NovelToon NovelToon
Kau Rebut Calon Suami Ibuku, Kurebut Suamimu

Kau Rebut Calon Suami Ibuku, Kurebut Suamimu

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Selingkuh / Cinta Terlarang / Beda Usia / Pelakor / Identitas Tersembunyi
Popularitas:5.3k
Nilai: 5
Nama Author: ila akbar

‎Menjalin hubungan dengan pria lajang ❌
‎Menjalin hubungan dengan duda ❌
‎Menjalin hubungan dengan suami orang ✅
‎Mawar tak peduli. Bumi mungkin adalah suami dari tantenya, tapi bagi Mawar, pria itu adalah milik ibunya—calon ayah tirinya jika saja pernikahan itu dulu terjadi. Hak yang telah dirampas. Dan ia berjanji akan mengambilnya kembali, meskipun harus... bermain api.


Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ila akbar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 20

Sementara di Rumah Lusi...

Mawar keluar dari kamar dengan langkah cepat, menuju wastafel di samping kamarnya. Percikan air dingin membasahi wajahnya, mencoba mengusir kegelisahan yang masih menggantung sejak ia terbangun dari mimpi buruk tentang Anjani. Namun, baru saja ia mengusap wajahnya untuk kedua kali, suara bentakan tajam dari lantai dua membuatnya terhenti.

BRAK!

Suara keras terdengar, mungkin meja yang dihantam seseorang dengan emosi meluap. Rumah besar yang seharusnya sunyi kini bergema oleh suara pertengkaran.

Dengan langkah perlahan, Mawar berjalan menuju ruang keluarga. Di sana, Mbok Ijah dan Pak Asep—tukang kebun yang juga suami Mbok Ijah—sudah lebih dulu berdiri, menyaksikan drama yang berlangsung di lantai atas dengan ekspresi tak nyaman.

“Sampai kapan, Lusi?! Sampai kapan kamu terus seperti ini?” Suara Bumi terdengar penuh kemarahan dan frustrasi. “Kamu lebih sibuk dengan dunia luar daripada di rumah! Aku dan Raya seperti tidak punya istri dan ibu! Aku baru saja pulang dari luar kota, tapi sekarang kamu malah mau pergi lagi?”

Mawar mendongak, memperhatikan pertengkaran itu dengan saksama. Matanya memicing, menyerap setiap detail. Rumah megah ini ternyata bukanlah istana yang sempurna. Retakan-retakan di dalamnya semakin jelas terlihat.

Sebuah keharmonisan yang ternyata hanya sebatas ilusi.

Sebuah rumah tangga yang tampak sempurna dari luar, tetapi penuh jurang di dalamnya.

Dengan suara pelan, ia bertanya kepada Mbok Ijah, “Mbok, ada apa ini? Kenapa mereka bertengkar?”

Mbok Ijah menghela napas panjang sebelum menjawab, suaranya nyaris berbisik. “Iya, Neng Mawar. Ibu Lusi dan Pak Bumi memang sering bertengkar. Ibu Lusi terlalu sibuk dengan karier modelnya, jarang di rumah, sampai lupa mengurus suami dan anak.”

Mawar mengangkat alis. Matanya berbinar, menangkap setiap kata yang keluar dari mulut Mbok Ijah dengan penuh ketertarikan.

“Jadi… Tante Lusi sering mengabaikan Om Bumi?”

Ada nada yang sulit ditebak dalam suaranya. Seolah ia sedang menggali sesuatu. Mencari celah.

Sebuah senyum kecil tersungging di sudut bibirnya—senyum yang samar, nyaris tak terlihat, tetapi mengandung begitu banyak arti.

“Menarik… Sangat menarik...”

Ia menggigit bibirnya pelan, menahan gejolak perasaan yang hampir meledak di dadanya.

Dendam.

“Jadi… sejarah benar-benar terulang?”

Ia mengepalkan tangannya erat, merasakan debaran amarah yang kembali menyala.

“Sama seperti dulu. Saat seorang perempuan bernama Lusi merebut lelaki yang seharusnya menjadi milik Ibu.”

Mawar menatap lurus ke depan, suaranya berbisik di antara pikirannya sendiri.

“Om Bumi seharusnya adalah milik Ibu.”

Dan kini, roda takdir kembali berputar.

“Sekarang giliranku. Waktunya aku mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi hak Ibu.”

Dari atas, pertengkaran masih berlanjut.

“Apa? Sibuk dengan dunia luar?” Lusi membalas dengan nada tinggi, matanya membulat penuh emosi. “Mas, kamu tahu pekerjaanku! Aku seorang model profesional. Aku harus menghadiri pemotretan, fashion show, campaign iklan, dan berbagai kontrak brand ambassador yang sudah terikat! Desainer, fotografer, klien, agensi—mereka semua bergantung padaku!”

Ia menghela napas cepat, mencoba menahan emosinya. “Dunia ini bukan hanya tentang berjalan di atas catwalk atau tersenyum di depan kamera, Mas. Ada komitmen besar di baliknya. Aku tidak bisa seenaknya menghilang begitu saja! Mereka semua membutuhkanku!”

Bumi berdiri, tatapannya membara. “Tapi bagaimana dengan kita, Lusi?! Bagaimana dengan keluarga ini? Apa kamu nggak lihat Raya?”

Bumi menunjuk ke arah kamar anak mereka, tempat putri kecilnya tertidur lelap, tak menyadari badai yang sedang terjadi di antara kedua orang tuanya.

“Dia hampir nggak kenal ibunya!” lanjut Bumi, suaranya mulai bergetar, dipenuhi luka yang tak lagi bisa ia sembunyikan. “Dan aku...?”

Pertengkaran yang selama ini terpendam akhirnya meledak, memuncak pada persoalan yang terus menggerogoti hubungan mereka—prioritas antara pekerjaan dan keluarga.

“Aku ini suamimu, Lusi! Kita bahkan hampir nggak punya waktu bersama. Kita ini pasangan suami istri, tapi kamu terus-menerus sibuk dengan duniamu sendiri, sampai-sampai… kita bahkan tidak lagi saling menyentuh seperti dulu.”

Mawar menahan napas. Matanya membelalak, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

“Apa? Mereka bahkan sudah jarang saling menyentuh?”

Seketika, sesuatu berputar dalam benaknya. Tatapan Mawar yang awalnya terkejut kini berubah. Perlahan, bibirnya melengkung senyumnya semakin mekar—senyum yang menyimpan lebih dari sekadar ketertarikan.

Matanya berbinar, penuh perhitungan.

“Jadi, Om Bumi adalah seorang suami yang kesepian?”

Tentu saja. Lelaki itu pasti merindukan kasih sayang, cinta, perhatian, dan sentuhan seorang wanita.

Sama seperti yang dirasakan Ibu Resti dulu…

Mawar mengepalkan jemarinya. Ia membayangkan ibunya—Resti, perempuan yang harus menelan pahitnya pengkhianatan dari Lusi, adiknya sendiri, seseorang yang paling ia sayangi dan percayai.

Dan kini, sejarah itu akan berulang.

Hanya saja, kali ini…

Ia yang akan memegang kendali.

“Aku tidak akan membiarkan Tante Lusi bahagia dengan lelaki yang ia rebut dari Ibu.”

Dari tempatnya berdiri, Mawar memandang ke atas dengan tatapan tajam. Ia bisa melihat siluet Bumi yang tegang dan marah, sementara Lusi tampak menepis semua tuduhan dengan dingin.

“Bagus... Ini akan semakin mempermudah jalanku.”

“Tante Lusi benar-benar bodoh. Memiliki suami yang tampan, gagah, kaya, dan penuh wibawa, tapi justru menyia-nyiakannya begitu saja.”

Mawar menatap tajam ke arah sosok lelaki yang tengah berdebat sengit dengan istrinya. Dalam benaknya, perlahan sebuah rencana mulai terbentuk.

“Jangan khawatir, Om Bumi...” pikirnya dalam hati. “Mulai sekarang, Om tidak akan merasa kesepian lagi. Mawar akan ada di sini, mengurus dan melayani Om sepenuh hati. Sesuai dengan keinginan Tante Lusi, Mawar akan memenuhi semua kebutuhan Om. Termasuk...”

Ia mengangkat dagunya sedikit, tatapannya mengunci ke arah Bumi yang masih dipenuhi amarah dan kekecewaan.

“Di ranjang.”

Senyum samar terukir di bibirnya. Malam ini, ia telah menemukan jalannya—jalan untuk masuk perlahan ke dalam hidup Bumi, mengisi celah yang semakin renggang di antara dirinya dan Lusi.

Sementara di lantai atas, keheningan menyelimuti ruangan. Tak ada lagi suara perdebatan, hanya desahan napas Bumi yang berat, seakan menahan beban yang tak lagi sanggup ia pikul sendiri.

Ia menatap Lusi dengan sorot mata yang lebih dari sekadar kemarahan—di sana ada luka, ada kecewa, dan ada kelelahan yang tak terucapkan.

“Aku ingin kita kembali seperti dulu, Lusi...” suara Bumi terdengar lirih, hampir seperti bisikan yang dipenuhi harapan. “Aku butuh kamu. Raya juga butuh kamu.”

Kata-kata itu begitu pelan, nyaris tenggelam dalam keheningan, tetapi Lusi mendengarnya dengan jelas. Jemarinya mengepal di sisi tubuhnya, menahan perasaan yang bergejolak di dadanya.

“Aku mengerti, Mas...” akhirnya, Lusi bersuara. Suaranya pelan, namun sarat dengan kebimbangan. “Tapi kamu tahu sendiri, dunia modeling tidak bisa dijadwalkan seenaknya. Ini bukan sekadar pekerjaan. Aku punya tanggung jawab besar—klien, kru, fotografer, desainer, tim produksi—mereka semua bergantung padaku.”

Bumi menegakkan tubuhnya, ekspresinya berubah. Ada kepedihan di matanya yang tak lagi bisa ia sembunyikan.

“Dan aku juga bergantung padamu, Lusi. Keluarga kita juga butuh kamu.” Suaranya semakin dalam, hampir bergetar. “Kalau memang kamu tidak bisa berhenti dari pekerjaanmu, setidaknya prioritaskan keluarga kita. Luangkan lebih banyak waktu untuk Raya. Dia anak kita, Lusi. Dia butuh ibunya.”

Sejenak, keheningan kembali mengisi ruang di antara mereka.

“Kita ini keluargamu, Lusi. Kita ada di sini, menunggumu. Tapi kamu selalu pergi.”

Kata-kata itu menghantam Lusi seperti gelombang besar, menenggelamkan semua pembelaan yang ingin ia utarakan. Ia menunduk, mengalihkan pandangan dari tatapan penuh luka suaminya.

“Aku...” Lusi terdiam. Ia tahu Bumi benar. Ia sadar ada banyak hal yang telah ia abaikan, banyak momen yang terlewat. Tapi…

Akhirnya, dengan suara lirih, ia berbisik, “Aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku, Mas.”

Kalimat itu terasa berat, tapi ia harus mengatakannya.

“Aku mencintai dunia ini. Aku sudah berjuang terlalu lama, bekerja terlalu keras untuk sampai di titik ini. Aku tidak bisa begitu saja berhenti.”

Ia berharap suaminya mengerti. Tapi di balik tatapan Bumi yang semakin redup, ia bisa melihat dengan jelas—pemahaman itu perlahan menghilang, berganti dengan kekecewaan yang semakin dalam.

Lusi melanjutkan. “Maaf, Mas. Aku harus pergi sekarang. Timku sudah menunggu. Aku punya tanggung jawab besar.”

Bumi terkekeh pelan—bukan tawa bahagia, tapi getir. “Dan keluarga ini, Lusi?” Nadanya penuh luka. “Apakah itu bukan tanggung jawab yang besar juga?”

Lusi terdiam, tapi ia tidak membantah.

Pertengkaran itu tidak mencapai akhir yang jelas, hanya menyisakan kekosongan yang menggantung. Tidak ada pelukan yang menenangkan. Tidak ada janji untuk memperbaiki keadaan.

Bumi hanya berdiri di sana, menatap istrinya yang akhirnya memilih untuk pergi.

Tanpa kata-kata lagi, Lusi berbalik, melangkah cepat menuruni tangga.

Di bawah, Mawar dan Mbok Ijah masih berdiri diam.

Mereka telah mendengar segalanya.

Saat mencapai lantai bawah, Lusi menghentikan langkahnya. Ia tidak menoleh, tetapi suaranya terdengar jelas dalam keheningan.

“Mbok Ijah, siapkan bekal untuk sekolah Raya besok.”

Satu tarikan napas, lalu dengan nada yang lebih tajam, ia menambahkan,

“Dan kamu, Mawar…”

Mawar langsung menegakkan tubuhnya, matanya berbinar, menunggu instruksi.

“Pastikan semua kebutuhan Raya dan Pak Bumi terpenuhi.”

Lusi berhenti sejenak, sebelum mengakhiri dengan satu kalimat yang menggantung di udara.

“Layani mereka dengan sebaik mungkin.”

Ada penekanan dalam suaranya. Sebuah perintah yang terdengar lebih dari sekadar tugas biasa.

Lusi tidak melihat bagaimana bibir Mawar melengkung tipis, bagaimana matanya bersinar sesaat sebelum ia menunduk dalam-dalam.

“Baik, Bu,” jawabnya dengan suara lembut.

Lusi melanjutkan langkahnya, meninggalkan rumah dengan hati yang masih bergejolak.

Sementara itu, di belakangnya, Mawar berdiri tegak, menatap kepergian wanita itu dengan ekspresi yang sulit ditebak.

Malam ini, keseimbangan dalam rumah tangga itu telah berubah.

Dan Mawar?

Ia sudah siap mengambil perannya.

**

Sementara itu, Bumi melangkah lunglai menuju kamar putrinya. Setelah pertengkaran hebat dengan Lusi, hanya satu tempat yang bisa memberinya ketenangan—di sisi Raya, buah hatinya.

Ia terduduk di kursi dekat ranjang, menatap wajah kecil yang terlelap damai. Nafas Raya teratur, dadanya naik turun dengan ritme lembut, tidak menyadari badai yang mengamuk di rumah ini.

Namun bagi Bumi, pemandangan itu justru menyesakkan.

Ia mengulurkan tangan, menyelipkan helaian rambut di dahi putrinya dengan hati-hati, seakan takut membangunkannya.

“Maafkan Papa, Sayang...”

Suaranya hanya sebatas bisikan, tenggelam dalam keheningan malam.

“Papa tahu kamu butuh Mama. Kamu berhak mendapatkan kasih sayang seorang ibu, tapi... Mama selalu sibuk. Papa sudah mencoba, tapi sepertinya itu belum cukup.”

Matanya terasa panas, dadanya semakin berat. Bumi menghela napas panjang, mencoba menahan emosi yang meluap.

“Kamu pantas mendapatkan lebih, Raya...”

Ia mengepalkan tangannya, bukan karena marah, tetapi karena ketidakberdayaan yang terus menghimpitnya.

Dari balik pintu yang sedikit terbuka, sepasang mata memperhatikannya dengan saksama.

Mawar berdiri dalam diam, memperhatikan bagaimana Bumi menumpahkan seluruh kasih sayangnya pada putrinya—sesuatu yang dulu seharusnya didapatkan olehnya. Jika saja tak ada Lusi yang merebut Bumi dari Resti, ibunya.

Mawar mengepalkan jemarinya, menahan gejolak yang membara di dadanya.

“Seharusnya, aku yang berada di posisi Raya...”

“Seharusnya, Om Bumi adalah ayahku...”

Tapi kenyataan berkata lain.

Lusi merebut segalanya dari ibunya. Dan kini, Mawar telah bersumpah—ia akan mengambil semuanya kembali. Dengan caranya sendiri.

Senyum kecil tersungging di bibir Mawar.

“Om Bumi... Kau adalah milikku.”

“Aku akan mengisi kekosongan yang Tante Lusi tinggalkan di hatimu.”

Ia tidak perlu terburu-buru. Tidak perlu tergesa-gesa.

Karena perlahan... Bumi akan melihatnya. Akan merasakannya.

Bahwa ia—Mawar—bukan hanya sekadar pengisi di rumah ini.

Ia akan menjadi sesuatu yang lebih.

1
Aqilah Azzahra
semangat kak
Ila Akbar 🇮🇩: ♥️♥️♥️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!