirannya sudah berputar cepat. Ia bisa menebak untuk apa uang itu.
Sore harinya, kantor sudah mulai sepi. Jingga lagi sibuk nyicil kerjaan ketika chat muncul di ponselnya: “Ke ruangan saya.” Dari Savero.
Jingga maju dengan langkah seolah mau masuk ke ruang interogasi. Dipanggil sore-sore begitu biasanya karena salah, ujung-ujungnya potong gaji.
Begitu masuk, Savero… sang atasan sekaligus suami rahasianya itu, terlihat duduk dengan wajah datar, tapi tangannya tiba-tiba saja menyodorkan sebuah amplop cokelat. “Ini… Nafkah dari saya.”
Jingga melotot. “Astaga, Pak… apa-apaan ini? Saya nggak mau! Saya tidak pantas menerima nafkah. Tugas istri saja saya mangkir. Jangan-jangan habis ini saya dituntut setor laporan uang bulanan juga? Kalau salah nanti potong uang bulananan.”
Savero menatap tenang. “Saya nggak minta kamu melakukan apa pun sebagai istri. Tapi kalau kamu tidak mau menganggap ini sebagai nafkah, anggap saja ini hadiah lomba waktu outing kemarin, kan kamu menang lomba.”
Jingga masih manyun. “Hadiah lomba? Telat sekali, harusnya berbunga sih karena telat. Tapi kalau melihat amplopnya setebal ini… sudah termasuk bunga kayaknya.”
“Anggap saja begitu.” Ucap Savero.
Jingga menggenggam amplop itu. Seandainya ia tidak ingat suara ibunya tadi, dan ancaman bapaknya, ia enggan menerimanya.
Jingga menarik napas panjang. “Oke. Tapi mohon diingat ya Pak, saya anggap ini hadiah lomba, bukan nafkah. Deal?”
Savero mengangguk kecil. “Deal.”
Jingga membuka amplop. Matanya langsung melebar. “Astaga! Ini banyak banget! Pak, ini hadiahnya nggak salah? Jangan-jangan panitianya salah hitung?”
Ia buru-buru membagi-bagi uang itu jadi tiga tumpukan.
“Ini buat Nisa, soalnya dia juga ikut lomba. Yang ini buat Bapak, kan Bapak juga tim kami. Nah sisanya buat saya, adil kan?”
Sebelum Savero sempat protes, Jingga nyodorin segepok uang kepadanya. “Nih, jangan ditolak Pak, saya tahu ini gak seberapa buat Bapak. Tapi uang hadiah itu rasanya beda Pak, ada manis-manisnya gitu,” ucapnya, lalu ia berdiri dan membungkuk penuh hormat, “Terima kasih ya, Pak bos sekaligus Pak Suami.” ujarnya.
Ia langsung kabur keluar ruangan. Savero terdiam beberapa detik, lalu tertawa pelan. Menatap uang yang ditinggalkan di mejanya.
“Kamu memang… sangat unik, Jingga.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Amplop masih di tangannya. Jingga jalan cepat ke arah lobi, matanya melirik kanan-kiri kayak agen rahasia mau setor barang selundupan. Ia membuka amplop, menghela napas.
“Ya Allah… kalau aku nggak langsung setor, bisa-bisa uang segini kabur ikut belanja flash sale jam dua belas malam,” gumamnya.
Dia berdiri di depan mesin ATM, jarinya sibuk pencet tombol. Deg-degan, takut salah masukin angka. Tiba-tiba terdengar suara familiar dari belakang.
“Eh, Jingga? Lagi setor, ya?”
Jingga menoleh. Oh, temannya Mahesa.., cowok berkacamata yang sering nongkrong bareng Mahesa kalau istirahat siang.
“Oh, Mas Bimo! Iya nih, setor. Biar aman, duitnya jangan sampai kecolek setan mall online,” jawabnya santai.
Bimo terkekeh. “Bener juga. Kamu kok sendirian? Biasanya sama Mahesa.”
Jingga langsung keingat obrolan tadi siang. Ia menimbang sebentar, agak ragu untuk bertanya tapi ia benar-benar penasaran. “Mas, aku mau nanya deh. Di departemen pemasaran itu siapa sih yang baru lahiran?”
Bimo berkedip. “Baru lahiran? Hah?”
“Ya, katanya ada temen kalian yang baru melahirkan. Sampai-sampai Mas Mahesa heboh nyiapin hadiah segala.” Timpal Jingga
Bimo mengerutkan dahi, bener-bener bingung. “Lah… nggak ada, Ga. Anak-anak marketing kan masih single semua. Palingan yang udah nikah itu Bu Ratna, manajer kita. Tapi anak bungsunya aja udah SMA, masa iya lahiran lagi?!”
ATM mengeluarkan bunyi “tut-tut” tanda transaksi selesai, tapi Jingga cuma melongo. Wajahnya mencelos, seolah-olah mesin ATM juga ikut nge-‘plot twist’ hidupnya.
“Loh… kok gitu? Jadi… nggak ada yang lahiran?” Tanyanya lagi
“Ya nggak ada. Kamu dapet info dari mana?” tanya Bimo balik.
Jingga menelan ludah, tersenyum kaku. “Hehehe… ya… dari… dari gosip tetangga sebelah kali ya.”
Bimo mengangguk masih bingung, lalu pamit naik lift. Begitu punggungnya hilang, Jingga langsung nyeletuk sendiri sambil nutup amplopnya rapat-rapat.
“Ya ampun, Mas Mahesa… kalau emang nggak bisa bantu, bilang aja. Ngapain sih bikin drama ‘kado bayi khayalan’? Ngeri banget, ini bukan FTV lho.”
Ia menyandarkan punggung ke dinding dekat ATM, menatap uang hasil setorannya yang kini aman di saldo. Tapi pikiran terus berputar: “Kenapa Mas Mahesa bohong? Dia takut aku pakai duitnya? Atau… ada hal lain yang dia tutupin?”
(Bersambung)…
langsung mp sama Jingga...
biar Kevin gak ngejar-ngejar Jingga
lanjut thor ceritanya
di tunggu updatenya