NovelToon NovelToon
KISAH NYATA - KETIKA CINTA MENINGGALKAN LUKA

KISAH NYATA - KETIKA CINTA MENINGGALKAN LUKA

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor jahat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami / Selingkuh / Percintaan Konglomerat / Romansa
Popularitas:6k
Nilai: 5
Nama Author: Dri Andri

Gavin Narendra, CEO muda yang memiliki segalanya, menghancurkan pernikahannya sendiri dengan perselingkuhan yang tak terkendali. Larasati Renjana, istrinya yang setia, memilih untuk membalas dendam dengan cara yang sama. Dalam pusaran perselingkuhan balas dendam, air mata, dan penyesalan yang datang terlambat, mereka semua akan belajar bahwa beberapa luka tak akan pernah sembuh.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 28: Gavin Menyesal Terlambat

#

Gavin pulang ke rumah setelah sidang—bukan rumah bersama yang dulu, karena Larasati sudah ganti gembok dan secara hukum sekarang itu bukan lagi haknya untuk masuk sesuka hati. Tapi apartemen kecil yang dia sewa di kawasan Menteng, apartemen yang steril dan dingin, yang tidak punya kehangatan atau kenangan atau apapun yang membuat tempat itu terasa seperti rumah.

Apartemen dengan satu kamar tidur, ruang tamu kecil dengan sofa yang keras, dan dapur yang tidak pernah dia pakai karena dia tidak tahu cara masak—selama ini selalu Larasati yang masak. Selalu Larasati yang urus segalanya.

Dan sekarang, tanpa Larasati, Gavin baru sadar betapa tidak berfungsinya dia sebagai manusia dewasa yang mandiri.

Dia lempar kunci ke meja dengan bunyi yang keras—bunyi yang bergema di ruangan kosong karena tidak ada yang lain. Tidak ada Abimanyu yang lari menyambut dengan teriakan "Papa pulang!" Tidak ada Larasati yang keluar dari dapur dengan senyum dan tanya "Gimana harimu, sayang?"

Hanya keheningan. Keheningan yang menghantui.

Gavin duduk di sofa, menatap dinding putih kosong yang tidak ada hiasan. Apartemen ini sementara, dia bilang pada dirinya sendiri saat pertama kali sewa sebulan lalu. Sementara sampai dia bisa perbaiki segalanya dan kembali ke rumah bersama Larasati dan Abi.

Tapi setelah hari ini—setelah lihat wajah Larasati yang dingin dan tegas di pengadilan, setelah dengar dia bilang "tidak ada kemungkinan rekonsiliasi" dengan suara yang tidak ragu—Gavin mulai sadar bahwa "sementara" ini mungkin jadi permanen.

Ini mungkin jadi hidupnya sekarang. Sendirian di apartemen kecil. Kerja di kantor yang bukan kantor dia lagi. Lihat anaknya dengan pengawasan seperti dia penjahat. Dan Larasati—Larasati yang akan melanjutkan hidup, yang mungkin dengan Reza, yang akan bangun hidup baru tanpa dia.

Pemikiran itu membuat sesuatu di dadanya sesak sampai dia tidak bisa bernapas.

Gavin berdiri tiba-tiba, butuh bergerak, butuh lakukan sesuatu untuk mengalihkan dari pikiran yang menghantui. Dia buka kulkas—hampir kosong kecuali beberapa botol air mineral dan sisa makanan pesan antar dari tiga hari lalu yang mungkin sudah basi.

Dulu, kulkas di rumah selalu penuh. Selalu ada makanan rumahan yang Larasati siapkan. Selalu ada buah segar yang dia potong di wadah. Selalu ada jus yang dia buat tiap pagi karena dia bilang Gavin perlu lebih banyak vitamin.

Hal-hal kecil yang Gavin ambil begitu saja. Hal-hal yang dia pikir akan selalu ada.

Gavin tutup kulkas dengan keras, merasa amarah pada dirinya sendiri mulai naik. Amarah yang sudah dia tahan sejak tadi pagi, amarah yang diperburuk oleh sidang yang menghancurkan, amarah yang sekarang tidak punya sasaran selain dirinya sendiri.

Dia berjalan ke kamar—kamar yang hanya ada kasur, lemari kecil, dan kardus yang belum dibuka penuh berisi barang-barang pribadi. Tidak ada sentuhan pribadi. Tidak ada foto keluarga. Tidak ada yang membuat ini terasa seperti dia punya kehidupan di sini.

Di pojok kamar, ada kardus yang dia bawa dari rumah lama—kardus yang dia belum berani buka karena dia tahu apa yang ada di dalamnya.

Dengan tangan yang gemetar, Gavin buka kardus itu.

Dan di dalamnya—semua kenangan dari delapan tahun pernikahan. Album foto. Surat-surat cinta yang Larasati tulis di tahun-tahun pertama. Tiket dari bulan madu mereka di Bali. Gelang pasangan yang mereka beli bersama di ulang tahun ketiga tapi Gavin tidak pernah pakai karena "tidak nyaman."

Gavin ambil album foto—album tebal dengan sampul biru navy yang elegan. Dia duduk di lantai, bersandar di tepi kasur, dan buka halaman pertama.

Foto pernikahan mereka. Larasati dengan gaun putih yang indah, senyum yang bersinar, mata yang penuh dengan cinta dan harapan. Dan Gavin—Gavin yang menatap Larasati dengan tatapan yang... Ya Allah, tatapan yang begitu penuh cinta.

Kapan dia kehilangan tatapan itu? Kapan dia berhenti menatap Larasati seperti dia adalah dunianya?

Gavin balik ke halaman berikutnya. Foto bulan madu—mereka di pantai, Larasati tertawa saat ombak basahi kaki mereka, Gavin peluk dia dari belakang dengan senyum lebar. Mereka terlihat... bahagia. Benar-benar bahagia.

Halaman demi halaman—foto saat Larasati hamil, perutnya membulat dengan Abimanyu, Gavin berlutut di depannya sambil cium perut itu dengan lembut. Foto saat Abi lahir, Larasati lelah tapi bersinar dengan bayi mungil di pelukannya, Gavin duduk di samping dengan mata berkaca-kaca karena terharu.

Foto ulang tahun pertama Abi. Kedua. Ketiga. Liburan keluarga ke Bandung. Natal bersama. Lebaran bersama. Momen-momen kecil yang saat itu terasa biasa tapi sekarang terasa seperti harta yang tidak ternilai.

Dan di setiap foto—di setiap momen itu—Larasati ada. Larasati yang tersenyum, yang peluk Abi, yang menatap Gavin dengan cinta yang tidak pernah pudar bahkan saat Gavin sudah mulai menjauh.

Kapan dia berhenti menghargai itu semua? Kapan kehadiran Larasati berubah dari berkah jadi hal yang biasa? Kapan dia mulai mencari kehangatan di tempat lain padahal kehangatan terbesar ada di rumahnya sendiri?

Air mata mulai mengalir—perlahan dulu, lalu semakin deras. Gavin tidak mencoba menghentikannya. Dia biarkan air mata jatuh ke foto-foto itu, mengaburkan wajah-wajah bahagia yang sekarang terasa seperti milik orang lain.

"Maafkan aku," bisiknya pada foto Larasati yang tersenyum—foto saat anniversary kelima mereka di restoran mewah, Larasati pakai gaun merah yang cantik, menatap kamera dengan bahagia. "Maafkan aku, Lara. Maafkan aku..."

Tapi permintaan maaf pada foto tidak mengubah apapun. Larasati yang nyata—Larasati yang dia sakiti, yang diakhianati—sudah tidak mau dengar permintaan maafnya lagi.

Gavin tutup album dengan tangan yang gemetar, tapi damage sudah terjadi. Kenangan-kenangan itu sekarang menghantui—kenangan tentang apa yang dia punya dan buang begitu saja.

Dia ingat pagi-pagi saat Larasati bangun jam lima untuk siapkan sarapan sebelum dia berangkat kerja. Dia tidak pernah minta, tapi Larasati selalu lakukan. Selalu ada telur mata sapi yang dimasak sempurna, roti panggang dengan selai yang dia suka, kopi hitam tanpa gula seperti kesukaannya.

Dia ingat bagaimana Larasati selalu siapkan baju kerja—disetrika rapi, digantung di lemari dengan urutan yang dia tahu Gavin akan pakai. Kaus kaki yang dipasangkan. Dasi yang dipilih cocok dengan kemeja.

Dia ingat malam-malam saat dia pulang larut—terlalu larut, biasanya karena dengan Kiran—dan Larasati masih terjaga. Duduk di sofa dengan buku tapi mata yang tidak fokus karena menunggu. Dan saat Gavin masuk, dia tersenyum—selalu tersenyum—dan tanya "Kamu sudah makan?"

Berapa kali Larasati tunggu seperti itu? Berapa malam dia tidak tidur karena khawatir? Berapa kali dia telan kekhawatirannya dan pretend percaya kebohongan Gavin tentang lembur atau meeting?

Gavin tidak pernah hargai itu semua. Dia pikir itu kewajiban istri. Dia pikir itu yang seharusnya Larasati lakukan.

Tapi sekarang—sekarang saat semua itu hilang—dia baru sadar betapa luar biasanya Larasati. Betapa dia berkorban tanpa keluhan. Betapa dia mencintai Gavin bahkan saat Gavin tidak layak untuk dicintai.

"TOLOL!" teriak Gavin tiba-tiba, suaranya memecah keheningan apartemen. "TOLOL! TOLOL! TOLOL!"

Dia pukul kepalanya sendiri dengan kepalan tangan—sekali, dua kali, keras sampai sakit. Tapi rasa sakit fisik tidak ada apa-apanya dibanding rasa sakit di dadanya.

Gavin berdiri dengan gerakan tiba-tiba, napas cepat, amarah pada dirinya sendiri yang sudah tidak bisa dikontrol lagi. Dia lihat sekeliling—apartemen yang kosong, yang steril, yang tidak punya kehidupan.

Dan di meja ruang tamu, ada guci—guci keramik mahal yang ibunya berikan saat dia pindah ke apartemen ini. "Supaya apartemenmu tidak terlalu kosong," kata ibunya dengan sedih, tidak bilang langsung tapi mereka berdua tahu: supaya apartemen tempat anaknya yang gagal tidak terasa seperti penjara.

Gavin tatap guci itu—guci dengan ukiran naga yang indah, yang mungkin berharga puluhan juta. Pemberian dari ibu yang sudah kecewa padanya. Barang mahal yang tidak ada artinya.

Karena apa gunanya guci mahal kalau dia kehilangan istri yang mencintainya? Apa gunanya apartemen atau uang atau status kalau dia kehilangan keluarganya?

Dengan gerakan yang tidak terkontrol, Gavin ambil guci itu dan lempar ke dinding.

Guci pecah dengan bunyi yang keras—serpihan keramik beterbangan, pecahan indah yang sekarang jadi sampah. Suara pecahan itu memuaskan untuk sedetik, memberikan outlet untuk amarah yang membara.

Tapi hanya sedetik. Lalu kekosongan kembali.

Gavin jatuh berlutut di antara pecahan guci, tidak peduli kalau ada yang menusuk kulitnya lewat celana. Tangannya meremas rambut—keras, sampai sakit, sampai dia merasa seperti dia mau cabut rambutnya sendiri.

"Kembalikan dia padaku," bisiknya pada kekosongan, pada Tuhan yang mungkin sudah berhenti mendengarkan doa dari pria yang sudah terlalu banyak berbuat dosa. "Kumohon. Kembalikan dia padaku. Aku akan berubah. Aku akan jadi suami yang baik. Aku akan jadi papa yang baik. Kumohon... kumohon..."

Tapi tidak ada jawaban. Hanya gema dari suaranya sendiri di apartemen yang kosong.

Gavin menangis—menangis dengan cara yang tidak pernah dia tangis bahkan saat ayahnya meninggal. Isakan yang keluar dari tempat paling dalam di dadanya, tangisan yang membuat seluruh tubuhnya bergetar, air mata yang tidak berhenti mengalir.

Dia menangis untuk Larasati yang dia sakiti. Untuk Abimanyu yang sekarang harus tumbuh di keluarga yang hancur. Untuk delapan tahun yang dia sia-siakan. Untuk cinta yang dia bunuh perlahan dengan setiap kebohongan dan setiap pengkhianatan.

Dia menangis untuk dirinya sendiri—untuk pria bodoh yang pikir dia bisa punya segalanya tanpa konsekuensi, yang sekarang kehilangan segalanya dan tidak tahu bagaimana untuk mendapatkannya kembali.

"Lara," isak Gavin, wajah di lantai dingin di antara pecahan guci. "Lara, maafkan aku. Aku mencintaimu. Aku selalu mencintaimu. Aku cuma... aku cuma lupa. Tapi aku ingat sekarang. Aku ingat betapa berharganya kamu. Kumohon... kumohon jangan tinggalkan aku..."

Tapi Larasati tidak ada di sini untuk dengar. Larasati sudah pergi. Dan semua tangisan, semua penyesalan, semua permintaan maaf datang terlambat.

Terlalu terlambat.

Gavin berbaring di lantai dingin apartemen yang sepi—diantara pecahan guci yang dulunya indah tapi sekarang hancur, seperti hidupnya—dan menangis sampai tidak ada lagi air mata yang keluar, sampai tubuhnya terlalu lelah untuk isak, sampai kegelapan malam datang dan dia masih berbaring di sana, sendirian dengan penyesalannya yang tidak akan pernah cukup untuk memperbaiki apa yang sudah dia hancurkan.

Dan di kegelapan itu, satu pikiran terus berputar:

Dia kehilangan segalanya.

Dan tidak ada yang bisa dia lakukan untuk mendapatkannya kembali.

---

**Bersambung

1
Aretha Shanum
dari awal ga suka karakter laki2 plin plan
Dri Andri: ya begitulah semua laki laki
kecuali author🤭😁
total 1 replies
Adinda
ceritanya bagus semangat thor
Dri Andri: makasih jaman lupa ranting nya ya😊
total 1 replies
rian Away
awokawok lawak lp bocil
rian Away
YAUDAH BUANG AJA TUH ANAK HARAM KE SI GARVIN
rian Away
mending mati aja sih vin🤭
Dri Andri: waduh kejam amat😁😁😁 biarin aja biar menderita urus aja pelakor nya😁😁😁
total 1 replies
Asphia fia
mampir
Dri Andri: Terima kasih kakak selamat datang di novelku ya
jangn lupa ranting dan kasih dukungan lewat vote nya ya kak😊
total 1 replies
rian Away
wakaranai na, Nani o itteru no desu ka?
Dri Andri: maksudnya
total 1 replies
rian Away
MASIH INGET JUGA LU GOBLOK
Dri Andri: oke siap 😊😊 makasih udah hadir simak terus kisah nya jangan lupa mapir ke cerita lainnya
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!