"Tubuhmu milikku. Waktumu milikku. Tapi ingat satu aturan mutlak, jangan pernah berharap aku menanam benih di rahimmu."
Bagi dunia, Ryu Dirgantara adalah definisi kesempurnaan. CEO muda yang dingin, tangan besi di dunia bisnis, dan memiliki kekayaan yang tak habis tujuh turunan. Namun, di balik setelan Armani dan tatapan arogannya, ia menyimpan rahasia yang menghancurkan egonya sebagai laki-laki, Ia divonis tidak bisa memberikan keturunan.
Lelah dengan tuntutan keluarga soal ahli waris, ia menutup hati dan memilih jalan pintas. Ia tidak butuh istri. Ia butuh pelarian.
Sedangkan Naomi Darmawan tidak pernah bermimpi menjual kebebasannya. Namun, jeratan hutang peninggalan sang ayah memaksanya menandatangani kontrak itu. Menjadi Sugar Baby bagi bos besar yang tak tersentuh. Tugasnya sederhana, yaitu menjadi boneka cantik yang siap sedia kapan pun sang Tuan membutuhkan kehangatan. Tanpa ikatan, tanpa perasaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nyonya_Doremi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Udara di Ruang Bersalin VIP Dirgantara terasa beku. Tangisan bayi yang baru lahir, yang seharusnya membawa kebahagiaan mutlak, kini terdengar sebagai lonceng peringatan yang nyaring.
Ryu berdiri terpaku, memeluk putranya, pewaris sah yang lahir dari keajaiban medis, sementara pandangannya terbagi antara kehancuran ibunya, Helena, dan ancaman yang baru saja muncul di ambang pintu.
Wanita itu, Riana, berdiri tegak dan tenang, memegang kebenaran yang akan meruntuhkan citra keluarga Dirgantara.
“Apa katamu?” suara Helena, yang tadinya hancur, kini kembali diisi dengan kemarahan murni. Ia bangkit dari kursinya, matanya menyala. “Tuan Wiratama tidak punya catatan! Semua sudah dihancurkan!”
Riana, si pengacara muda itu, tidak gentar. “Tuan Wiratama adalah pengacara yang berintegritas. Meskipun salinan fisiknya dibakar, Tuan Wiratama menyimpan micro-fiche dari surat-surat itu di bank data terpisah. Dan dia memutuskan untuk membuka segelnya. Putri klien saya, yang kini berusia dua puluh sembilan tahun, memiliki nama dan bukti garis keturunan yang tak terbantahkan, Nyonya Helena. Dia adalah darah daging Tuan Danial Dirgantara. Dan dia menuntut haknya.”
Ryu menyerahkan bayinya kepada perawat tanpa mengalihkan pandangan dari Riana. Kepanikan telah digantikan oleh fokus seorang CEO yang menghadapi pengambilalihan perusahaan secara mendadak.
“Tuntutan apa?” tanya Ryu, suaranya tajam dan mengintimidasi.
“Seperempat dari warisan Danial Dirgantara,” jawab Riana dengan tenang. “Dan pengakuan publik atas garis keturunannya. Dia akan mengajukan gugatan pada hari Jumat ini.”
“Gila!” teriak Helena. “Itu tidak akan terjadi! Anak haram tidak berhak atas warisan! Kami akan menghancurkanmu di pengadilan!”
Riana tersenyum sinis. “Anak ini lahir dari pernikahan yang sah sebelum Tuan Danial kembali kepada Anda, Nyonya Helena. Dokumen menunjukkan dia mengandung sebelum perceraian Anda. Kami memiliki bukti DNA Ayah Ryu, yang dikumpulkan secara rahasia oleh Tuan Danial sebelum meninggal. Jika kami membuka gugatan ini, seluruh dunia akan tahu bahwa Tuan Danial punya anak rahasia, dan bahwa Anda, Nyonya Helena, adalah wanita yang menyusun skema kejam untuk membayar seorang ibu agar menyerahkan anaknya.”
Ancaman itu berhasil. Helena terdiam, wajahnya pucat pasi.
Ryu melangkah maju, menghalangi Riana untuk melihat Naomi. “Kami akan menghubungimu. Berikan aku detail kontakmu. Dan jangan pernah berani berbicara kepada media. Aku akan menuntutmu atas gangguan privasi dan pemerasan.”
“Saya hanya menyampaikan pesan, Tuan Ryu. Saya tunggu panggilan Anda. Sebelum Jumat,” kata Riana, menyerahkan kartu nama dan meninggalkan Ruang Bersalin VIP, meninggalkan kekacauan emosional dan ancaman hukum yang besar.
Ruangan itu dipenuhi ketegangan. Perawat membawa bayi itu ke Naomi. Naomi, lelah tetapi dengan mata yang bersinar karena tekad, memeluk putranya.
“Ryu, kau harus tenang,” kata Naomi, suaranya lemah tetapi stabil. “Ini adalah kabar buruk, tetapi ini juga kesempatan.”
Helena, yang duduk di sudut, menatap Naomi dengan campuran ketakutan dan kebencian.
“Kesempatan apa? Anak haram itu akan mengambil bagian Ryu! Anak haram itu akan mengambil bagian cucuku!” raung Helena.
“Dengar aku, Ibu,” potong Ryu, berbalik dan menatap Helena. “Kau sudah selesai. Kau sudah bermain dengan rahasia selama 30 tahun dan sekarang rahasia itu menghancurkan kita. Mulai sekarang, aku yang mengendalikan. Dan aku akan mendengarkan Naomi.”
Helena menatap putranya dengan tidak percaya, tetapi keputusasaan membuat dia bungkam.
Ryu berlutut di sisi tempat tidur Naomi, meraih tangan Naomi. “Apa rencanamu? Kita punya waktu kurang dari 72 jam.”
“Kita tidak melawan anak itu. Kita tidak bisa melawannya, karena kita akan mengungkap kejahatan Ibu, dan itu akan menghancurkan reputasi keluarga,” jelas Naomi, sambil membelai kepala putranya. “Kita melakukan hal yang sama seperti yang Anda lakukan pada Vanessa dan yang saya gunakan pada Anya.”
“Transaksi dan Keintiman?” tanya Ryu.
“Lebih dari itu. Pengakuan dan Penggabungan.”
Naomi menjelaskan rencananya.
"Ryu harus segera mengakui keberadaan anak rahasia itu kepada media, tetapi bukan seba
gai ancaman, melainkan sebagai tragedi romantis keluarga dirgantara. Gunakan narasi bahwa Ayah Ryu, sebelum meninggal, pernah memiliki hubungan mendalam, dan kini keluarga Dirgantara menyambut putri itu dengan tangan terbuka. Tawarkan anak itu lebih dari seperempat warisan, tetapi dengan syarat. Anak itu harus menerima saham mayoritas di anak perusahaan yang sangat menguntungkan, dan harus menandatangani perjanjian yang melarang dia menjual saham itu selama 20 tahun. Ryu harus mengundang putri itu, sekutu barunya, untuk duduk di dewan direksi Dirgantara. Dengan begitu, dia tidak menjadi pesaing, tetapi menjadi mitra yang terikat pada keberhasilan Ryu.
“Jika dia menuntut seperempat warisan, itu hanya uang. Jika kita memberinya saham dan posisi di dewan, dia menjadi bagian dari struktur kekuatan. Dia tidak akan lagi menjadi musuh, tetapi penjaga kepentingan Dirgantara,” tambah Naomi.
Ryu menatap Naomi, matanya memancarkan kekaguman yang dalam.
“Kau mengambil kelemahan terbesar kita, keberadaan anak itu dan menjadikannya kekuatan yang menjamin stabilitas perusahaan.”
“Tepat. Warisan yang sebenarnya bukan uang, Ryu. Warisan adalah kekuatan dan kontrol. Kita harus memberikan keduanya kepadanya, tetapi dengan klausul yang menguntungkan kita,” kata Naomi. “Dan yang paling penting, dengan mengumumkan ini dengan narasi yang positif, kita akan menjadi pahlawan yang menyambut anak yang hilang, dan Ibu akan terselamatkan dari aib kriminal.”
Ryu menghela napas. “Panggil tim hukum. Sekarang. Di sini. Dan Ibu…” Ryu berbalik ke Helena. “Ibu akan mendukung narasi ini sepenuhnya. Ibu akan muncul di samping Naomi, tersenyum, dan menyambut putri baru Ayah ke dalam keluarga. Jika Ibu menentang, aku akan memberitahu media tentang apa yang Ibu lakukan pada Soraya, dan aku akan membiarkan anak Ayah menggugat Dirgantara.”
Helena, yang telah melihat garis keturunan kesayangannya terselamatkan dari aib kriminal, mengangguk dengan kepahitan. “Aku akan melakukan apa pun untuk melindungi nama keluarga.”
Ryu bertindak cepat. Ruang Bersalin VIP dengan cepat berubah menjadi ruang perang. Pengacara dan penasihat media berdatangan, membahas rincian penawaran yang akan mengubah putri Danial Dirgantara menjadi sekutu.
Keesokan paginya, setelah Naomi dan bayinya dipindahkan ke suite pemulihan, Ryu mengadakan pertemuan dengan Riana.
Riana datang dengan membawa kliennya. Wanita yang menuntut warisan itu masuk ke ruangan. Dia adalah wanita yang sangat cantik, matanya memancarkan kecerdasan yang tenang, dan ada aura kesamaan yang mencolok dengan Ryu.
“Perkenalkan, Tuan Ryu,” kata Riana. “Ini klien saya, Kirana Senja.”
Ryu terkejut. Kirana Senja. Nama yang elegan, tetapi memiliki getaran yang sangat akrab.
“Kirana,” sambut Ryu, mengulurkan tangan. “Aku minta maaf atas kesalahan masa lalu Ayahku, tetapi kami siap memperbaikinya.”
Kirana menjabat tangan Ryu. “Aku tidak butuh permintaan maaf. Aku hanya butuh hak. Dan aku dengar tawaran saham mayoritas di anak perusahaan B. Aku menyukai tawaran itu, Tuan Ryu. Jauh lebih baik daripada uang tunai yang akan hilang di pengadilan.”
“Kami senang Anda pragmatis,” kata Ryu.
Saat Ryu dan Kirana mulai membahas klausul penguncian saham yang dirancang untuk mencegah Kirana menjualnya kepada pesaing, Naomi, yang sedang menyusui putranya di sofa, merasakan ada yang janggal.
Kirana berbicara dengan pengetahuan yang mendalam tentang pasar energi, yang merupakan spesialisasi anak perusahaan B. Dia terlalu berpengetahuan untuk seseorang yang baru mengetahui identitas ayahnya.
Naomi memandang Kirana, membandingkannya dengan kenangannya tentang Anya Senjaya. Kirana dan Anya memiliki kesamaan visual yang samar, wajah yang sama eksotisnya, postur yang sama anggunnya.
“Nona Kirana,” sapa Naomi dengan lembut. “Apakah Anda memiliki latar belakang di bidang energi? Atau Anda seorang pengacara, seperti Nona Riana?”
Kirana tersenyum. “Saya seorang pengusaha, Nyonya Dirgantara. Saya bekerja di bidang konsultasi investasi di luar negeri.”
Ryu mengangguk. “Dia sangat cerdas, Naomi. Ini akan menjadi aset bagi dewan direksi kita.”
Naomi tidak puas. Dia menatap Kirana, mencoba menghubungkan titik-titik yang terpisah. Kirana, Anya Senjaya, dan konflik garis keturunan.
“Saya senang Anda akan bergabung dengan kami, Kirana,” kata Naomi, mengalihkan perhatiannya ke Ryu. “Tapi saya punya satu pertanyaan terakhir, Ryu. Mengapa Pengacara Wiratama tiba-tiba membuka segel rahasia itu sekarang? Setelah 30 tahun bungkam, dan menolak semua uang kita?”
Ryu menggeleng. “Aku tidak tahu. Mungkin dia ingin membersihkan hati nuraninya sebelum mati.”
Kirana hanya melihat jam tangannya, menunjukkan ketidaksabaran.
Naomi kembali menatap Kirana, dan akhirnya, dia melihat detail yang paling kecil tetapi paling penting. Kirana mengenakan jam tangan mewah yang hanya bisa dibeli oleh orang-orang tertentu, tetapi Naomi ingat melihat jam tangan itu sebelumnya.
Naomi menahan napasnya. Dia teringat kembali pada hari ketika Anya Senjaya, mantan tunangan Ryu, datang untuk mengambil barang-barang sentimental dari penthouse.
Anya, wanita yang dicintai Ryu, wanita yang hanya fokus pada ambisi.
Kirana, wanita yang memiliki pengetahuan mendalam tentang pasar energi dan menuntut warisan.
Naomi melihat ke arah jam tangan Kirana, lalu ke arah Ryu. Dia yakin telah melihat jam tangan itu di pergelangan tangan Anya.
“Nona Kirana,” kata Naomi, suaranya kini dingin. “Apakah Anda mengenal seorang wanita bernama Anya Senjaya?”
Kirana tersenyum, senyum yang sama dinginnya dengan milik Helena.
“Anya Senjaya?” ulangnya dengan nada bertanya. “Oh, ya. Tentu saja. Dia adalah saudara tiri saya. Kami berbagi Ayah yang sama, tetapi Ibu yang berbeda.”
Keheningan melanda ruangan. Ryu menatap Kirana, lalu ke Naomi.
Anya Senjaya, mantan tunangan Ryu, adalah saudara tiri dari putri rahasia Danial Dirgantara. Anya pasti tahu tentang Kirana, dan Anya pasti telah menggunakan informasi ini untuk membalas dendam kepada Ryu. Anya tidak hanya ingin mengambil saham, tetapi dia ingin membagi warisan Ryu, secara hukum, melalui saudara tirinya.
Ancaman terbesar Ryu, bukan hanya datang dari anak rahasia ayahnya, tetapi dari cinta masa lalu yang dikhianatinya. Anya telah merencanakan perang ini dengan cermat.
“Kau… kau bekerja sama dengan Anya?” tuntut Ryu, matanya memancarkan kemarahan.
Kirana menghela napas. “Kami hanya saling membantu. Anya memberi saya informasi, dan saya memberinya janji bahwa setelah warisan ini diselesaikan, saya akan memberinya anak perusahaan B sebagai hadiah.”
Kirana menatap Ryu dengan senyum kemenangan. “Kau mengusirnya, Tuan Ryu. Kau tidak menghormati cintanya. Dan sekarang, dia akan mengambil kembali apa yang pantas dia dapatkan, melalui jalur hukum yang bersih. Dan aku adalah alat yang sempurna untuk itu.”
Ryu jatuh kembali ke kursinya, wajahnya pucat pasi. Ia telah dikalahkan bukan oleh kecerdasan hukum, tetapi oleh dendam seorang wanita yang ia tolak.
Naomi, memeluk putranya, tersenyum dingin.
“Selamat datang di rumah tangga Dirgantara yang sesungguhnya, Ryu. Perang baru saja dimulai, dan kali ini, musuhmu adalah semua wanita yang pernah kau khianati.”