⚠️ *Peringatan Konten:* Cerita ini mengandung tema kekerasan, trauma psikologis, dan pelecehan.
Keadilan atau kegilaan? Lion menghukum para pendosa dengan caranya sendiri. Tapi siapa yang berhak menentukan siapa yang bersalah dan pantas dihukum?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R.H., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Korban Baru
Malam itu, aku berjalan menunduk di gang sempit yang sudah tak asing lagi bagiku. Tempat itu sering kulewati, namun malam ini terasa berbeda. Saat langkahku menyusuri lorong gelap, terdengar suara jeritan seorang perempuan.
"Tolong... Tolong..."
Awalnya aku enggan menolong. Apalagi kulihat seorang lelaki muda, sekitar dua puluhan tahun, tengah mencoba memperkosa seorang gadis SMA yang baru pulang sekolah. Aku melewati mereka dengan tatapan kosong, seolah tak melihat apa pun. Namun tatapan gadis itu—mata berkaca-kaca penuh harap—menyentuh sesuatu dalam diriku.
"Aku mohon... Lepasin... Paman, tolong aku..." teriaknya.
Aku tetap diam, tak peduli. Lelaki itu tampak senang, merasa tak ada yang akan menghalangi hasrat liarnya. Ia memukul dan menarik gadis itu yang menangis kesakitan. Kejahatan di gang ini memang sering terjadi, tapi aku tak pernah tahu siapa pelakunya.
Sebelum lelaki itu membawa gadis itu menjauh, aku memutuskan untuk mengikutinya dalam gelap. Aku bersembunyi, menunggu waktu yang tepat. Saat lelaki itu sudah berantusias sambil tersenyum ingin ingin memulai aksinya, aku memukulnya dari belakang. Lelaki itu terhuyung, memegang kepalanya, lalu pingsan.
Segera aku menelepon seseorang.
"Cepat ke sini. Aku punya kerjaan untukmu," ucapku singkat, lalu mematikan telepon.
Aku menghela napas, berjongkok memeriksa kondisi lelaki itu. Anehnya, aku tak terlalu peduli pada gadis itu. Yang membuatku heran, kenapa anak sekolah baru pulang jam sembilan malam? Bukankah seharusnya mereka pulang jam tiga sore?
Saat aku menunggu, aku teringat amplop pemberian Tama—istri Aaron. Baru saja ingin membukanya, suara seseorang mengejutkanku.
Aku langsung buru-buru selipkan lagi ke kantong celanaku.
"Ada apa, Paman, panggil aku ke sini?" tanya Rafael, penasaran.
Aku menghela nafas jengkel, mencoba untuk tenang. Aku yang penasaran sama isi amplop itu akhirnya memilih untuk bersabar mungkin ini belum waktunya. Aku menunjuk sosok lelaki itu yang tergeletak ke tanah.
Rafael menatap pemuda itu, lalu beralih ke gadis berseragam sekolah. Ia berjongkok memeriksa wajahnya.
"Paman... Ini Anita, anak kelas sebelah. Ngapain dia ada di sini?"
Aku memutar bola mata malas. "Bantu saya bereskan orang ini. Soal gadis itu, biarkan saja sampai dia sadar," ucapku datar.
Rafael mengangguk, lalu mulai mengangkat tubuh lelaki itu. "Paman, bantu aku... Berat banget!" omelnya.
Aku yang malas untuk berdebat akhirnya membantu mengangkat tubuh lelaki itu.
***
Kini lelaki itu sudah terikat di kursi kayu. Aku dan Rafael sudah mengenakan topeng, menyamarkan suara agar identitas kami tak dikenali.
Aku yang malas menunggu untuk dia sadar akhirnya, menyiramkannya air yang sudah ku siapkan. Awalnya dia belum juga kunjung sadar dan aku melihat jelas Rafael mengeleng sambil tersenyum smirk.
"Paman... Biar aku yang akan membangunkannya." Katanya percaya diri sambil memukul dadanya.
Aku mengangguk malas. "Lakukanlah."
Rafael berdiri di hadapan pemuda itu—Adam Stroyoga Putra, seorang mahasiswa teknik. Aku tahu itu dari Antoni, ingatkan orang kepercayaanku yang berprofesi jadi seorang dokter. Ia bertugas merawat korban-korban yang memilih bertobat.
Aku menatap Rafael tajam, aku penasaran apa yang akan dia lakukan anak itu untuk membuat lelaki itu sadar.
Plak! Plak!
Dua tamparan keras mendarat di pipi Adam.
Aku tersentak, lalu tersenyum. Salut pada keberanian bocah itu.
"Bagus," kataku saat Adam mulai sadar.
Adam mulai tersadar, dia sepenuhnya belum mengerti apa yang terjadi kepadanya barusan. Dia mulai memberontak ketika mendapati dirinya sudah terikat diruangan gelap dan ditambah lagi ada dua sosok lelaki bertopeng berdiri dihadapannya menatapnya angkuh.
"SIAPA KALIAN? JAWAB!" teriaknya.
Aku tertawa kecil lalu berdiri menghadapnya yang kini menatapku dengan nafas memburu.
"Selamat datang di ruang dosa, tempat penghakiman dimulai," ucapku sambil merentangkan tangan.
Adam mengerutkan kening binggung. Tak mengerti apa yang terjadi barusan. Aku yang malas melihat wajah-wajah korban seolah bertanya, menoleh kepada Rafael sambil menepuk pundaknya dua kali.
"Kali ini kau yang urus dia, aku ingin melihat seberapa pantas kau menjadi murid ku." Ucapku, aku melihat Rafael dan membaca gerakan tubuhnya yang merespon sangat bersemangat.
"Paman serius? Kalau gitu, aku akan melakukan semampu aku untuk menjadi murid paman." Katanya antusias.
Sedangkan Adam tak mengerti berusaha untuk melepaskan diri tapi sia-sia.
"Lakukan yang kamu bisa. Saya mau istirahat. Jangan kecewakan saya. Paham?" ucapku, lalu pergi meninggalkan mereka.
Jujur saja aku sangat capek dan butuh istirahat, sekalian aku penasaran sama isi amplop yang diberikan oleh istri Aaron.
Dan, aku yang sudah mempercayakan kepada Rafael jadi aku menyuruhnya untuk melakukan apapun yang dia mau asalkan jangan diluar batas kendali.
Aku berbaring diatas kasur, menatap langit-langit kamar. aku mengambil amplop dari Tama lalu membukanya.
Didalam amplop itu berisi sebuah kertas. Aku membukanya perlahan sebuah tulisan tangan Tama yang aku lihat.
"Terima kasih kamu sudah menepati janjimu. Setidaknya aku sekarang jauh lebih baik jika tidak ada dia. Kamu benar-benar malaikat penolong dan lebih bagusnya kamu sekalian membunuh parasit tua itu. — Tama"
Aku terkekeh kecil membaca surat itu. Disebut sebagai malaikat penolong? Aku tertawa puas, lalu merobek kertas itu dan melemparkannya ke udara. Potongan kertas jatuh mengenai wajahku. Aku tersenyum, menutup mata, dan tertidur.
iblis✔️
mampir juga yuk ke cerita ku "Misteri Pohon Manggis Berdarah"