NovelToon NovelToon
Wanita Di Atas Ranjang Suamiku

Wanita Di Atas Ranjang Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Pelakor / Penyesalan Suami
Popularitas:7.8k
Nilai: 5
Nama Author: Shinta Aryanti

Suaminya tidur dengan mantan istrinya, di ranjang mereka. Dan Rania memilih diam. Tapi diamnya Rania adalah hukuman terbesar untuk suaminya. Rania membalas perbuatan sang suami dengan pengkhianatan yang sama, bersama seorang pria yang membuat gairah, harga diri, dan kepercayaan dirinya kembali. Balas dendam menjadi permainan berbahaya antara dendam, gairah, dan penyesalan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shinta Aryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tak Sesuai Harapan...

Senin pagi.

Jam di dashboard mobil menunjukkan 06.43 saat Rania memarkirkan mobil di basement kantor. Ia duduk sebentar, kedua tangan memegang erat setir, menarik napas panjang.

Matanya berat. Hampir semalaman ia tidak bisa tidur... kepalanya penuh dengan bayangan pesta kemarin.

Tawa keluarga Niko, pujian pada Wulan, dan tatapan - tatapan yang menusuknya seperti jarum.

Satu - satunya hal yang membuatnya bangun pagi dan berangkat seawal ini... adalah nama itu,

Askara.

Tangan Rania dingin saat menyentuh map. Langkah sepatunya bergema di lorong basement menuju lift.

Setiap bunyi hak sepatunya yang beradu dengan lantai "tak... tak... tak..." seperti menghitung jarak antara dirinya dan harapan agar bertemu dengan si pemilik nama.

Rania menginjakkan kaki di Lobi yang masih lengang.

Udara AC terasa menusuk kulit, bercampur aroma karpet yang baru divakum dan disemprot pewangi.

Seorang satpam baru saja menurunkan tangan setelah apel pagi, beberapa pegawai piket berjalan gontai keluar sambil menguap.

Rania memeluk map di dadanya, matanya terus menyapu setiap sudut. Karena kata asistennya Askara, pria itu disiplin datang jam 06.30. Dank alau beruntung Rania mungkin bisa melihatnya.

Langkahnya pelan, tapi jantungnya justru memukul - mukul dada. Lalu... ketika kakinya hampir sampai di belokan menuju ruangannya, ia melihat sekelompok pria berjas. Suara mereka rendah dengan wajah - wajah serius.

Dan di tengah mereka ada... Askara.

Tampan. Rapi. Kemeja biru muda, dasi biru navy, jas terpasang sempurna. Posturnya tegap, ekspresinya dingin. Ia sedang bicara, dikelilingi orang - orang yang tampak penting.

Pandangan Rania terpaku pada wajah itu. Entah kenapa, langkahnya refleks melambat. Ada harapan yang muncul begitu saja... setidaknya lihat aku, sekali saja...

Wanita itu berdiri di tempat, terpaku menunggu momen ketika Askara akan menyapanya, atau sekadar mengucapkan selamat pagi. Rania menunggu.

Hingga, rombongan itu semakin dekat. Suara sepatu berderap di lantai marmer, dingin dan beraturan. Askara berjalan di tengah, posturnya tegap, bicara dengan nada datar pada orang di sampingnya.

Hanya tinggal beberapa langkah, terus mendekat. Membuat Rania menahan napas.

Dan lalu...

Ia lewat begitu saja

Tidak ada senyum. Tidak ada sapa. Tidak ada tanda bahwa ia mengingat ciumannya dengan Rania. Seolah Rania hanyalah bagian dari udara.

Bahu Rania merosot.

Langkahnya yang sempat terhenti kembali bergerak pelan. Ada perih yang menempel di dada, seperti luka yang disiram air garam.

Ia menarik napas dalam - dalam, ekspresi wajahnya yang sempat berbunga - bunga berubah datar seketika. Hingga masuk ke ruangannya dan pintu tertutup, tubuhnya baru ambruk ke kursi.

Tatapannya kosong menembus layar komputer yang belum menyala. Entah kenapa ia merasa seperti... patah hati bahkan sebelum semuanya dimulai.

Rania bersandar di kursi, menutup mata sejenak. Dalam hening, ujung jarinya peln menyentuh bibir. Masih ada sisa rasa di sana... rasa dari malam itu.

Ciuman yang terlalu nyata untuk dilupakan. Ciuman yang yang selama dua hari ini terus menghantui pikirannya.

Tapi pagi ini... semua seperti mimpi bodoh.

Mungkin Askara hanya khilaf. Mungkin terbawa suasana melihat dirinya menangis seperti sendirian. Atau mungkin hanya iseng... hal kecil yang tak ada artinya sama sekali.

Rania menembuskan napas panjang. Ia menunduk.

Siapa dia? Pikirnya.

Hanya seorang istri yang dipandang rendah di rumah sendiri, yang bahkan keluarganya pun tak peduli.

Lantas, apa pantas ia mengharapkan orang seperti Askara? Laki - laki yang sempurna dan terlalu tinggi untuk digapai.

Wanita itu tersenyum getir, "Bodoh," umpatnya pada diri sendiri.Rania menarik napas dalam - dalam, sudah waktunya ia sadar diri.

...****************...

Cukup lama Rania menyadari bahwa ia sudah duduk terlalu lama di ruangan kecil itu. Di luar sana, orang - orang mulai berdatangan. Suara tumit sepatu, denting gelas kopi, sapaan satu sama lain, semua terdengar jauh.

Kepalanya berat. Fokus pada pekerjaan? Mustahil. Apa pun yang ada di mejanya sekarang hanya terlihat seperti bentuk tanpa arti.

Akhirnya, dengan langkah berat, Rania bangkit. Meraih tas, merapikan sedikit rambutnya di cermin kecil yang tergantung di balik pintu. Mata bengkak itu ia sembunyikan di balik bedak tipis.

Ia butuh udara. Ia butuh ruang yang tidak mengingatkannya pada pesta kemarin, pada Askara yang tak menoleh padanya.

******

Jalan keluar menuju basement ia tempuh pelan, sengaja menjauh dari lift utama. Beberapa orang menyapanya sekilas, ia balas seadanya.

Mobil tuanya melaju sedikit kencang, dan perjalanan ke lokasi proyek terasa seperti pelarian. Jalanan yang padat, suara klakson, panas matahari yang sudah tinggi... semuanya menjadi alasan untuk tidak memikirkan kejadian di lobi tadi.

    "Fokus Rania... fokus," ucapnya pada diri sendiri, "Ayo belajar, ayo semangat... agar semuanya bisa cepat selesai." ucapnya lagi, menyemangati diri sendiri.

Lokasi proyek berada di pinggiran kota. Begitu mobil masuk ke area itu, debu tipis langsung menempel di kaca mobil. Bau pasir dan semen basah menyeruak.

Di sana, orang - orang berseragam rompi oranye dan helm putih sudah beraktivitas. Ada yang mengangkat besi, ada yang memeriksa gambar di atas meja besar.

Seorang pria paruh baya menghampirinya ketika ia turun dari mobil, tergesa menyambut dengan senyum sopan.

    "Bu Rania, ya?" ucapnya sedikit berteriak, berlomba dengan suara bising mesin.

Rania mengangguk, sopan membalas, "Iya Pak, saya Rania."

    "Saya Rudi, site manager di sini. Mari, Bu, kita ada briefing sebentar." ujarnya sambil menyodorkan helm proyek warna putih.

Rania mengangguk. Ia melangkah pelan, matanya menyapu area sekitar. Ini pertama kalinya ia bekera di tempat seperti itu. Sepatunya terasa salah, blouse putih dengan celana bahan tak sesuai, Tapi tidak ada jalan mundur untuknya.

Di bawah tenda sederhana, ada beberapa orang duduk melingkar, Peta besar, kertas - kertas, dan cangkir - cangkir kopi plastik berjejer di meja.

    "Silakan duduk, Bu," kata Pak Rudi.

Rania duduk canggung, mengingat ia satu - satunya perempuan di tengah pekerja laki - laki. Matanya sibuk mengenali dan mengingat wajah orang - orang di depannya, sedang telinganya fokus mendengarkan paparan, kadang ia sibuk mencatat istilah atau nama barang yang entah apa.

Orang - orang itu bicara tentang galian, pipa, besi, urutan pengerjaan, bahan yang akan dipakai. Telinga Rania penuh, tapi jujur saja... otaknya kosong.

    "Jadi kita harus pastikan pile cap ini kuat, Bu," kata salah satu engineer, menunjuk gambar. "Kalau pondasi awal salah, apartemen ini bisa amblas."

Rania tersenyum canggung. "Oh... iya, tentu." ucapnya bingung.

Pak Rudi menyela, tertawa kecil. "Tidak apa - apa Bu, pelan - pelan saja. Awal - awal emang pasti bingung. Tapi nanti kami coba bantu jelasin, Ibu tinggal tanya saja apa yang Ibu kurang pahami."

Rania tersenyum lega, secercah harapan di tengah kebuntuannya. "Terima kasih, Pak. Mohon kerjasamanya. Jujur, saya memang tidak paham tentang struktur atau bahan bangunan, tapi saya janji saya akan belajar."

Pak Rudi dan orang - orang disana manggut - manggut mengerti, penuh pemahaman. Dari tampilannya saja yang cantik dan mulus, sudah bisa dipastikan Rania tak pernah bekerja di proyek, di bawah sengatan matahari dan tebalnya debu.

Angin siang berembus pelan, menerbangkan debu dan sedikit semen kering. Terik matahari memancar terang, cuaca sedang panas - panasnya tapi ia masih duduk di tenda biru itu, menyimak rencana proses pembangunan apartemen mewah yang sempat dikacaukan oleh kantor mertuanya.

Keringat sudah luber di pelipis, rambutnya lepek dan berminyak... wajahnya yang putih memerah tersengat sinar matahari. Tapi tak ada keluhan, Rania tetap fokus belajar, bertanya apa pun yang ia tidak tahu.

      "Bu," Pak Rudi menyodorkan selembar kertas. "Ini adalah jadwal pengecoran minggu depan. Kalau Ibu sudah setuju dengan anggaran dan jadwalnya, mohon ditanda tangani. Biar nanti saya serahkan pada Pak Dion, asistennya Pak Askara."

Deg.

Nama itu lagi. Nama yang sepanjang hari ia coba untuk lupakan. Nama yang membuatnya terbang ke langit, lalu jatuh tersungkur ke bumi. Kini dengan lantang di sebut di depan wajahnya, entah berapa jam lagi ia harus bergelut dengan pekerjaan agar bisa melupakan bayangan ciuman itu, wangi parfumnya, dan hangat napasnya.

Tiba - tiba saja Rania merasa lelah. Teramat lelah.

(Bersambung)..

1
yuni ati
Mantap/Good/
Halimatus Syadiah
lanjut
Anonymous
buat keluarga Niko hancur,, dan buat anak tirinya kmbali sama ibux,, dan prlihatkn sifat aslix
Simsiim
Ayo up lagi kk
Kinant Kinant
bagus
Halimatus Syadiah
lanjut. ceritanya bagus, tokoh wanita yg kuat gigih namun ada yg dikorban demi orang disekelilingnya yg tak menghargai semua usahanya.
chiara azmi fauziah
kata saya mah pergi aja rania percuma kamu bertahan anak tiri kamu juga hanya pura2 sayang
Lily and Rose: Ah senengnya dapet komentar pertama 🥰… makasih ya udah selalu ngikutin novel author. Dan ikutin terus kisah Rania ya, bakal banyak kejutan - kejutan soalnya 😁😁😁
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!