NovelToon NovelToon
CINDELOKA

CINDELOKA

Status: sedang berlangsung
Genre:Ilmu Kanuragan / Dunia Lain / Action / Spiritual / Epik Petualangan / Roh Supernatural
Popularitas:289
Nilai: 5
Nama Author: teguhsamm_

Raden Cindeloka Tisna Sunda, seorang bocah laki laki berparas tampan dari Klan Sunda, sebuah klan bangsawan tua dari Sundaridwipa yang hanya meninggalkan nama karena peristiwa genosida yang menimpa klannya 12 tahun yang lalu. keberadaannya dianggap membawa sial dan bencana oleh warga Sundari karena ketampanannya. Suatu hari, seluruh warga Sundari bergotong royong menyeret tubuh kecil Cindeloka ke sebuah tebing yang dibawahnya air laut dengan ombak yang mengganas dan membuangnya dengam harapan bisa terbebas dari bencana. Tubuh kecilnya terombang ambing di lautan hingga membawanya ke sebuah pulau misterius yang dijuluki sebagai pulau 1001 pendekar bernama Suryadwipa. di sana ia bertemu dengan rekannya, Lisna Chaniago dari Swarnadwipa dan Shiva Wisesa dari Suryadwipa yang akan membawanya ke sebuah petualangan yang epik dan penuh misteri gelap.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon teguhsamm_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Trisula Mandraguna

Kabut pekat menyelimuti Desa Ametung, sebuah desa terpencil yang dikenal sebagai gerbang menuju wilayah-wilayah Gustiaji Suryadwipa. Tim Sapta dan Mbah Kunto melangkah perlahan, tubuh mereka dibasahi titik-titik embun yang menggantung di udara.

Desa itu sunyi, seolah seluruh penghuninya menahan napas.

Mereka tiba di rumah kayu terbesar di tengah desa—rumah Kepala Desa Ametung, Wayan Kesuma.

Pria tua itu menyambut mereka dengan tatapan tajam namun ramah. Setelah mendengar maksud kedatangan Tim Sapta, ia mempersilakan mereka duduk. Wayan Kesuma menyalakan dupa, memenuhi ruangan dengan aroma cendana yang menenangkan.

Cindeloka memulai percakapan:

“Kami mencari Prasasti Triloka Mandraguna, Kek.”

Wayan Kesuma mengangguk perlahan.

“Kalau kalian mencari Triloka Mandraguna… kalian harus tahu dulu sejarah pusaka yang mendahuluinya. Trisula Mandraguna.”

Lisna dan Shiva saling menatap, bingung.

Mbah Kunto menatap lurus, seolah sudah menduga bagian ini.

Asal-usul Trisula Mandraguna

Wayan Kesuma mulai bercerita, suaranya berubah dalam dan berat.

“Tahun 1900… tiga klan bangsawan terbesar—Sunda, Wisesa, dan Chaniago—bersatu untuk menciptakan sebuah pusaka ajian tertinggi. Sesuatu yang bukan hanya diwariskan melalui darah, tapi melalui jiwa.”

Ia mengangkat tangannya, membentuk tiga jari.

“Barata Sunda… pemimpin klan Sunda, pemilik Maung Bodas, dan Pandega pertama Bumi Nusantara.”

“Dihyan Wisesa… pemimpin klan Wisesa, pengendali Kuda Sembrani.”

“Panji Chaniago… bangsawan klan Chaniago, pemilik Hanuman.”

Mereka bertiga menciptakan kitab pusaka kuno berisi teknik yang menggabungkan resonansi cakra manusia dengan alam.

Aksajian. Ajian mata.

Cindeloka menelan ludah.

Wayan Kesuma melanjutkan dengan menyebut ketiga ajian itu satu per satu:

Danaraksa – Klan Sunda

Mata merah padam dengan titik berbentuk diamond mengelilingi pupil mata membentuk pola layang layang.

Melihat kebenaran di balik kebohongan.

Menembus pikiran manusia—bahkan membaca isi batinnya.

Kalaraksa – Klan Wisesa

Mata kuning surya dengan tiga titik mengelilingi pupil membentuk pola segitiga, fungsinya.

Melihat strategi musuh, memprediksi gerakan sebelum terjadi.

Naik tingkatnya—Batara Kalaraksa—lebih mengerikan berbentuk pola matahari yang abstrak dan tiap pengguna memiliki corak yang berbeda. Fungsinya:

Merubah arah rotasi bumi, Menjelajah lipatan waktu.

Menciptakan ilusi dan dimensi serangan.

Menciptakan cakra berwarna yang berbentuk seperti golem yang dinamakan Aditya.

Menciptakan kanuragan api abadi berwarna hitam yang dinamakan Aruna untuk melumpuhkan musuh.

Namun syaratnya…

Harus merasakan depresi yang sangat berat serta penyesalan yang luar biasa.

Shiva menunduk. Jemarinya bergetar halus.

Angaraksa – Klan Chaniago

Mata oranye dengan titik membentuk garis tipis lingkaran mengelilingi pupil.

Melihat yang tak terlihat—bahkan objek 1000 km jauhnya.

Melihat aliran cakra manusia.

Jika naik tingkat menjadi Puspita Angaraksa yang berbentuk corak bunga yang berbeda beda tiap pengguna, penggunanya dapat:

Dapat melakukan pukulan maut sejauh 5 meter kepada lawan, tanahnya bisa bergetar hebat karenanya.

Melepaskan serangan kalajian dari pendekar lain.

Bisa memulihkan cakra yang terkuras.

Namun, beberapa kasus mata Puspita Angaraksa bisa melakukan kombinasi dengan Kalajian (teknik ilusi) sama seperti Batara Kalaraksa milik klan Wisesa. Contohnya; membuat kalajian dengan bayangan kupu kupu atau semburan serbuk sari untuk membawa musuh ke dimensi yang telah dibuat.

Namun syarat membangkitnya harus

harus menyaksikan kematian orang terkasih tepat di depan mata.

Ketiganya bisa bangkit jika penggunanya mengalami peristiwa emosional seperti; marah, sedih, kecewa, dan sebagainya.

Lisna menggigit bibirnya, tampak tidak nyaman.

Niat Mereka Tiga

“Mereka menciptakan Aksajian untuk menjaga keseimbangan Bumi Nusantara.”

Sebenarnya tujuan pembuatan Trisula Mandraguna lebih daripada itu, Panji Chaniago sengaja melakukan hal tersebut hanya ingin mendamaikan klan Sunda dan Wisesa yang berselisih selama ribuan tahun serta perlahan ingin memutus rantai kutukan yang mengikat kedua klan tersebut. Bahkan saat pembuatan pusaka dan ajian tersebut, sempat terjadi drama dimana Dihyan, sang pemimpin klan Wisesa merasa pembentukan pusaka ini hanya membuang buang waktu serta beliau takut jika ini hanya menguntungkan klan Sunda. Namun, Panji berusaha membujuk Dihyan kalau pembuatan ini semata mata hanya demi keseimbangan Bumi Nusantara dan alam semesta supaya hidup dalam kedamaian abadi.

Suasana ruangan tiba-tiba berubah hening.

Wayan Kesuma menunduk.

“Namun, tahun 1921… pengkhianatan terjadi.”

Ketiganya menegang.

“Dihyan Wisesa iri. Ia menginginkan posisi Pandega, namun Barata Sunda yang dipilih.”

Cindeloka menggenggam tangan.

Lisna memalingkan wajah.

Shiva menghela napas panjang, seolah cerita itu menusuk sesuatu dalam dirinya.

Terjadilah pertempuran sengit untuk kesekian kalinya antara mereka berdua hingga menyebabkan Barata Sunda tewas, Dihyan menghilang di tengah kabut, Sementara Panji Chaniago yang terlambat datang ke lokasi pertempuran hanya bisa menatap mayat Barata dengan kecewa seolah olah usaha mereka bertiga sia sia. Karena kesal, Panji akhirnya menyembunyikan pusaka tersebut jauh dari jangkauan makhluk hidup dan menghilang entah kemana.

Ia memandang Tim Sapta dengan tajam.

“Dan hingga sekarang… tak ada satu pun jiwa yang tahu di mana Panji menyembunyikannya.”

Setelah perbincangan panjang, Wayan Kesuma memberi petunjuk terakhir:

“Kalau kalian mencari Triloka Mandraguna, perjalanan kalian belum selesai. Langkah berikutnya ada di tempat suci… Pura Agung Sunyaratri.”

Mbah Kunto mengangguk hormat.

Tim Sapta bangkit, meninggalkan rumah itu. Kabut menyambut mereka kembali, seolah Desa Ametung sendiri menahan rahasia zaman.

Di kejauhan, menembus kabut tebal, tampak atap runcing hitam sebuah pura besar di atas bukit.

Pura Agung Sunyaratri.

Tempat suci…

tempat berbagai rahasia lama mungkin menunggu untuk bangkit kembali.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!