Ayla tumbuh sebagai gadis yang terasingkan di rumahnya sendiri. Sejak kecil, kasih sayang kedua orang tuanya lebih banyak tercurah pada sang kakak, Aluna gadis cantik yang selalu dipuja dan dimanjakan. Ayla hanya menjadi bayangan, tak pernah dianggap penting. Luka itu semakin dalam ketika ia harus merelakan cinta pertamanya, Arga, demi kebahagiaan sang kakak.
Tidak tahan dengan rasa sakit yang menjerat, Ayla memilih pergi dari rumah dan meninggalkan segalanya. Lima tahun kemudian, ia kembali ke ibu kota bukan sebagai gadis lemah yang dulu, melainkan sebagai wanita matang dan cerdas. Atas kepercayaan atasannya, Ayla dipercaya mengelola sebuah perusahaan besar.
Pertemuannya kembali dengan masa lalu keluarga yang pernah menyingkirkannya, kakak yang selalu menjadi pusat segalanya, dan lelaki yang dulu ia tinggalkan membuka kembali luka lama. Namun kali ini, Ayla datang bukan untuk menyerah. Ia datang untuk berdiri tegak, membuktikan bahwa dirinya pantas mendapatkan cinta dan kebahagiaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cumi kecil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19 SANDIWARA
Suasana mal itu ramai, dipenuhi lampu etalase yang berkilauan dan suara riuh pengunjung. Mommy berjalan di samping Arga dengan langkah elegan, sementara Aluna menggandeng lengan Mommy seperti seorang putri manja yang dimanjakan.
Arga berjalan sedikit di belakang mereka, wajahnya datar. Sebenarnya, ia tak begitu menikmati kegiatan ini. Namun ia memilih diam, karena tak ingin membuat Mommy kecewa.
Di sebuah butik mewah, Aluna mencoba beberapa gaun. Ia keluar dari ruang ganti, berputar manja di depan Mommy.
“Bagaimana, Mom? Cantik, kan?” suaranya riang.
Mommy tersenyum puas. “Cantik sekali, sayang. Memang pantas dipakai untuk calon menantu keluarga Dirgantara.”
Kalimat itu membuat Arga terdiam, napasnya terasa berat. Namun ia tak membantah, hanya memalingkan wajahnya ke arah lain.
Aluna melirik Arga sekilas, senyum penuh arti tersungging di bibirnya." Lihatlah, Alya… aku selalu di sampingnya, diakui keluarganya. Kau tidak akan pernah bisa merebut posisiku." Gumamnya.
Setelah beberapa saat, mereka berjalan ke arah kafe untuk beristirahat. Mommy memesan teh hangat, sementara Aluna hanya duduk sambil memainkan gelas jusnya.
Tiba-tiba, Aluna memegang dadanya dengan wajah pucat. “Mom… Arga… aku… aku pusing…” suaranya bergetar, nyaris pingsan.
Mommy panik seketika, menepuk bahu Aluna. “Aluna! Sayang, kamu kenapa?”
Arga langsung berdiri, wajahnya tegang. “Aluna, tahan sebentar. Aku panggilkan dokter sekarang juga!” Ia meraih ponselnya, bersiap menghubungi rumah sakit.
Namun tangan Aluna menahan lengan Arga. “Ja… jangan… aku hanya… butuh istirahat sebentar…”
Ia menunduk, pura-pura lemah, sementara matanya melirik ke arah Mommy dan benar saja, Mommy terlihat semakin khawatir.
“Oh Tuhan… penyakitmu kambuh lagi, ya? Kenapa tidak bilang pada Mommy sebelumnya?” suara Mommy bergetar. Ia menoleh pada Arga dengan wajah penuh tuntutan. “Arga, kau lihat sendiri, kan? Bagaimana Mommy bisa tenang kalau kamu tidak menjaga Aluna dengan baik?”
Arga terdiam, kebingungan antara rasa iba dan rasa curiga. Namun saat ia melihat Aluna terbaring lemah di kursi, napasnya tersengal, hatinya luluh.
“Baik, Mom,” kata Arga akhirnya. “Aku akan mengantar Aluna pulang. Dia butuh istirahat.”
Senyum samar muncul di sudut bibir Aluna, meski ia cepat menyembunyikannya. Satu langkah lagi… pikirnya. Arga akan semakin terikat padaku. Dan Alya… kau hanya akan jadi bayangan.
...----------------...
Sementara di mal, sandiwara Aluna berjalan mulus dengan wajah pucat dan tubuh yang sengaja ia buat tampak lemah, di apartemennya Alya sedang duduk di ruang kerja pribadi. Gelas anggur merah di tangannya hanya disentuh sedikit, pikirannya melayang pada Arga yang sejak pagi meninggalkannya.
Suara ponselnya bergetar di meja. Alya segera meraihnya, melihat sebuah pesan masuk dari nomor khusus anak buahnya yang memang ia tugaskan untuk memantau setiap gerak-gerik Aluna.
Senyum dingin Alya muncul ketika ia membuka lampiran foto.
Foto pertama memperlihatkan Mommy dan Aluna berjalan beriringan di butik, tertawa bahagia.
Foto kedua menampilkan mereka bertiga duduk di kafe dan di sana jelas terlihat, kepala Aluna bersandar manja di bahu Arga, seolah-olah dunia milik mereka berdua.
Alya menatap lama foto itu, jari-jarinya mengetuk ringan meja kayu di depannya. Hatinya bukan sakit… melainkan semakin kuat dengan bara tekad.
“Pintar sekali kau, Aluna…” gumamnya pelan. “Tapi sayangnya, aku lebih pintar. Dan aku selalu selangkah di depanmu.”
Ia menutup ponselnya, meneguk habis sisa anggur di gelasnya, lalu berdiri dengan aura percaya diri yang semakin kuat.
Kini, bagi Alya, kebersamaan Arga dengan Aluna bukanlah ancaman. Itu hanyalah amunisi bukti yang bisa ia gunakan, celah yang bisa ia jadikan senjata.
Senyum dinginnya mengembang. “Kita lihat, Aluna… seberapa lama kau bisa memainkan sandiwara itu sebelum topengmu kurobek di depan Arga.”