NovelToon NovelToon
Mirror World Architect

Mirror World Architect

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Anak Genius / Horror Thriller-Horror / Epik Petualangan / Dunia Lain / Fantasi Wanita
Popularitas:177
Nilai: 5
Nama Author: PumpKinMan

Satu-satunya hal yang lebih buruk dari dunia yang rusak adalah mengetahui ada dunia lain yang tersembunyi di baliknya... dan dunia itu juga sama rusaknya.

Rania (21) adalah lulusan arsitektur terbaik di angkatannya. Sekarang, dia menghabiskan hari-harinya sebagai kurir paket. Baginya, sarkasme adalah mekanisme pertahanan, dan kemalasan adalah bentuk protes diam-diam terhadap industri yang menghancurkan idealisme. Dia hanya ingin hidup tenang, mengabaikan dunia, dan membayar sewa tepat waktu.

Tapi dunia tidak mau mengabaikannya.

Semuanya dimulai dari hal-hal kecil. Bayangan yang bergerak sepersekian detik lebih lambat dari seharusnya. Sensasi dingin yang menusuk di gedung-gedung tua. Distorsi aneh di udara yang hanya bisa dilihatnya, seolah-olah dia sedang melihat kota dari bawah permukaan air.

Rania segera menyadari bahwa dia tidak sedang berhalusinasi. Dia adalah satu-satunya yang bisa melihat "Dunia Cermin"-sebuah cetak biru kuno dan dingin yang bersembunyi tepat di balik realita

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PumpKinMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 19: MONUMEN BETON YANG GAGAL

Keheningan.

Setelah raungan sirene, jeritan psikis, dan suara realitas yang merobek dirinya sendiri, keheningan di dalam lobi parkir "The Elysian Spire" terasa tidak wajar. Itu adalah keheningan sebuah makam.

Udara di dalamnya terasa berat dan mati, tebal oleh bau beton basah yang belum kering sempurna, karat yang menusuk hidung, dan jamur—bau jamur *sungguhan* yang basah dan membusuk, sangat berbeda dari bau ozon yang steril dari Dunia Cermin.

Rania terbaring di lantai beton yang dingin dan berpasir, napasnya tersengal-sengal. Amulet obsidian itu menempel di kulitnya di bawah kemeja flanel Dion, terasa berat dan dingin seperti batu nisan.

Di sampingnya, Reza telah berhenti menangis. Dia hanya duduk bersandar di pilar beton raksasa, memeluk lututnya, menatap kosong ke dalam kegelapan. Gema tangisannya yang patah masih menggantung di udara yang lembap.

Rania perlahan duduk. Tubuhnya sakit di setiap sendi. Sepatu kets yang kebesaran itu telah menggesek tumitnya hingga lecet. Dia bisa merasakan darah kering yang lengket di kaus kakinya.

Dia melihat ke sekeliling.

Gua beton ini sangat besar. Dirancang untuk menampung ratusan mobil mewah. Sekarang, satu-satunya penghuninya adalah genangan air hujan yang keruh, tumpukan kayu lapis yang membusuk, dan gema dari dua nyawa yang hancur.

Dan, tentu saja, "ikan-ikan" itu.

Rania tahu, bahkan tanpa bisa melihat mereka, bahwa mereka ada di sini. Di balik kebisuan yang dipaksakan oleh amulet itu, dia tahu langit-langit di atasnya *merangkak* oleh Gema-gema oranye yang panik, yang tertarik pada kekacauan di luar. Dan dia tahu, jauh di bawah fondasi tempat dia duduk, ada "Titik Buta" lain yang sedang tidur.

Amulet itu membisukan semuanya, meredamnya menjadi ketiadaan.

Dia menatap Reza.

Temannya terlihat hancur. Wajahnya pucat pasi, bergaris-garis kotoran dan air mata. Matanya, yang biasanya berbinar penuh rasa ingin tahu yang aneh, kini kusam dan kosong. Dia telah kehilangan segalanya. Kafenya. Rumahnya. Penelitiannya. Jurnal "Sang Geometer". Semuanya "dikoreksi" menjadi obsidian.

Rania membuka mulutnya.

Dia ingin mengatakan sesuatu. Sesuatu yang menghibur. *"Semua akan baik-baik saja."* *"'Kita akan membalas mereka."* *"'Aku ikut berduka atas kafemu, Za."*

Kata-kata itu tidak keluar.

Mereka membentuk di benaknya, tapi mereka terasa... *tidak logis*. Tidak efisien. Mereka adalah data yang tidak perlu.

Amulet itu, batu yang menyelamatkan kewarasannya, sedang merampas kemanusiaannya.

"Kamu... kamu benar," bisik Rania, suaranya terdengar serak dan datar di ruangan yang bergema itu.

Reza mengangkat kepalanya perlahan. "Benar... tentang apa?"

"Tentang aku," kata Rania. Dia menyentuh amulet di dadanya. "Aku... dingin. Aku tidak bisa... merasakannya. Aku tahu aku seharusnya sedih. Aku tahu aku seharusnya hancur. Tapi aku tidak bisa."

Dia menatap temannya dengan kejujuran yang brutal dan dingin. "Aku hanya... efisien."

Reza menatapnya lama. Tidak ada kemarahan di matanya sekarang. Hanya kelelahan yang tak terhingga. "Itu," katanya pelan, "adalah hal paling menakutkan yang kamu katakan sepanjang hari ini, Ra. Dan kita baru saja melihat bangunan meleleh."

Rania mengangguk. Dia menerima data itu. "Aku tahu. Tapi kita tidak bisa tinggal di sini. Kita harus bergerak."

"Bergerak ke mana?" Suara Reza hampa. "Kita adalah buronan hantu. Kita tidak punya uang. Tidak punya makanan. Tidak punya siapa-siapa."

"Kita punya ini," kata Rania. Dia berdiri, rasa sakit di kakinya dia abaikan. "Tempat ini adalah 'Titik Buta' manusiawi. Tidak ada yang akan mencari kita di sini. Tapi kita tidak bisa tinggal di lobi parkir."

Dia melihat sekeliling, matanya yang analitis memindai kegelapan. Dia adalah seorang arsitek. Dan ini adalah sebuah struktur. Dia memahaminya.

"Setiap lokasi konstruksi besar," katanya, mulai berjalan, "memiliki kantor lapangan. Sebuah trailer. Kontrol kualitas. Di situlah *blueprint* disimpan."

Dia berjalan menuju tanjakan yang seharusnya mengarah ke lantai parkir berikutnya. Reza, tanpa punya pilihan lain, bangkit dengan goyah dan mengikutinya.

Mereka menjelajahi monumen kegagalan itu. Ruangan demi ruangan beton kosong. Lubang-lubang lift yang menganga seperti luka terbuka, memperlihatkan poros-poros gelap yang tak berujung. Lantai-lantai yang penuh dengan kawat-kawat rebar berkarat yang mencuat seperti rumput logam.

Di lantai dasar, di sudut yang terlindung dari cuaca, mereka menemukannya.

Dua kontainer pengiriman berwarna biru kusam, yang telah dimodifikasi menjadi kantor lapangan. Pintunya terkunci dengan gembok rantai yang tebal dan berkarat.

"Terkunci," kata Reza, putus asa.

"Tidak ada yang benar-benar terkunci," kata Rania. Dia mengambil pipa rebar yang sama yang dia gunakan untuk membuka pagar seng. "Hanya masalah menemukan titik lemah struktural."

Dia tidak mencoba menghancurkan gemboknya. Dia menyerang engselnya. Dia memasukkan pipa itu ke celah antara pintu dan bingkai, lalu menekan dengan seluruh berat badannya.

*KREEE...*

Logam berkarat menjerit.

*...PANG!*

Baut-baut itu menyerah. Pintunya terbuka dengan erangan.

Bagian dalamnya berbau apak, kertas yang membusuk, dan kopi basi berjamur. Tapi itu *kering*.

Dan itu adalah harta karun.

Ada meja lipat, dua kursi kantor yang robek, dan yang terpenting: sebuah dispenser air galon yang masih berisi seperempat air.

"Air," bisik Reza, berlari ke arahnya dan menekan kerannya, meminum langsung dari sana dengan rakus.

Rania mengabaikannya. Dia berjalan ke meja. Di sana, di bawah lapisan debu tebal, tergeletak gulungan-gulungan kertas. *Blueprint* asli "The Elysian Spire".

Dan di sudut, sebuah papan buletin. Tergantung di paku, ada satu set kunci.

"Kunci apa ini?"

Reza, menyeka mulutnya, melihat ke papan. "Kunci... mungkin kunci truk? Atau generator?"

Rania mengambilnya. Dia melihat ke luar jendela trailer yang kotor. Di seberang lapangan berlumpur, terparkir di samping tumpukan karung semen yang sudah mengeras, adalah sebuah truk pikap tua berlogo kontraktor.

Roda. Sebuah jalan keluar.

"Kita... kita bisa pergi," kata Reza, secercah harapan muncul di matanya. "Kita bisa pergi dari kota ini!"

"Tidak," kata RANIA pelan.

"Apa?! Kenapa tidak?! Kita bisa—"

"Kita butuh data," kata RANIA. Dia memegang kunci itu erat-erat. "Dan kita butuh uang. Dan semua milikku... ada di apartemen."

Reza menatapnya seolah dia sudah gila lagi. "Apartemenmu? Ra, kamu bilang tempat itu 'terkontaminasi'! Bocor! Kita tidak bisa—"

"Pikirkan," kata Rania, suaranya dingin dan logis—suara amulet itu. "Pikirkan seperti Bima. Pikirkan seperti Pembersih. Apartemenku adalah 'Titik Buta' Tipe-Alfa. Sebuah kebocoran Gema yang aktif dan terikat pada Arsitek yang baru bangun. Itu adalah lokasi strategis. Mereka tidak akan membiarkannya begitu saja."

"Jadi?"

"Jadi," kata Rania, "mereka akan mengirim tim. Entah itu Pembersih untuk 'meluruskannya' seperti kafemu, atau Pelestari seperti Elara untuk 'menahannya'. Dan Bima... Bima akan mengirim orangnya sendiri untuk *mempelajarinya*. Untuk mencari tahu tentangku."

"Itu alasan untuk *menjauh*, Ra!"

"Itu alasan untuk *masuk* lebih dulu," RANIA membantah. "Skripsiku ada di sana. Semua penelitianku tentang arsitektur kuno dan ruang emosional. *Hard drive*-ku. Laptopku. Jika mereka mendapatkannya... Bima akan mendapatkan data puluhan tahun tentang bagaimana Gema dan arsitektur berinteraksi. Dia akan tahu *persis* apa yang aku tahu. Aku tidak bisa membiarkan itu."

Rania menatap Reza. "Kita istirahat sampai malam. Kita minum air. Lalu kita ambil truk itu. Kita akan kembali ke apartemenku."

"Kamu gila," bisik Reza. "Kamu akan terbunuh."

"Tidak," kata RANIA. "Aku 'buta' karena amulet ini. Aku tidak 'berisik'. Mereka tidak akan mendeteksiku. Aku akan masuk. Aku akan mengambil dataku. Dan kita akan pergi. Ini adalah satu-satunya rencana yang logis."

Reza menatap temannya. Wajah Rania yang familier, yang dulu penuh sarkasme dan idealisme yang lelah, kini menjadi topeng strategi yang dingin dan efisien. Dia tidak sedang meminta izin. Dia sedang menyatakan fakta arsitektural.

Reza bergidik. Dia baru saja lolos dari monster yang terbuat dari tatanan murni, hanya untuk melihat temannya sendiri mulai berubah menjadi monster yang sama.

***

(Interlude: Kepingan Puzzle)

**Kantor Redaksi Harian *Suara Kota* - 10.31 PAGI**

Kekacauan.

Itu adalah satu-satunya kata untuk menggambarkannya. Kantor redaksi *Suara Kota* adalah sebuah sarang lebah yang baru saja ditendang. Telepon berdering tanpa henti. Bukan hanya telepon kantor; telepon pribadi semua orang meledak.

Santi Ibrahim duduk di mejanya, mengabaikan semuanya.

Dia adalah seorang reporter investigasi dari angkatan lama. Dia berumur empat puluhan, rambutnya diikat asal-asalan, dan ada noda kopi di blusnya. Dia membenci berita *online* yang cepat dan dangkal. Dia percaya pada sumber, data, dan menggali.

Dan saat ini, datanya tidak masuk akal.

"Redaktur!" teriaknya, melintasi ruangan yang bising.

Bramantyo, Redaktur Pelaksananya, sedang berteriak di telepon. "TIDAK! Saya tidak peduli apa kata *press release* polisi! Kita sebut itu 'ledakan gas' sampai kita tahu lebih baik! Jangan berspekulasi!"

"Bram!" Santi membanting selembar kertas ke mejanya.

"Apa, San? Aku sibuk!"

"Ini bukan ledakan gas," kata Santi, suaranya rendah dan mendesak. "Lihat ini. Ini adalah manifes panggilan 119 dan 112. Pukul 09.28 pagi, ada *lonjakan* panggilan 'gangguan kejiwaan'. Bukan satu atau dua. Ratusan. Dari seluruh kota. Semua melaporkan 'suara melengking' yang sama. *Sebelum* laporan ledakan pertama masuk."

Bram menatapnya. "Histeria massal. Wajar."

"Ini tidak wajar," Santi menekan. "Dan ini. Laporan cuaca. Tidak ada badai petir. Tapi USGS (Badan Geologi) mencatat anomali magnetik besar-besaran yang berpusat di Blok M. Tepat di lokasi 'ledakan'. Sinyal TV, radio, dan seluler di radius sepuluh blok... *mati*. Bukan terganggu. *Mati*."

"Itu yang dilakukan EMP, San. Mungkin bom teroris."

"EMP *menggoreng* sirkuit," bantah Santi. "Ini tidak digoreng. Laporan teknisi yang baru masuk bilang sinyalnya... *dihapus*. Seolah-olah ada *lubang* dalam spektrum frekuensi."

Bram menghela napas, memijat pelipisnya. "Apa intimu, Santi?"

"Intiku adalah, ada yang salah. Sangat salah." Santi mencondongkan tubuhnya. "Fotografer *freelance*-ku, si Ari, kebetulan ada di dekat sana. Dia baru saja mengirimiku fotonya. Dia bilang... dia bilang dia melihat bangunan... 'meleleh'."

"Meleleh. Hebat." Bram terdengar lelah.

"Dia bilang fotonya aneh. Dia mengirimnya." Santi mengetuk komputernya. Fotonya muncul.

Bram menatapnya.

Fotonya buram. Tapi bukan karena goyang. Fotonya... *glitch*.

Sebuah bangunan yang seharusnya "Kopi Titik Koma" tampak... salah. Tepi-tepinya tidak lurus. Warnanya hitam pekat, seperti sensor kameranya rusak. Dan di aspal di depannya, ada *artefak* digital—kotak-kotak piksel abu-abu yang seharusnya tidak ada di foto dunia nyata.

"Kameranya rusak," kata Bram, terlalu cepat.

"Dia pakai tiga kamera berbeda," kata Santi pelan. "Semuanya menunjukkan hal yang sama. Dan lihat ini."

Dia memperbesar foto itu. Di seberang jalan. Sebuah sedan abu-abu. Seorang pria (Dion) mencoba menarik seorang wanita (Elara) masuk.

"Dan ini," katanya, membuka foto lain. "Tim respons pertama. Mobil patroli 302. Mereka tiba di lokasi pukul 09.31."

Foto itu menunjukkan mobil polisi yang melaju ke arah bangunan hitam yang *glitch*.

"Aku baru saja menelepon kontakku di kepolisian," kata Santi. "Tebak apa?"

Bram menatapnya.

"Mobil patroli 302," kata Santi. "Hilang. Lenyap dari radio. Lenyap dari GPS. Dua petugas di dalamnya... hilang. Seolah-olah mereka baru saja melaju keluar dari eksistensi."

Keheningan yang berat memenuhi bilik kantor Bram. Suara bising redaksi seakan menjauh.

Bram menatap foto *glitch* itu. Dia menatap laporan orang hilang.

Lalu dia menggelengkan kepalanya, fasad Redaktur Pelaksana kembali terpasang.

"Pemerintah baru saja mengumumkan," katanya pelan, suaranya kini hampa. "Ini adalah insiden terorisme domestik. Mereka menyalahkan kebocoran gas eksperimental. Area itu ditutup. Karantina militer. Cerita kita adalah itu. Ledakan gas. Histeria massa. Titik."

"Bram, ini—"

"TITIK, SANTI!" teriak Bram. "Kita adalah koran. Bukan penulis fiksi ilmiah. Tulis ceritanya sesuai rilis pers."

Santi menatap bosnya. Dia melihat ketakutan di matanya. Ketakutan yang sama yang dia rasakan.

Dia tidak berdebat lagi. Dia mengangguk. "Baik, Bos. Ledakan gas."

Dia berjalan kembali ke mejanya. Dia mulai menulis artikel yang membosankan dan penuh kebohongan tentang kebocoran gas.

Dan saat tidak ada yang melihat, dia menyalin foto-foto *glitch* dari Ari, laporan anomali magnetik USGS, dan log panggilan 119 ke sebuah USB *flash drive* terenkripsi.

Dia memasukkan *drive* itu ke sakunya, di sebelah dompetnya.

Dia mungkin harus menulis kebohongan. Tapi dia tidak harus *mempercayainya*.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!