Kau Rebut Calon Suami Ibuku, Kurebut Suamimu

Kau Rebut Calon Suami Ibuku, Kurebut Suamimu

Bab 1

Di depan gerbang megah sebuah rumah mewah, seorang gadis muda berdiri mematung. Mawar, dengan usia yang masih belia—20 tahun—memandangi rumah itu dengan tatapan tajam yang menyimpan dendam membara. Jemarinya mengepal erat, seolah ingin menghancurkan dunia yang selama ini memenjarakan hatinya.

Angin malam berembus pelan, membawa aroma rumput basah dan bunga yang bermekaran. Namun, bagi Mawar, angin itu hanya membakar luka lama yang belum sembuh. Tubuhnya gemetar, bukan karena dinginnya udara, melainkan oleh gejolak amarah yang terus merayap di setiap jengkal pikirannya.

“Maafkan Mawar, Tante Lusi,” gumamnya pelan, hampir tak terdengar di tengah kesunyian malam. Nada suaranya bergetar, tetapi tekadnya begitu kokoh. “Mawar harus melakukan ini. Mawar tidak punya pilihan.”

Matanya yang sembap memerah, penuh amarah dan luka. Bukan oleh dinginnya malam, melainkan oleh kenangan pahit yang terus menghantui pikirannya.

“Pengkhianatan yang Tante lakukan pada Ibu tidak akan pernah Mawar lupakan, tidak akan pernah Mawar maafkan,” bisiknya tegas. Kalimat itu menggema di hatinya, seolah menjadi mantra yang terus ia ulangi untuk menguatkan dirinya.

Pikiran Mawar melayang, kembali pada kenangan satu bulan yang lalu—kenangan yang menghancurkan segalanya.

***

Siang itu, di pulau terpencil yang sunyi, panas terik menyengat.

Mawar baru saja pulang dari membeli makanan sederhana. Tangannya penuh oleh plastik berisi lauk-pauk seadanya. Ia melangkah tergesa menuju kamar ibunya, berniat segera memberikan makanan itu kepada sang ibu tercinta.

Namun, langkahnya terhenti di depan pintu kamar yang terbuka. Ia mendapati ruangan itu kosong.

“Mbak Anjani! Ibu ke mana?!” serunya panik, napasnya langsung memburu.

Anjani, kakaknya yang berusia 22 tahun, sedang sibuk membereskan pakaian di ruang tengah. Mendengar teriakan Mawar, ia terlonjak kaget, lalu berlari menghampiri adiknya. “Apa, Mawar? Ibu nggak ada di kamar?” tanya Anjani, suaranya bergetar.

Wajah Anjani berubah pucat seketika. Dengan panik, ia mengusap wajahnya menggunakan kedua tangannya, mencoba menenangkan diri. Namun, ketakutan jelas terpancar dari matanya. “Ya Tuhan… Ibu ke mana?!”

Mawar dan Anjani saling berpandangan. Pikiran mereka melayang ke kejadian-kejadian sebelumnya—saat-saat di mana Ibu Resti, ibunya, yang tidak lagi waras (Gila), sering kabur dari rumah tanpa arah. Setiap kali itu terjadi, mereka selalu menemukan ibunya dalam keadaan yang memprihatinkan, dipermalukan oleh warga kampung.

“Mawar, kita harus cari Ibu sekarang juga!” seru Anjani tegas, matanya mulai basah oleh air mata yang tertahan.

“Iya, Mbak! Aku takut terjadi sesuatu pada Ibu!” Mawar menjawab dengan nada tak kalah cemas.

Tanpa berpikir panjang, keduanya berlari meninggalkan rumah. Mawar dan Anjani berpencar, menyusuri jalan-jalan sempit pulau dengan hati yang penuh kecemasan.

Di sepanjang jalan, Mawar terus memanggil-manggil nama ibunya. “Ibu! Ibu, di mana?!” suaranya parau, bercampur isak tangis.

Namun, tak ada jawaban.

Hingga akhirnya, mereka tiba di sebuah lapangan kecil, tempat banyak warga sedang berkumpul. Kerumunan itu tertawa keras, mengolok-olok sesuatu di tengah-tengah mereka. Mawar dan Anjani merasa ada yang tidak beres.

Ketika mereka mendekat, hati Mawar terasa hancur melihat sosok yang berdiri di tengah kerumunan. Itu adalah Ibu Resti, ibunya.

Pakaian Ibu Resti lusuh, rambutnya acak-acakan, dan wajahnya penuh ketakutan. Matanya liar, seperti hewan yang terpojok di sudut gelap. “J-jangan sentuh aku! Pergi! Jangan mendekat!” suaranya melengking, penuh kepanikan.

Tawa warga pecah, tanpa sedikit pun belas kasihan. Seolah ketakutan yang terpancar dari perempuan malang itu hanyalah hiburan murahan bagi mereka.

“Hahaha! Dengar itu? Dia pikir kita mau menyentuhnya? Hei, sadar diri, perempuan gila!” seru seorang pria dengan tawa merendahkan.

“Mungkin dia masih merasa dirinya cantik?” sahut yang lain, disambut gelak tawa yang lebih keras.

Mawar merasakan darahnya mendidih. Tangannya mengepal erat, tubuhnya gemetar bukan karena takut, tapi karena amarah yang semakin membuncah. Ia tak bisa lagi hanya berdiri menyaksikan ibunya dihina seperti ini.

Dengan mata yang mulai basah oleh air mata, Mawar menerobos kerumunan tanpa ragu, berdiri tegap di depan ibunya, menghadang mereka semua. “Cukup! Jangan hina Ibu saya seperti ini!” suaranya bergetar, campuran antara amarah dan kesedihan yang tak tertahankan.

Seorang pria mendengus, melipat tangan di dadanya sambil menatap Mawar dengan sinis. “Hei, gadis sok berani! Ini urusan kampung! Jangan ikut campur!”

Mawar menatap mereka satu per satu, wajahnya memerah karena emosi yang hampir meledak. “Diam! Kalian tidak tahu apa yang telah ibu saya alami! Kalian tidak tahu bagaimana dia menderita!”

Namun sebelum warga bisa merespons, tiba-tiba Ibu Resti berteriak histeris, tubuhnya gemetar hebat. Bibirnya bergetar, matanya penuh teror. “P-pergi! Jangan sentuh aku! Aku harus pergi! Aku harus pergi sekarang juga!”

Mawar dan Anjani semakin panik. “Ibu! Ini Mawar! Ini Mbak Anjani, Bu! Lihat kami, Bu!”

Namun Ibu Resti tak lagi mendengar mereka. Napasnya memburu, tubuhnya semakin menggigil ketakutan. “Aku harus pergi! Aku harus balas dendam pada Lusi! Dia... dia yang menghancurkan hidupku! Dia yang merampas segalanya dariku!” suaranya dipenuhi kebencian yang telah lama terpendam.

Sesaat, suasana berubah hening. Semua orang terdiam, mencerna kata-kata Ibu Resti. Namun hanya sesaat. Setelah itu, tawa mereka kembali pecah, lebih keras dari sebelumnya. “Hahaha! Dendam? Perempuan gila ini masih saja berkhayal! Hei, Lusi, dengar itu? Katanya kamu merampas segalanya darinya!”

Sakit. Kata-kata itu menghujam hati Mawar seperti pisau yang mencabik-cabik. Tetapi sebelum ia sempat bereaksi, Ibu Resti tiba-tiba berlari.

“Ibu! Tunggu!!” Mawar berteriak, langsung mengejar.

“Mawar! Kita harus kejar Ibu!” Anjani menyusul, mencoba berlari secepat mungkin.

Langkah kaki mereka berpacu dengan waktu, berusaha meraih sosok Ibu Resti yang semakin menjauh, terseret dalam ketakutan dan trauma yang telah menguasai pikirannya selama ini. Napas Mawar dan Anjani tersengal, dada mereka terasa sesak, tetapi mereka tidak peduli. Yang ada di kepala mereka hanya satu: menyelamatkan Ibu.

Namun, takdir rupanya punya rencana lain.

“Ibu! Berhenti! Jangan lari!!” teriak Mawar sekuat tenaga, suaranya nyaris pecah oleh kepanikan.

Terlambat.

Tiba-tiba, suara klakson menggelegar, menembus udara siang yang panas.

BRAAAAKK!!!

Semuanya terjadi begitu cepat.

Sebuah mobil melaju kencang, pengemudinya tak sempat menghindar. Tubuh Ibu Resti terpental keras, melayang beberapa meter di udara sebelum akhirnya jatuh menghantam aspal dengan suara yang menghancurkan hati. Darah segar langsung menggenang di bawahnya, mengalir membentuk jejak tragis di tengah jalan yang terpanggang terik matahari.

Mawar membeku di tempat. Dunianya seakan berhenti berputar.

“I-Ibu…?” suara Mawar tercekat di tenggorokan. Kakinya terasa begitu berat untuk melangkah, tetapi hatinya menjerit menyuruhnya berlari.

“IBUUUUU!!!”

Mawar akhirnya berlari secepat yang ia bisa, jatuh berlutut di samping tubuh ibunya. Tangannya gemetar saat menyentuh wajah Ibu Resti yang penuh luka, darah masih terus mengalir dari kepalanya.

Anjani menyusul, napasnya tersengal-sengal. Begitu melihat ibunya tergeletak tanpa bergerak, ia terduduk lemas, menutupi mulutnya yang bergetar hebat. “T-tidak… Ini tidak mungkin…” bisiknya, air mata langsung membanjiri wajahnya.

Mawar mengguncang tubuh ibunya dengan putus asa. “Ibu! Ibu bangun! Jangan tinggalkan Mawar, Ibu! Ibu masih harus bersama kami! Ibu… tolong…” suaranya pecah di antara tangis yang semakin histeris.

Ibu Resti membuka matanya sedikit. Napasnya tersengal, tubuhnya lemah, tetapi bibirnya masih berusaha bergerak.

“L-Lusi… k-kamu… harus merasakan… penderitaan… seperti yang… aku… ra…”

Ucapan itu terputus. Napas terakhir Ibu Resti melayang bersama angin siang yang menyengat. Tangannya yang semula menggenggam erat baju Mawar kini jatuh lemas ke tanah, tak lagi bergerak.

Hening.

Sesaat, dunia Mawar terasa kosong. Hanya suara angin yang berembus pelan, seakan ikut berkabung atas kepergian seorang ibu yang telah terlalu lama menanggung derita.

Anjani yang sejak tadi menahan tangis akhirnya menjerit, memeluk tubuh ibunya erat. “Ibu, bangun… Jangan tinggalkan kami, Bu… Tolong…”

Tetapi Ibu Resti tidak akan pernah bangun lagi. Ibu Resti meninggal.

Mawar menunduk, air matanya mengalir deras. Tetapi kali ini, bukan hanya kesedihan yang memenuhi dadanya.

Ada sesuatu yang lain, dendam.

Mawar mengepalkan tangannya kuat-kuat, tatapan matanya tajam dan penuh amarah. “Tante Lusi… semua ini karena dia...”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!