NovelToon NovelToon
Regresi Sang Raja Animasi

Regresi Sang Raja Animasi

Status: sedang berlangsung
Genre:Menjadi Pengusaha / Bepergian untuk menjadi kaya / Time Travel / Mengubah Takdir / Romantis / Romansa
Popularitas:2.5k
Nilai: 5
Nama Author: Chal30

Kael Ardhana, animator berusia 36 tahun yang hidupnya hancur karena kegagalan industri, tiba-tiba terbangun di tubuhnya saat berusia 18 tahun… di tahun 1991. Dengan seluruh pengetahuan masa depan di tangannya, Kael bertekad membangun industri animasi lokal dari nol, dimulai dari sebuah garasi sempit, selembar kertas sketsa, dan mimpi gila.

Tapi jalan menuju puncak bukan sekadar soal kreativitas. Ia harus menghadapi dunia yang belum siap, persaingan asing, politik industri, dan masa lalunya sendiri.
Bisakah seorang pria dari masa depan benar-benar mengubah sejarah… atau justru tenggelam untuk kedua kalinya?

Yuk ikutin perjalanan Kael bersama-sama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chal30, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 20

Minggu pagi datang dengan perasaan yang aneh, campuran antara lega dan hampa. Hari terakhir. Hari ketika mereka secara resmi mengirim film ke festival, dan setelah itu… tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain menunggu pengumuman beberapa bulan ke depan.

Kael bangun lebih pagi dari biasanya. Di dadanya ada sensasi kosong yang sulit dijelaskan, seperti seseorang yang baru kehilangan arah setelah terlalu lama hidup dengan satu tujuan yang jelas. Ia berdiri di depan cermin, mengamati wajahnya yang tampak lebih kurus tapi juga lebih tenang. Lima bulan penuh kerja keras, begadang, tekanan dan kini semua itu berakhir begitu saja.

Air dingin dari pancuran membuat kulitnya merinding. Ia menepuk wajahnya perlahan, lalu mengenakan kemeja putih yang sudah disetrika rapi semalam, entah kenapa, ia merasa penampilan yang proper mungkin bisa membawa sedikit good luck hari ini.

Saat tiba di studio pukul tujuh pagi, hampir semua orang sudah datang. Ruangan itu terasa berbeda, lebih tenang, tapi ada semacam getaran kecil di udara, seperti detik sebelum hujan turun.

Rani duduk di lantai, memotong bubble wrap dengan fokus luar biasa. Lapisan demi lapisan ia gulung mengelilingi master tape, memastikan tak ada kemungkinan rusak selama pengiriman.

Dimas di pojok ruangan, membungkuk di depan laptop sambil berkali-kali mengecek alamat tujuan. “Gue takut ada typo,” gumamnya, kening berkerut.

Budi menyiapkan tumpukan dokumen di meja panjang, formulir registrasi, sinopsis bahasa Inggris yang diterjemahkan Rani dengan bantuan kamus tebal, dan surat pengantar yang Kael tulis sendiri, kalimat demi kalimat ia periksa dengan hati-hati malam sebelumnya.

“Semua dokumen udah komplit?” tanya Kael, membuka checklist dari brosur festival. Matanya menyapu setiap baris seperti detektif mencari petunjuk yang mungkin terlewat.

“Komplit,” jawab Dimas tanpa mengalihkan pandangan. “Udah gue cek tiga kali. Nih, folder-nya udah lengkap.” Ia mengangkat map besar dengan separator warna-warni.

Kael mengangguk, lalu menatap Rani. “Master tapenya aman, kan? Gue gak mau ada kejadian aneh pas pengiriman. Kalau rusak di tengah jalan, semua usaha kita sia-sia.”

Rani menoleh sebentar, senyum tipis muncul di bibirnya. “Udah aman banget. Gue pake tiga layer bubble wrap, terus boxnya busa bantalan di semua sisi. Bahkan kalau kurirnya ngelempar, tapenya gak bakal kenapa-kenapa.” Ia mengetuk kotak yang sudah dibalut lakban coklat rapat, label alamat tertulis rapi di atasnya.

Kael menatapnya lama, lalu menghela napas pelan. “Oke… kita kirim sekarang.”

Pukul sembilan pagi, tujuh orang itu berjalan bersama ke kantor pos. Di tangan Kael ada box yang ia peluk erat, seolah benda itu bayi yang harus dijaga dengan nyawa. Jalanan Minggu pagi masih sepi, hanya beberapa pedagang yang baru membuka lapak, dan keluarga kecil yang berjalan menuju gereja.

Kantor pos sudah buka, tapi lengang. Petugas tua dengan kacamata tebal menyambut mereka dari balik meja kayu, agak terkejut melihat rombongan anak muda datang bersama membawa satu paket.

“Mau kirim ke mana, Dek?” tanya petugas itu dengan nada ramah.

“Singapura, Pak. Express international. Harus sampai maksimal tiga hari, soalnya ini untuk festival,” jawab Kael serius. Nada suaranya tenang tapi matanya memohon, seakan berharap sang petugas akan memperlakukan paket itu dengan ekstra hati-hati.

Petugas itu menimbang box di timbangan manual yang catnya mulai pudar, lalu menekan tombol kalkulator tua. “Total seratus lima puluh ribu. Mau tambah asuransi? Kalau hilang atau rusak bisa diganti.”

Kael tanpa ragu mengangguk. “Mau. Berapa, Pak?”

“Dua puluh ribu untuk coverage sampai lima ratus ribu rupiah. Tapi ya, cuma ganti rugi barangnya. Gak bisa ganti isinya kalau isinya berharga secara emosional.” Petugas itu tersenyum kecil, tulus.

Kael ikut tersenyum, meski lelah. “Gak apa-apa, Pak. Yang penting ada perlindungan sedikit.” Ia membuka dompet, dompet tipis yang sudah kehilangan bentuk karena lima bulan pengeluaran tanpa henti.

Transaksi selesai. Petugas menyerahkan resi dengan nomor pelacakan. “Paketnya berangkat sore ini. Kalau lancar, Rabu sore udah sampai Singapura. Saya doakan semoga berhasil ya, Dek.”

Kael menunduk sopan, menjabat tangan bapak itu dengan kedua tangannya. “Terima kasih, Pak. Terima kasih banyak.”

Mereka keluar dari kantor pos dengan langkah pelan. Tak ada lagi yang perlu dilakukan. Semua sudah dikirim. Sekarang hanya menunggu.

“Jadi… sekarang kita ngapain?” Budi bertanya, suaranya terdengar jujur dan kosong, seperti seseorang yang baru kehilangan rutinitas.

Kael tertawa kecil. “Sekarang kita istirahat. Cuti seminggu. Gak boleh ke studio, gak boleh mikirin kerjaan.” Ia menepuk bahu Budi, senyumnya hangat. “Tidur. Main. Pulang ke keluarga kalian. Lakuin hal-hal yang kalian kangenin.”

“Cuti seminggu?” Agus memandang tak percaya.

“Serius,” jawab Kael, matanya mantap. “Kalian udah kerja gila-gilaan. Kalian pantas dapat waktu buat napas.”

Satu per satu mereka berpelukan, menepuk bahu, tertawa pelan. Beberapa pura-pura bercanda agar tidak terlihat sentimental. Lalu mereka berpisah di depan kantor pos, ada yang langsung pulang, ada yang mampir ke rumah orang tua, ada yang ingin tidur seharian.

Kael berjalan sendiri ke taman kecil di dekat studio. Ia duduk di bangku kayu yang warnanya mulai pudar, menatap anak-anak bermain ayunan dan jungkat-jungkit. Tawa mereka jernih, ringan, tanpa beban.

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, dadanya terasa lega.

Ia teringat masa lalu, kehidupan sebelumnya, kesalahan, keserakahan. Hidup yang satu itu sudah berakhir, tapi anehnya, kesempatan baru ini datang. Ia tak tahu kenapa, tapi ia berjanji tak akan menyia-nyiakannya.

“Gue udah bikin sesuatu yang berarti,” gumamnya pelan, suara nyaris tenggelam oleh angin. “Udah buktiin kalau dengan tim yang tepat, kita bisa bikin sesuatu yang luar biasa. Sekarang tinggal nunggu… dan berharap dunia lihat apa yang kita buat.”

Ponselnya berbunyi, nada SMS dari Nokia tuanya yang khas. Ia membuka pesan dari Rani.

“Thank you, Kael. Thanks for believing in us. Apa pun hasilnya nanti, gue bersyukur banget bisa jalanin perjalanan gila ini bareng lo. Istirahat ya. See you next week.”

Kael tersenyum lebar. Jemarinya mengetik balasan pelan-pelan di keypad T9 yang sudah.

“Thank you too, Ran. Lo juga istirahat. Kita udah kasih semuanya.”

Sore itu ia pulang ke kontrakan kecilnya. Tak ada tekanan, tak ada deadline, hanya keheningan yang hangat. Ia merebus mie instan, menambahkan telur, lalu duduk di kursi plastik murahan sambil menikmati setiap suapan. Rasanya sederhana tapi memuaskan, karena kali ini, ia makan tanpa tergesa.

Sesudahnya, ia berbaring di kasur tipis, menatap langit-langit yang retak seperti peta abstrak. Untuk pertama kali dalam waktu yang lama, pikirannya kosong, bukan karena hampa, tapi karena damai.

“Apapun yang terjadi nanti,” bisiknya pelan, “gue udah buktiin sesuatu. Bahwa animator Indonesia bisa bikin karya kelas dunia… asal dikasih kesempatan.”

Senyum kecil muncul di wajahnya. Ia menarik napas panjang, menutup mata. Di kontrakan kecil dengan cat yang mengelupas itu, seorang lelaki muda tertidur tenang, tahu bahwa ia sudah berusaha sebaik mungkin, sudah meninggalkan jejak yang berarti, dan baru saja memulai perjalanan panjang yang akan mengubah hidup banyak orang.

Malam turun perlahan, menutupi dunia dengan selimut lembut. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Kael tidur nyenyak tanpa rasa takut, tanpa penyesalan. Hanya damai, syukur, dan secercah harapan bahwa esok akan membawa babak baru dalam hidupnya.

1
Syahrian
🙏
Syahrian
😍🙏
Syahrian
👍🙏
Syahrian
😍
Syahrian
👍🙏
Revan
💪💪
Syahrian
Lanjut thor
Kila~: siap mang💪
total 1 replies
pembaca gabut
thorr lagi Thor asik ini 😭
±ηιтσ: Baca karyaku juga kak
judulnya "Kebangkitan Sima Yi"/Hey/
total 2 replies
pembaca gabut
asli gue baca ni novel campur aduk perasaan gue antara kagum dan takut kalo kael dan tim gagal atau ada permasalahan internal
Syahrian
Lanjut thor👍👍
Revan
💪💪💪
Revan
💪💪
Syahrian
Tanggung thor updatenya🙏💪👍
Kila~: udah up 3 chapter tadi bang/Hey/
total 1 replies
Syahrian
🙏👍👍
Kila~: makasii~/Smile/
total 1 replies
Syahrian
👍🙏
Syahrian
😍
Syahrian
👍
Syahrian
Lanjut 👍😍
Kila~: sudah up 2 chapter nih
total 1 replies
Syahrian
Lanjuut🙏
Kila~: besok up 3 chapter 😁
total 1 replies
Syahrian
Mantap💪🙏
Kila~: terimakasih bang/Rose/
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!