NovelToon NovelToon
Putra Rahasia Sang Aktor

Putra Rahasia Sang Aktor

Status: sedang berlangsung
Genre:Lari Saat Hamil / Pernikahan Kilat / Single Mom / CEO / Anak Genius / Romansa
Popularitas:5.9k
Nilai: 5
Nama Author: Quenni Lisa

Menikahi Pria terpopuler dan Pewaris DW Entertainment adalah hal paling tidak masuk akal yang pernah terjadi di hidupnya. Hanya karena sebuah pertolongan yang memang hampir merenggut nyawanya yang tak berharga ini.

Namun kesalahpahaman terus terjadi di antara mereka, sehingga seminggu setelah pernikahannya, Annalia Selvana di ceraikan oleh Suaminya yang ia sangat cintai, Lucian Elscant Dewata. Bukan hanya di benci Lucian, ia bahkan di tuduh melakukan percobaan pembunuhan terhadap kekasih masa lalunya oleh keluarga Dewata yang membenci dirinya.

Ia pikir penderitaannya sudah cukup sampai disitu, namun takdir berkata lain. Saat dirinya berada diambang keputusasaan, sebuah janin hadir di dalam perutnya.

Cedric Luciano, Putranya dari lelaki yang ia cintai sekaligus lelaki yang menorehkan luka yang mendalam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Quenni Lisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 19 - Kebenaran

Hai semua...

Terimakasih sudah membaca, APRESIASI sekecil apapun itu sangat berarti untukku melanjutkan perjalanan menulis ini.

Jangan lupa ya bantu komentar jika ada sesuatu yang tidak sesuai. ( Hehe, aku akan pertimbangkan dan revisi:)

Like jika suka👍

Happy Reading.

*****

Suasana seketika mencekam, jelas terlihat raut kemarahan diwajahnya. Rahangnya mengeras, memperlihatkan garis rahangnya yang kokoh.

Sret!

Lucian menghempas tangan Mona dengan kasar. Ia memegang kepalanya yang kembali terasa sakit. "Sia*an!" umpatnya.

"Lu-Luc... Ak-Aku bisa jelasin. Ka-kamu juga tahu, ak-aku melakukan perawatan di luar negeri, kan? Aku sudah menghilangkan bekas luka itu," jelas Mona dengan terbata-bata. Padahal ia telah menyiapkan skenario untuk kejadian ini. Akan tetapi, melihat betapa marah dan dinginnya Lucian, membuatnya takut.

"Heh." Lucian mendesah tak percaya. "Apakah kau pikir aku tolol, Mona?" tanya Lucian, dengan tatapan tajam.

Seketika wajahnya berubah jadi pucat, tak memiliki harapan. 'Enggak, ini enggak mungkin terjadi...'

Lucian dan Mona jelas mengetahui, bahwa luka itu tak akan pernah bisa dihilangkan, semahal dan seberapa usaha pun mereka.

"En-enggak, Luc. Aku minta maaf..." Mona mencoba meraih Lucian, namun di hempaskan dengan begitu mudah. Terlihat raut wajah Lucian yang jijik.

John dan Lina hanya bisa terdiam, tak berani membantu, karena takut melihat ekspresi Lucian.

"Hah... Jelaskan padaku, apa yang sebenarnya terjadi! Bagaimana bisa waktu itu aku melihat ada luka bakar di tanganmu!" bentak Lucian, dengan nafas memburu.

Rasa penyesalan menelusup kedalam hatinya. Ia merasa sangat menyesal, telah menuduh bahkan membentak Anna saat itu. Padahal, gadis itu juga sedang sakit, dan kemungkinan Anna lah yang menyelamatkannya waktu itu.

Nyut!

Kepalanya berdenyut. Rasanya seperti di hujami hujan deras yang menusuk kulit.

"Hiks... Hiks..."

"JAWAB MONA!" bentak Lucian, ia tak lagi memiliki kesabaran untuk menunggu.

"A-a-aku, aku tidak tahu," jawab Mona. Berusaha menutupi kesalahannya. Ia tak ingin, Lucian kembali teringat gadis yatim piatu itu.

Brak!

Prang!

Lucian menendang meja di hadapannya, hingga terpental dan kaca berhamburan.

Deg!

Mereka sontak terdiam ketakutan, tak ada yang berani mendekat.

"Lu-Lucian, ini bisa dibicarakan baik-baik! Kenapa kau sampai seperti ini," ujar John, berusaha menenangkan Lucian.

"Baik-baik? Setelah kalian semua menipuku selama 11 tahun!" bentak Lucian, ia merasa sangat bodoh.

Bisa-bisanya ia dipermainkan oleh keluarga Mona. Ia merasa sangat tertampar akan kenyataan ini. Dirinya yang sudah bergelut lama di bidang bisnis maupun akting, tak menyadari jika dirinya di bodohi. Karena rasa kecewanya pada Anna, ia malah melakukan kesalahan besar.

"Besok!" ucap Lucian pada akhirnya. "Jika sampai besok aku tak mendengar penjelasan apapun. Jangan harap Perusahaanmu akan tetapi berdiri besok," jelas Lucian, dengan nada mengintimidasi. Ia lalu melangkah pergi.

"Jika kalian berani menipuku lagi. Aku tidak akan segan-segan menghancurkan kalian!" ujar Lucian, sebelum benar-benar pergi.

"Lucian!" teriak Mona.

****

Lucian mengendarai mobil bak orang kesetanan. Rasa sakit di kepalanya semakin membuatnya frustasi. Ia merasa ini adalah hukuman untuknya, karena telah menuduh Anna tanpa mendengarkan penjelasannya.

Tangannya menggenggam erat stir, hingga memperlihatkan urat-urat tangannya yang menonjol.

Ckit!

Mobilnya berhenti di sebuah danau. Danau yang terlihat sangat indah. Ia turun dari mobilnya, dan terduduk lemas di pinggiran Danau.

"Arghhh!" teriak Lucian. Menyesali perbuatannya.

'Jangan bilang, jika kecelakaan Mona juga bukanlah kesalahannya,' batin Lucian. Ia mengacak-acak rambutnya dengan kasar.

"Apa yang harus kulakukan... " Tatapannya terlihat hampa dan penuh penyesalan. Jika waktu bisa terulang ia tak akan pernah memperlakukan Anna seperti itu.

"Harusnya aku tahu, sejak kamu membawaku kesini. Bahwa kau adalah gadis yang tulus. Betapa bodoh dan egoisnya diriku saat itu, sehingga tak menyadari semua ini," ungkap Lucian, menyesali perbuatannya. Ia kembali teringat akan pertama kali Anna mengajaknya kesini.

FLASHBACK ON.

11 Tahun Lalu, tepat sehari sebelum kebakaran.

Kala itu, adalah masa-masa pemberontakan baginya. Ia yang selalu merasa dikekang oleh keinginan Kakeknya, terus melakukan perlawanan.

Lagi dan lagi, Kakeknya tak mengizinkan dirinya menikmati hobinya, sebagai pemain basket. Ia mengerti dan paham, jika suatu hari nanti ia tak akan bisa menikmati basket seperti saat sekolah, karena tanggung jawabnya sebagai penerus Perusahaan Kakeknya.

Akting dan penerus, selalu menjadi benalu dalam hidupnya.

"Besok aku ada pertandingan basket disekolah! Audisi tidaklah penting untukku! Itu bisa di lakukan kapan saja, karena kita memiliki perusahaan entertainment!" Lucian dengan emosi menggebu-gebunya mencoba menolak permintaan Kakeknya.

Ia benar-benar tak bisa melewati kesempatan kali ini. Ia harus bisa mendapatkan MVP pada pertandingan basket di sekolahnya besok. Apalagi, besok akan ada seleksi pemilihan tim nasional.

"Lucian! Kau tidak bisa memilih! Kau harus mengikuti audisi besok! Lupakanlah permainan basket itu! Jangan kekanak-kanakan, Lucian. Nasib ribuan pekerja ada di tanganmu, aku sudah tua dan tak memiliki banyak waktu untuk mengajarimu setelah lulus," bantah Edward, tanpa perasaan. Ia hanya ingin Lucian fokus pada perkembangan Perusahaan dan menjadi harapan dan harapan bagi Aktor muda perusahaannya.

"Kenapa kau tidak pernah mengerti, Kek! Aku tak menginginkan semua itu, tapi aku tetap berusaha memenuhi tanggung jawabku! Saat ini, Aku hanya ingin kebebasan menjalani hobi yang kusukai," jelas Lucian, dengan kepala tertunduk. Apakah itu salah, baginya untuk menyukai hobinya?

"Disaat semua orang bersenang-senang, sedangkan aku tak memiliki sedikitpun waktu untuk bersenang-senang. Ah, tidak. Lebih tepatnya berpikir untuk bersenang-senang saja, aku tidak bisa! Setidaknya, kali ini aku ingin kau mengerti, bahwa aku benar-benar menyukai ini dan berusaha mendapatkannya. Harusnya kau juga paham, bahwa aku selama tak akan pernah bisa lari, karena nama belakangku!" Lucian meninggalkan Edward dengan perasaan hancur. Pikirannya ia akan mendapatkan dukungan, namun itu hanyalah hayalan semata.

Srak!

Bugh!

Lucian menendang dedaunan yang gugur melampiaskan kekesalannya. Lalu, tanpa sadar memukul pohon besar yang selama ini menjadi pelindungnya. Hingga, tangannya lecet mengeluarkan darah.

"Astaga! Tuan Lucian! Tangan anda berdarah, bukankah besok ada pertandingan basket!" pekik seorang gadis dengan panik. Ia menarik tangan Lucian dan meniupnya dengan penuh kelembutan.

"Saya tidak apa----."

"Saya ambilkan kotak p3k dulu. Tuan tunggu disini," ucapnya tanpa mendengarkan perkataan Lucian.

"Hah, dasar gadis itu. Selalu saja berlebihan," gumam Lucian. Namun, entah mengapa ia menyukai perhatian kecil yang diberikan Anna padanya.

Walau, ia terkadang ia merasa iri dan membenci Anna. Karena ia mendapatkan segalanya. Entah itu kasih sayang Edward, bahkan menjalani hobinya tanpa terkekang.

Lucian memperhatikan Anna yang berjalan tergesa-gesa, dengan raut wajah panik khasnya. Tanpa sadar Lucian terkekeh.

"Sini Tuan Muda, tangannya," pinta Anna.

Lucian mengulurkan tangannya. Ia tanpa sadar terus memperhatikan setiap ekspresi yang di buat Anna. Itu terasa seperti kesenangan tersendiri baginya. Emosinya yang tadinya meluap-luap, kini meredam akibat tingkah lucu Anna.

"Tuan Muda, harusnya jangan membiarkan emosi anda mengendalikan anda!" Anna berceloteh sembari tangannya bergerak memberikan plaster pada luka Lucian.

"Apa lagi besok ada pertandingan. Katanya mau jadi MVP, terus di pilih jadi tim nasional. Apa sekarang sudah tidak mau?" tanya Anna, dengan heran.

Lucian mengernyit. "Darimana kau tau itu?" tanya Lucian, heran. Jelas ia hanya mengatakan hal ini pada teman-teman setimnya. Dan, Edward.

'Apakah dia mendengar pertengkaran kami?' batin Lucian.

Wajah Anna memerah. Keringat menetes di pelipisnya. Ia terlihat sangat gugup. "Ah, sa-saya tidak sengaja dengar w-waktu itu di depan ruang ganti, Tuan," jawab Anna, dengan kepala tertunduk.

Lucian tersenyum. "Mengapa kau berada di sana? Kau ingin mengintip, hah?" tanya Lucian, dengan nada menggoda. Menikmati ekspresi berlebihan Anna.

"Ah! Tidak, tidak mungkin!" teriak Anna panik, sembari melambaikan tangannya.

"Lalu?" tanya Lucian, ia mendekatkan wajahnya pada Anna. Membuat gadis itu terkesiap, hingga menahan nafasnya.

"Nafas Anna! Kau mau mati, hah? Hahaha!" Lucian tertawa riang, seolah bebannya yang berat tadi tak lagi berarti.

"Hah... ha.. ha... Tu-Tuan Muda!"

Lucian menyadarkan tubuhnya pada pohon tua itu. Kepalanya menengadah menatap langit biru. "MVP? Sekarang itu hanyalah sebuah hayalan semata, Anna. Kau tau bagaimana Kakek, yang sangat keras padaku dan kemauannya," jelas Lucian, ia merasa perlu seseorang untuk mendengarkan ceritanya.

Selama ini, ia hanya memendam semuanya. Karena merasa tidak semua orang bisa mengerti dirinya. Bahkan ia tak merasa dekat dengan Ranti, Ibu Kandungnya.

Anna menatap Lucian. "Jadi... Apakah besok anda tidak jadi ikut perlombaan?" tanya Anna, ia terlihat sangat khawatir.

Anna tahu, seberapa besar rasa suka Lucian pada basket. Betapa merekah senyumnya saat berhasil mencetak gol. Lucian yang pendiam dan seolah tak tersentuh, bisa tersenyum riang dan manis saat berhasil mencetak gol, membuat Anna semakin mencintai sosok Lucian.

"Tapi... Saya suka saat Tuan bermain basket. Saya juga ingin, Tuan Muda menjadi MVP besok. Walau itu hanyalah hayalan semata seperti kata Tuan," jelas Anna, ia seolah merasakan kesedihan Lucian. Ia benar-benar berharap Edward dapat mengerti ini.

Lucian tersenyum tipis. Tangannya tanpa sadar, bergerak mengelus kepala Anna. "Sudahlah, tidak usah dipikirkan!"

Blush!

Wajah Anna memerah, bak tomat. Ia merasakan debaran-debaran itu, yang membuat hatinya menghangat sejak pertama kali bertemu Lucian.

"Tuan... Jika boleh, saya tahu satu tempat yang bisa mengembalikan mood," jelas Anna, dengan senyum merekah. Ia akan melakukan apa saja untuk membuat Lucian bahagia.

Lucian mengernyit. Mempertimbangkan. Pohon ini saja sudah cukup baginya. Namun, ia penasaran sebagus apa tempat itu, sehingga gadis di hadapannya tersenyum begitu merekah. Lucian mengangguk.

Dua puluh menit perjalanan, terasa begitu berarti untuk keduanya. Ini pertama kalinya mereka dalam satu mobil karena keinginan mereka sendiri. Bukan, paksaan saat Edward meminta Anna untuk berangkat sekolah bareng Lucian.

Tanpa mereka sadari sebuah mobil telah mengikuti mereka.

"Ini dia tempatnya, Tuan!" pekik Anna, sembari merentangkan tangannya.

"Apa yang menarik dari sebuah danau? Terlihat sama saja," jelas Lucian, lalu ia duduk di rerumputan.

Anna tersenyum. "Ada dong! Karena daerah ini sepi dan jauh dari pemukiman, kita bisa meluapkan emosi kita. Dan itu benar-benar melegakan. Setiap merasa sedih, aku selalu berada disini untuk meluapkan semuanya," jelas Anna panjang lebar. Lalu, ia berjalan mendekati Lucian

"Ayo berdiri, Tuan. Biar saya kasih tahu caranya," ajak Anna, ia mengulurkan tangannya pada Lucian.

Lucian menatap tangan Anna. Ia merasa tertarik untuk mengeluarkan tangannya.

Greb!

Anna tersenyum senang, saat Lucian menerima uluran tangannya. Ia menarik Lucian kepinggir danau dan bersiap untuk meluapkan emosi.

"ARGHHHH! WOI! AKU MAU LIHAT TUAN LUCIAN JADI MVP BESOK!" teriak Anna, setelahnya ia menoleh pada Lucian dengan senyum yang memperlihatkan deretan gigi putihnya.

"Ayo tuan!"

Lucian terpesona. Jika dengan Anna, ia merasa bisa melakukan segala. Bahkan bermain basket. Perasaan bahagia dan bersyukur, menelusup kerelung hatinya.

"AK-AKU Mau main BASKET besok!" Lucian berteriak dengan malu-malu. Ia berteriak dan menurunkan suaranya secara bergantian. Membuatnya tertawa terbahak-bahak.

"Hahahaha. Tuan, kenapa berteriak seperti itu! Yang kenceng, dong. Biar lega, masa kalah sama saya," ledek Anna.

"Hah... Kau ini benar-benar..."

"AKU MAU MAIN BASKET BESOK! MENJADI MVP PERTANDINGAN DAN LULUS SELEKSI TIM NASIONAL!" teriak Lucian, dengan nafas terengah-engah. Ia menatap Anna, sembari menarik nafas.

Ia dapat melihat senyuman tulus diwajah gadis itu. Ia merasa benar-benar bersyukur Anna ada sini.

"Anna, dasar jal*ng gak tau diri. Kita liat besok, apakah Lo bisa bisa tersenyum besok," gumam seseo di balik pepohonan.

FLASHBACK OFF.

...****************...

GIMANA UDAH PANJANG BELOM?

JANGAN LUPA BANTU LIKE DAN KOMENTAR YA! BIAR SEMANGAT LANJUTINNYA...

Note: maaf kalo banyak flashback.

1
tia
lanjut thor
alyssa bunga: oheyy
total 1 replies
tia
dikit amat thor
alyssa bunga: oh kurang panjang, oklah nanti di panjangin makasih😂
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!