NovelToon NovelToon
BALAS DENDAM SANG IBLIS SURGAWI

BALAS DENDAM SANG IBLIS SURGAWI

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Transmigrasi / Fantasi Timur / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:3k
Nilai: 5
Nama Author: Zen Feng

Guang Lian, jenius fraksi ortodoks, dikhianati keluarganya sendiri dan dibunuh sebelum mencapai puncaknya. Di tempat lain, Mo Long hidup sebagai “sampah klan”—dirundung, dipukul, dan diperlakukan seperti tak bernilai. Saat keduanya kehilangan hidup… nasib menyatukan mereka. Arwah Guang Lian bangkit dalam tubuh Mo Long, memadukan kecerdasan iblis dan luka batin yang tak terhitung. Dari dua tragedi, lahirlah satu sosok: Iblis Surgawi—makhluk yang tak lagi mengenal belas kasihan. Dengan tiga inti kekuatan langka dan tekad membalas semua yang telah merampas hidupnya, ia akan menulis kembali Jianghu dengan darah pengkhianat. Mereka menghancurkan dua kehidupan. Kini satu iblis akan membalas semuanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zen Feng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 7: BAYANGAN DI BALIK REMBULAN

Meja makan di paviliun milik Mo Long diterangi cahaya lentera minyak yang temaram, menciptakan bayang-bayang panjang yang menari di dinding kayu. Aroma harum sup mengepul dari mangkuk tanah liat besar, mendominasi udara malam yang dingin.

Min Mao, wanita muda berambut seleher dengan wajah bersih dan tatapan jujur, menuangkan Sup Naga Phoenix ke dalam mangkuk kecil dengan hati-hati. Uap hangatnya menyebar, membawa aroma gurih kaldu dan rempah yang seketika menggugah selera.

"Selamat makan, Tuan," ujar Min Mao. Senyum lebar menghiasi wajahnya menyambut Mo Long yang sudah duduk menanti.

Mata Mo Long berbinar melihat sup itu. 'Wah… kelihatan enak!' Tak terasa, setetes air liur hampir mengalir dari sudut bibirnya.

Ia segera mengambil sendok dan mencicipi kuahnya. Satu suapan itu membuatnya memejamkan mata, lalu tersenyum puas. Rasa sup itu kaya, lembut, dan berisi energi spiritual tipis yang segera menyusup ke dalam tubuhnya. Sejenak ia diam, membiarkan kehangatan itu menenangkan otot-ototnya yang tegang.

"Ini enak!" puji Mo Long sambil terus mengunyah isian sup. 'Tak kusangka, makanan pertamaku dengan tubuh ini adalah sup mewah seperti ini! Di kehidupan laluku, sup seperti ini hanya makanan pembuka bagi murid luar sekte, tapi sekarang rasanya seperti hidangan surgawi.'

"Jika Tuan mau tambah, masih ada lagi di dapur." Senyum Min Mao makin lebar melihat tuan mudanya makan begitu lahap, pemandangan yang jarang ia lihat.

"Terima kasih… terima kasih, Min Mao. Masakanmu enak sekali."

Suasana hening sejenak, hanya terdengar denting sumpit beradu dengan mangkuk.

"Bagaimana harimu, Tuan?" tanya Min Mao akhirnya, memecah keheningan. Nada suaranya lembut namun penuh selidik. "Apa yang sebenarnya terjadi di aula utama?"

Mo Long menatap isi mangkuknya, lalu mengangkat kepalanya sebentar. Senyumnya samar namun meyakinkan. "Semuanya baik-baik saja. Melelahkan menghadapi orang-orang tua itu. Tapi tenang, aku bisa mengatasi semua."

"Aku dengar Tuan Muda menghadap Patriark?" Min Mao memajukan tubuhnya sedikit, suaranya penuh rasa ingin tahu yang ditahan-tahan.

Mo Long hanya mengangguk pelan sambil menyeruput kuah sup.

"Jadi… Bagaimana?" desak Min Mao dengan nada berhati-hati.

Mo Long mengunyah pelan, lalu menaruh sumpitnya di atas tatakan. "Berjalan baik. Aku tidak bersalah… Jadi, dia tidak menghukumku atau semacamnya."

"Ah… Syukurlah." Min Mao menghela napas panjang, bahunya yang tegang perlahan turun. "Lalu… apa yang kalian bicarakan?" tanyanya lagi. Matanya menatap tajam, seolah berusaha menembus dinding hati Mo Long untuk mencari kebenaran.

Gerakan tangan Mo Long terhenti di udara. Ia menatap Min Mao beberapa detik tanpa berkata-kata. Tatapan itu berubah; dingin, dalam, dan penuh pertimbangan—tatapan yang tidak dimiliki oleh Mo Long yang asli. Baru kemudian ia berujar singkat, "Tidak banyak yang kami obrolkan."

Min Mao menjadi salah tingkah di bawah tatapan itu. Tangannya refleks merapikan rambut pendeknya yang sebenarnya tidak berantakan. Pipi mudanya memerah samar. "M-maaf, maaf, Tuan! Aku terlalu banyak bertanya. Aku hanya… khawatir."

Ia buru-buru mengalihkan pembicaraan. "Aku sendiri pernah bertemu Patriark. Sosoknya gagah, karismanya membuat semua orang hormat. Tapi jujur, beliau juga menakutkan. Hanya berdiri di depannya saja, aku merasa seluruh tubuhku kaku seperti batu."

Mo Long tidak menjawab, hanya mendengarkan sambil kembali menatap mangkuk supnya. Ekspresinya datar. 'Dia terlalu banyak bertanya. Apa murni hanya karena khawatir, atau ada alasan lain? Gadis ini setia, tapi di dunia kultivasi, kesetiaan bisa berubah semudah membalikkan telapak tangan.'

Min Mao kembali bicara, kali ini suaranya lebih lembut, hampir seperti gumaman. "Kau sekarang terlihat berbeda, Tuan Muda. Lebih dewasa. Kau bukan lagi bocah yang dulu selalu disudutkan." Ia menunduk sejenak sebelum melanjutkan, matanya berkaca-kaca. "Kehidupanmu begitu keras… bahkan Zhi Xin, satu-satunya pengawal yang rela ditempatkan di sini, guru sekaligus teman Tuan Muda, dia pergi begitu cepat."

Mo Long menarik napas pelan, meletakkan tangannya di atas meja. "Kepergian Guru Zhi Xin memang menyakitkan." Mo Long menatap mata Min Mao lekat-lekat, menyalurkan ketenangan. "Tapi, semuanya akan baik-baik saja. Mulai sekarang, takdirku akan berubah. Aku berterima kasih… kau dan Guru sudah hadir dalam kehidupanku."

Min Mao menggigit bibirnya, lalu berkata dengan nada cemas yang tak bisa disembunyikan, "Tapi… Tuan. Aku dengar sebentar lagi Tuan Muda Mo Feng akan kembali dari sekte. Tuan harus berhati-hati... Tolong jangan melawan, menghindarlah seperti biasanya. Tuan Mo Feng berbeda dari Tuan Mo Fei dan Mo Shou. Dia… dia lebih kejam."

Mo Long menatapnya, lalu tersenyum tipis. Senyum yang terlalu tenang, nyaris membuat Min Mao merinding. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Min Mao. Aku bisa menghadapinya."

Min Mao terdiam. Ia tahu Mo Long tidak sedang membual, tapi justru keyakinan itulah yang membuatnya takut. 'Ada yang benar-benar berubah dari Tuan Muda. Dia seperti… orang lain.'

Setelah menghabiskan makanannya hingga tandas, Mo Long berdiri. "Terima kasih makanannya. Tubuhku terasa ringan sekarang." Mo Long beranjak sambil meregangkan tubuh. "Aku lelah. Aku akan beristirahat di atas."

"Ah, Tuan, tunggu! Ramuan Hei Long-mu." Min Mao buru-buru mengambil gelas dari nampan dan menyerahkan segelas cairan berwarna hitam pekat.

Mo Long meraih gelas itu. Ia mengernyit melihat isinya yang beriak. Wajahnya mendekat, dan sontak ia mendengus kasar saat mencium baunya yang menyengat seperti besi berkarat.

"Apa ini?"

"Ramuan Hei Long, Tuan Muda. Ini jatah ramuan terakhirmu di usia ke-17. Bukankah Tuan selalu meminta meminum ini setiap bulan meskipun tak memiliki Qi Bayangan?"

'Ah... ramuan khas klan ini ternyata. Aku baru ingat Klan Mo memadukan racun dan ilusi dalam teknik mereka,' ujar Mo Long dalam benaknya. "Oh iya. Aku akan menghabiskannya."

Mo Long menahan napas, lalu dengan cepat meminum cairan hitam kental itu. Dalam sekejap gelas itu kosong tanpa sisa.

"Haahh... Benar-benar aneh rasanya." Ia meringis.

Min Mao terkekeh kecil melihat ekspresi tuannya, lalu menyodorkan segelas air putih penawar.

Mo Long meminum air putih itu dengan rakus hingga terbatuk-batuk, kemudian menyeka mulutnya. "Baiklah, aku naik. Jangan membangunkanku besok pagi, mungkin aku akan bangun siang."

Min Mao mengangguk pelan, meski matanya masih menyimpan rasa was-was saat melihat punggung Mo Long menaiki tangga.

Mo Long melangkah masuk ke kamarnya di lantai dua. Namun, ia tidak menuju tempat tidur. Dari jendela kamarnya yang sederhana, ia mengintip keluar, melihat sosok Min Mao yang pergi meninggalkan paviliun utama menuju asrama pelayan.

Baru setelah yakin Min Mao tak terlihat, ia membuka jendela lebar-lebar.

Udara malam menyergap masuk. Mo Long melompat turun dengan gerakan ringan, mendarat tanpa suara di rerumputan, lalu berlari cepat menembus hutan bambu di belakang paviliun. Daun bambu berdesir saat ia berkelebat melewati lorong-lorong gelap. Napasnya teratur, langkahnya seringan bayangan hantu.

Akhirnya ia sampai di puncak bukit belakang klan. Bulan purnama menggantung tinggi, cahaya peraknya menimpa batang-batang pohon rimbun, menciptakan suasana mistis. Sunyi, hanya suara serangga malam yang terdengar. Mo Long berdiri di bawah pohon beringin tua, memastikan tak ada yang mengikuti. Matanya berkilat tajam dalam kegelapan.

'Tidak ada yang mengawasi di sini. Akan sangat berbahaya jika ada yang menggangguku saat proses ini. Apalagi ini kultivasi pertamaku di tubuh ini.'

Cahaya bulan menimpa tubuh Mo Long yang kini duduk bersila di atas akar pohon tua yang menyembul. Angin malam berdesir, membawa aroma tanah lembap dan dedaunan busuk.

Dari lengan bajunya, ia mengeluarkan sebuah botol giok berwarna hitam kehijauan—hadiah dari sang Patriark. Cairan di dalamnya kental, berkilau redup seperti darah naga yang terawetkan.

Bibir Mo Long melengkung tipis. 'Eliksir Hei Long. Sebuah Eliksir Surgawi. Sesuatu yang sangat langka… bahkan Tetua Sekte di kehidupan lamaku pun bisa berperang karenanya. Dan aku… si sampah klan ini, diberi satu botol berharga ini.'

Ia meletakkannya di samping lututnya. Pandangannya menajam, mengingat kata-kata Mo Han tentang dantian yang meledak.

'Kenapa aku tidak mengingat kejadian itu? Tubuh ini, ingatan pemilik aslinya, kenapa terasa kosong di bagian penting itu? Seperti… sengaja dihapus oleh seseorang.'

Mo Long menarik napas panjang, membuang pikiran itu. "Yang lebih penting sekarang, aku harus mengembalikan Qi tubuh ini. Tanpa Qi, hidup kembali hanya sia-sia. Mati lebih baik bagiku daripada hidup sebagai bocah cacat," gumamnya dingin.

Ia menutup matanya, menenggelamkan kesadaran ke dalam tubuhnya. Lama ia terpejam, hanya melihat kegelapan, berusaha mendeteksi bagian dalam anatomi tubuhnya.

Hingga samar-samar ia merasakan jalur meridiannya. Meridian demi meridian ia periksa. Jalur energi yang seharusnya bersinar terang, terlihat redup, kering, dan mati. Lalu ia tiba pada pusatnya: Dantian.

Kondisinya mengerikan. Samar—seperti pecahan kaca yang berserakan. Satu, dua… sembilan pecahan Dantian melayang tak beraturan, kosong tanpa Qi.

Mo Long tertegun. 'Pecahan… dan ini…' Ia menyipitkan mata batinnya. Di sela-sela pecahan itu, ada gumpalan gelap, pekat, kental seperti lumpur hidup. Residu yang melilit, berdenyut pelan seolah memiliki detak jantung sendiri.

'Racun.'

Mata Mo Long terbuka sentak. Napasnya berat. "Ini berbeda dari ramuan hitam rutin tadi. Ini racun pemecah Qi jenis kronis!" Ia menggeram pelan. "Bertahun-tahun… tubuh ini menerima racun tanpa henti. Disuapi perlahan… hingga akhirnya Dantian tak kuat menampung dan meledak."

Ada kilatan dingin membunuh di matanya. 'Siapa yang melakukannya? Siapa yang begitu tega merusak masa depan seorang anak sejak dini?'

Ia menimbang cepat. Hanya ada satu jalan untuk menyelamatkan kultivasinya. 'Teknik Tenun Sutra. Satu-satunya cara menyulam kembali Dantian yang hancur. Tapi… racun ini harus dibersihkan dulu sebelum penyulaman dimulai.'

Ingatan masa lalunya berputar. Teknik Seribu Pembersihan Lotus muncul dalam benaknya—teknik rahasia Shaolin, sama rahasianya dengan Teknik Tenun Sutra. Syaratnya sederhana tapi hampir mustahil bagi orang biasa: Qi dalam jumlah sangat besar harus diledakkan di dalam tubuh.

Mo Long menatap botol giok di tangannya. 'Dengan eliksir ini, mungkin bisa. Aku akan dapatkan pasokan Qi melimpah untuk sementara. Tentu berisiko tubuh ini hancur berkeping-keping. Tapi, tanpa Eliksir Hei Long, aku butuh paling tidak setahun, ditambah ratusan eliksir roh tingkat rendah. Itu mustahil. Jadi… ini satu-satunya pilihan.'

Ia menggenggam botol itu erat, lalu mendekatkannya ke bibir. 'Setengah dulu. Gunakan untuk membersihkan racun. Sisanya untuk menyulam Dantian.'

Dengan sekali tarikan napas, ia menenggak setengah isinya.

GLUK.

Cairan dingin itu masuk ke tenggorokan, namun begitu sampai di perut, ia berubah menjadi bara api.

BRAK!

Tubuh Mo Long bergetar keras. Gelombang Qi Bayangan yang dahsyat meledak dalam perutnya, mengalir liar menyerbu ke setiap meridian yang kering. Rasa sakitnya bagai ribuan jarum menancap serentak, merobek jalur-jalur yang sudah lama mati.

Urat-urat di leher dan keningnya menegang, wajahnya memerah padam menahan jeritan.

'Teknik Seribu Pembersihan Lotus! Aktif!'

Ia paksa letakkan kedua tangannya di atas lutut. Jari-jarinya membentuk Apana Mudra—ujung ibu jari, ujung jari tengah, dan jari manis menyatu, sementara telunjuk dan kelingkingnya tetap lurus menunjuk langit dan bumi.

Matanya menutup rapat, keringat dingin bercucuran. Ia menyalurkan Qi liar dari eliksir itu, memaksanya menerjang gumpalan racun di Dantiannya. 'Keluar… semua keluar dari tubuhku!'

Sret… sret…

Suara seperti daging yang disayat terdengar dari dalam tubuhnya. Racun hitam mulai terdorong paksa.

Dari pori-pori kulitnya, cairan pekat merembes keluar. Dari hidungnya, telinganya, bahkan dari sudut matanya mengalir lendir gelap berbau busuk. Mulutnya terbuka, memuntahkan cairan hitam kental bercampur darah segar.

"Ughhh…!"

Suaranya tercekik. Tubuhnya kejang-kejang hebat, namun ia paksa kesadarannya untuk tetap terjaga. Jika ia pingsan sekarang, Qi liar itu akan membunuhnya. 'Sedikit lagi!'

Tapi racun itu bergolak, menolak keluar sepenuhnya. Sisa-sisa kental berpusar seperti makhluk hidup yang tak mau kehilangan inangnya, mencengkeram daging di sekitar area Dantian. Qi dari setengah botol eliksir mulai melemah, kalah oleh keganasan racun tua itu. Mo Long terengah, napasnya memburu.

"Tidak cukup… Sialan, ini tidak cukup!" bisiknya parau.

Dengan tangan gemetar hebat, ia mengangkat botol giok lagi. Tatapannya gila. Ia meneguk habis seluruh sisa isinya.

BOOM!

Ledakan kedua jauh lebih besar. Tubuhnya terlempar ke belakang, menghantam tanah keras. Jeritannya memecah kesunyian bukit, mengagetkan burung-burung malam.

Qi berwarna hitam pekat berputar liar di sekeliling tubuhnya, membentuk tornado kecil. Di dalam tubuhnya, energi baru itu mendesak semua sisa racun tanpa ampun. Cairan hitam menyembur lebih deras dari mulutnya, menodai tanah rumput di sekitarnya menjadi mati dan layu.

Urat-urat hitam menonjol di seluruh kulitnya, lalu pecah, mengalirkan darah kotor. Matanya memerah semerah darah, giginya gemeretak hingga gusi berdarah.

Tubuhnya bergetar di ambang batas kehancuran. Botol giok terlepas dari genggamannya, jatuh berputar di tanah, kosong.

Mo Long masih berteriak, suaranya parau, tubuhnya melengkung kesakitan lalu jatuh tersungkur mencium tanah.

"Teknik Ledakan Qi ini... Aku harus tuntas—" Kesadarannya timbul tenggelam, namun naluri purbanya menolak untuk mati.

Sementara itu, di paviliun utama lantai atas Klan Mo.

Sebuah ruangan gelap diterangi cahaya rembulan yang masuk dari jendela besar. Mo Han berdiri menghadap luar, tangan bersedekap di belakang punggung, menatap ke arah bukit tempat Mo Long berada.

Di belakangnya, seorang sosok berjubah hitam berlutut satu kaki. Wajahnya tak terlihat, tersembunyi dalam bayangan tudung kepala.

"Kenapa Patriark memberikan Eliksir Hei Long padanya?" suara sosok itu datar, namun terselip nada keraguan.

Mo Han tidak langsung menjawab. Ia menatap bulan yang menggantung di langit, lalu berkata tenang, "Itu hadiah untuk kerja keras dan tekadnya yang tak pernah padam. Lagipula, itu hanya eliksir bagian darah, bukan inti jiwa."

Sosok itu mengangkat kepala sedikit. "Tapi… penggunaan Eliksir Tingkat Surgawi pada orang yang tak memiliki Qi, kemungkinan besar 99 persen akan berujung kematian karena tubuhnya meledak."

Mo Han tersenyum tipis, matanya berkilat tajam memantulkan cahaya bulan. "Jika benar begitu… setidaknya dia mati dengan cara yang layak. Mati saat mencoba bangkit, bukan mati perlahan sebagai aib klan yang tak berguna."

Mo Han menoleh sedikit ke belakang, suaranya terdengar lebih berat dan final. "Aku lebih rela melihatnya mati mencoba melampaui batas… daripada hidup menderita di Jianghu yang kejam ini sebagai sampah."

Suasana ruangan hening. Hanya suara desir angin malam yang masuk lewat jendela, membawa hawa dingin dan pertanda bahwa malam itu, takdir Mo Long sedang dipertaruhkan antara hidup dan mati.

1
Meliana Azalia
Kejamnya~
Meliana Azalia
Ngegas muluk
Ronny
Bertarung berdua nih ❤️
Ronny
Cu Pat Kai: ‘’Dari dulu beginilah cinta, deritanya tiada akhir’’
Ronny
Kayak tom and jerry gao shan sama gao shui wkwk
Ronny
Aya aya wae 🤣
Zen Feng
Feel free untuk kritik dan saran dari kalian gais 🙏
Jangan lupa like dan subscribe apabila kalian menikmati novelku 😁😁
Dwi Nurdiana
aww manisnya kisah cinta janda sama brondong ini
Dwi Nurdiana
aih pertarungan bagai dansa di malam hari😍
Dwi Nurdiana
min mao ini ya emang minta dicubit
Dwi Nurdiana
babii🤭
Dwi Nurdiana
wkwkwk rasain 🤭
Dwi Nurdiana
awal yang tragis tapi seru😍
Abdul Aziz
awal yang bagus dan menegangkan, lanjutin thor penasaran gimana si mo long ngumpulin kekuatan buat balas dendam
Abdul Aziz
paling gemes sama musuh dalam selimut apalagi cewe imut/Panic/
Ren
mampus mo feng!!
Ren
up terus up terus!
Ren
fix pelayanan min mao
Ren
hampir ajaa
apang
si mo long harus jadi lord kultus iblis!!!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!