Sistem Dewa Koki

Tak terasa, jam dinding sudah menunjukkan pukul delapan lewat empat puluh lima malam.

Selain mahasiswa kos-kosan, banyak juga pekerja migran yang baru pulang lembur berdatangan ke gang kecil tempat warung Ardi berdiri.

Sebagian dari mereka awalnya berniat membeli makanan untuk dibawa pulang ke kontrakan. Namun, begitu sampai di ujung gang, mereka langsung mencium aroma bihun goreng sapi buatan Ardi yang harum semerbak hingga ke jalan besar.

“Eh, aneh ya? Kok ada warung baru di sini? Jual bihun goreng sapi pula!”

“Tapi… kok rame banget yang antre?”

Di seberang jalan, berdiri warung lama yang sudah terkenal: Raja Mie Goreng milik Pak Wanto. Biasanya, setiap malam ada saja yang antre. Minimal empat sampai lima orang. Tapi malam itu benar-benar aneh—tidak ada satu pun pembeli!

Pak Wanto yang selama ini menyandang julukan “Raja Mie Goreng” melirik rombongan pekerja migran yang baru pulang kerja. Wajahnya yang muram sempat berubah penuh harap.

Ekspresinya jelas berkata: “Ayo mampir, jangan lupa makan di tempatku.”

Namun, para pekerja itu hanya saling pandang. Tanpa banyak bicara, mereka justru berbalik arah dan ikut mengantre di warung Ardi.

Sejujurnya, setelah bertahun-tahun makan di warung Pak Wanto, banyak yang sudah bosan. Ditambah lagi, aroma bihun goreng sapi Ardi terlalu menggoda. Bahkan beberapa pekerja yang sehari-hari bergulat dengan ternak di kandang merasa wajar memberi hadiah kecil untuk diri mereka malam ini.

Kalau bisa memilih, siapa yang menolak seporsi bihun goreng sapi kering buatan Ardi?

Melihat semua pelanggan setianya justru berpaling ke warung baru itu, wajah Pak Wanto hampir kehilangan ketenangannya.

“Bos, bihun goreng sapinya mantap banget!” seru salah satu pekerja begitu menerima pesanannya.

“Kenapa ya, bihun goreng sapi di tempat lain nggak seempuk ini?”

Warung kecil Ardi tak pernah sepi. Meski kebanyakan orang membungkus untuk dibawa pulang, ada juga yang tak tahan godaan, langsung makan sambil berdiri di pinggir jalan.

Yang baru selesai antre, hanya bisa menelan ludah melihat orang di depan mereka menyuap bihun dengan lahap. Rasa lapar bercampur penasaran membuat mereka semakin tak sabar.

Untungnya, tak ada yang sampai tersedak karena buru-buru makan. Tapi wajah berminyak penuh kenikmatan itu sudah cukup jadi iklan gratis.

Di samping warung Ardi, ada seorang gadis muda yang berjualan es teh lemon buatan tangan. Dari wajah polos dan pakaian sederhananya, jelas ia seorang mahasiswa yang berusaha mencari tambahan uang kuliah.

Beberapa hari sebelumnya, ia hampir menyerah karena dagangannya jarang laku. Harga lima ribu rupiah dianggap terlalu mahal oleh sebagian mahasiswa, apalagi pekerja.

Namun, malam itu berkat keramaian warung Ardi, dagangannya laris manis!

“Pas banget, makan bihun goreng sapi panas-panas, terus diteguk pakai es teh lemon dingin. Segar banget!” ujar seorang pembeli puas.

Ardi hanya tersenyum melihat si gadis kebanjiran pelanggan. Dalam hati, ia kagum. Ia tahu betapa berat perjuangan anak muda yang berusaha mandiri.

Gadis itu memang tidak jelek, tapi pakaiannya kuno dan tubuhnya kurus. Jelas kondisi keluarganya tidak terlalu baik.

Namun Ardi sama sekali tidak meremehkannya. Sebaliknya, ia mengagumi gadis-gadis yang mengandalkan tangannya sendiri untuk bekerja dan belajar. Itu bukanlah sesuatu yang memalukan.

Lahir dari keluarga seperti apa memang tidak bisa kita pilih, pikir Ardi. Tapi bagaimana cara kita menghadapi kesulitan, itulah yang menentukan masa depan.

Hidup itu seperti game. Setiap kesulitan adalah “boss” yang harus dikalahkan.

Setelah minum segelas teh lemon, para pekerja yang awalnya letih kembali bersemangat, lalu lanjut menghabiskan bihun goreng sapi di tangan mereka.

“Astaga, aku umur delapan belas tahun baru kali ini makan bihun goreng sapi seenak ini!”

“Teksturnya kenyal, daging sapinya empuk banget. Ardi, kau belajar di mana sih?”

“Kalau aku kasih nilai, bihun ini sempurna!”

Kerumunan semakin riuh dengan pujian. Orang-orang yang masih antre pun makin yakin kalau warung baru ini bukan kaleng-kaleng.

Seorang koki tua pernah berkata: “Masakan adalah sumber kebahagiaan manusia.”

Malam itu, kalimat itu terbukti nyata di warung kecil Ardi.

Tubuh yang letih setelah seharian kerja mendadak terasa ringan setelah seporsi bihun goreng sapi masuk ke perut.

Tak sampai setengah jam, Ardi sudah menjual lebih dari 50 porsi.

Sementara rekor tertinggi Pak Wanto hanya 20 porsi mi goreng dalam waktu yang sama.

Pak Wanto, sang “Raja Mie Goreng”, benar-benar terpukul.

Bukan hanya soal rasa, bahkan cara Ardi menggoreng pun terlihat lebih lincah dan rapi.

Tangannya seakan menari. Gerakan sendok wajan tak pernah sia-sia.

Dalam hati, Pak Wanto terpaksa mengakui:

Ardi benar-benar berbakat…