Aku tidak pernah percaya bahwa pernikahan bisa jadi sekejam ini. Namaku Nayla. Hidupku berubah dalam semalam saat aku dipaksa menikah dengan Reyhan Alfarezi, seorang pria dingin, keras kepala, dan kejam. Baginya, aku hanya alat balas dendam terhadap keluarga yang menghancurkan masa lalunya. Tapi bagaimana jika perlahan, di antara luka dan kemarahan, ada sesuatu yang tumbuh di antara kami? Sesuatu yang seharusnya tak boleh ada. Apakah cinta bisa muncul dari reruntuhan kebencian? Atau aku hanya sedang menipu diriku sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rima Andriyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Reyhan berdiri di depan jendela kamarnya. Tangannya mengepal di sisi tubuh, rahangnya mengeras. Di luar, malam telah menelan langit dengan gelap yang pekat, tapi pikirannya lebih kelam dari itu.
Bayangan Ayah Nayla, berlari keluar dari ruang kerja sang ayah, masih jelas di kepalanya. Satu detik kemudian, tubuh ayah Reyhan tersungkur, wajahnya pucat, tak bernyawa.
Dan saat semua orang sibuk menangis dan bertanya-tanya, Reyhan hanya menatap satu arah. Ke arah pintu yang masih sedikit terbuka... dan di sanalah dia melihatnya. Tatapan panik pria itu. Tatapan bersalah yang menancap tajam ke dalam benaknya.
Reyhan tak pernah melupakan hari itu.
Dan sejak hari itu, Nayla bukan lagi gadis manis yang di sukainya dulu. Nayla bukan lagi teman kecil yang selalu ia lindungi saat ada orang yang usil. Dia adalah putri dari pria yang telah membunuh ayahnya.
"Semua karena kau," bisiknya pada bayangan di jendela, suaranya hampir tak terdengar. "Keluargamu... menghancurkan hidupku."
Tapi kenapa, batinnya bertanya, kenapa hatinya masih bergetar tiap kali melihat Nayla menangis? Kenapa ada rasa sesak saat ia melihat perempuan itu dipaksa tunduk?
Reyhan mengacak rambutnya kasar. Dia marah. Tapi bukan hanya pada Nayla. Dia marah pada dirinya sendiri, karena kelemahan itu masih ada. Karena setiap kali ia melukai Nayla... sesuatu di dalam dirinya ikut retak.
Namun dendam, dendam itu terlalu kuat untuk dilepaskan.
---
Sementara itu, Nayla masih duduk di pojok kamarnya. Matanya sembab, pikirannya berputar-putar, mencoba memahami semua yang telah terjadi. Tapi tak ada yang masuk akal.
Kenapa Reyhan begitu kejam?
Dulu, ia selalu mengingat Reyhan sebagai sahabat masa kecilnya. Lelaki yang dulu suka membawakan es krim ke rumah saat musim panas. Yang diam-diam selalu melindunginya.
Tapi lelaki itu sekarang sudah tak ada.
Yang ada hanya monster dengan luka yang belum sembuh.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk.
Dari Nomor Tidak Dikenal
"Kalau kau ingin keluargamu selamat, datang ke kantor jam tujuh. Jangan terlambat."
Jantung Nayla mencelos. Tak perlu ditebak siapa pengirimnya. Gaya ancaman itu... hanya milik satu orang.
Nayla memang tidak memiliki nomor Reyhan karena pria itu sudah mengganti nomor sejak pria itu membencinya.
Ia menutup ponsel, menatap pantulan dirinya di cermin. Mata yang lelah. Hati yang rapuh.
Kalau ini semua tentang masa lalu... Nayla bersumpah, ia akan mencari tahu semuanya. Akan ia gali apa yang sebenarnya terjadi pada hari itu. Apa benar papanya bersalah?
***
Pagi itu hujan turun dengan lembut, menciptakan keheningan di dalam mobil hitam yang melaju perlahan menuju kantor. Tidak ada percakapan di antara mereka sejak meninggalkan rumah. Hanya suara wiper yang bergerak ritmis di kaca depan dan desiran hujan di luar yang menemani perjalanan.
Reyhan duduk di balik kemudi, sesekali melirik ke arah Nayla yang duduk di sampingnya. Wajah Nayla tampak tenang, atau setidaknya berusaha terlihat demikian. Jilbab hitam polos membingkai wajahnya, dipadukan dengan tunik abu-abu panjang dan rok lebar hingga mata kaki. Penampilannya sederhana, anggun, dan jauh berbeda dari wanita yang kemarin duduk di pangkuan Reyhan.
Tangan Reyhan sesekali menggenggam setir dengan kuat, seolah sedang menahan sesuatu yang tidak ingin ia luapkan. Namun, Nayla tetap diam. Pandangannya menatap keluar jendela, mengikuti jejak tetes hujan yang menuruni kaca. Tidak ada pertanyaan, tidak ada protes. Hanya kesunyian yang membentang di antara mereka.
Setibanya di basement kantor, Nayla segera membuka pintu dan keluar tanpa menunggu. Reyhan menyusulnya, langkahnya cepat.
“Kita masuk melalui lift khusus,” ucap Reyhan singkat.
Nayla mengangguk kecil tanpa menjawab.
---
Lantai tertinggi dari kantor Reyhan masih seperti kemarin, mewah, tenang, dan sunyi. Namun kali ini, suasananya berbeda. Tidak ada lagi suara langkah kaki tergesa dari wanita yang kemarin menyapa Reyhan dengan senyum genit.
Meja yang kemarin penuh dengan barang-barang pribadi kini kosong dan bersih. Nayla memandangi meja itu sejenak, ada keinginan untuk bertanya. Namun, bibirnya tetap terkatup rapat. Ia hanya menunduk dan mengikuti Reyhan masuk ke ruang kerja utama.
Reyhan membuka pintu dan melirik ke arahnya. “Mulai hari ini, kamu bekerja di sini.”
Nayla menatap ruangan yang luas itu. Sebuah meja baru telah disiapkan di dekat rak dokumen, tepat di seberang meja Reyhan. Lengkap dengan komputer, alat tulis, dan berkas-berkas yang sudah tersusun rapi.
“Kamu sekretaris utamaku sekarang,” lanjut Reyhan, lalu duduk di kursinya dengan santai.
Nayla menarik napas pelan, lalu berjalan mendekat dan meletakkan tasnya di kursi kerja. Tangannya menyentuh permukaan meja yang dingin. Pikirannya kembali pada kejadian kemarin, saat wanita itu dengan santai duduk di pangkuan Reyhan, seolah dirinya tidak berarti. Dan kini, wanita itu menghilang begitu saja.
Nayla ingin bertanya, siapa wanita itu? Ke mana perginya? Namun, pertanyaan itu hanya bergema di dalam benaknya.
“Jangan memikirkan hal yang tidak perlu,” suara Reyhan tiba-tiba terdengar, membuat Nayla menoleh cepat.
“Aku tidak mengatakan apa-apa.”
“Tapi aku tahu kamu sedang berpikir. Kamu selalu begitu.”
Nayla kembali menunduk, menahan napas dalam diam. Ia tidak ingin berdebat. Tidak pada hari pertama ia duduk di ruangan yang akan menjadi medan ujian setiap harinya.
“Mulai hari ini, semua jadwalku kamu yang atur. Kamu yang membuka email, mencatat semua pertemuan, dan mendampingi dalam rapat-rapat penting,” ucap Reyhan tegas. “Jadi, jangan coba-coba meninggalkan ruangan ini tanpa izin. Mengerti?”
Nayla mengangguk kecil. “Mengerti.”
Reyhan menatapnya lekat, lalu kembali membuka laptop tanpa berkata apa pun.
Nayla duduk perlahan. Tangannya sedikit gugup saat menyentuh keyboard. Ini bukan sekadar pekerjaan. Ini adalah awal dari perjuangan panjang, untuk bertahan di antara dendam yang belum selesai dan luka yang belum sembuh.
---
Nayla mencoba menyesuaikan diri dengan komputer di hadapannya. Ia membuka email sesuai instruksi Reyhan, mencatat agenda, dan mulai memilah dokumen-dokumen yang diberikan padanya. Meski belum terbiasa, ia berusaha keras untuk tidak terlihat canggung.
Namun, saat hendak ke ruang fotokopi untuk menggandakan beberapa dokumen, Nayla harus melewati lorong yang menghubungkan ruang direktur dengan ruang para staf. Di sanalah bisik-bisik itu mulai terdengar.
"Jadi itu dia yang baru?"
"Ya ampun, dari rumah langsung ke ruang CEO. Beruntung sekali ya."
"Atau ada hal lain di balik keberuntungannya?"
"Kalau tidak salah, sekretaris sebelumnya baru saja dipecat... katanya tanpa alasan jelas."
Langkah Nayla terhenti sejenak, namun ia berpura-pura tidak mendengar. Ia terus melangkah dengan tenang menuju mesin fotokopi. Namun suara-suara itu mengikuti dari belakang.
"Aku dengar dia itu kenalan pribadi Pak Reyhan."
"Bukan cuma kenalan, mungkin lebih dari itu. Dia pasti melempar tubuhnya pada bos kita sehingga langsung mendapatkan posisi sekretaris."
"Makanya berani jalan bareng masuk kantor."
Tawa kecil terdengar menggema di lorong. Nayla menggigit bibirnya diam-diam. Tangannya sedikit gugup saat menekan tombol pada mesin fotokopi. Ia tidak ingin menanggapi, namun kata-kata itu menyakitkan.
Saat ia kembali ke ruang CEO, matanya sempat menatap sekelompok staf wanita yang masih memperbincangkannya sambil tertawa pelan. Salah satu dari mereka bahkan menatap Nayla sambil memutar bola matanya dengan sinis.
Setibanya di ruangan, Nayla menyerahkan dokumen yang telah difotokopi ke meja Reyhan tanpa banyak bicara. Pria itu hanya melirik singkat tanpa mengucapkan terima kasih ataupun memberi pujian. Nayla tahu ia tidak boleh berharap.
Reyhan hanya berkata, "Kau lambat. Belajarlah lebih cepat."
Nayla menunduk, tidak membantah. Ia sudah menduga akan mendapat perlakuan dingin seperti ini. Namun tetap saja, hatinya terasa sesak. Terlebih setelah mendengar bisik-bisik tajam dari para staf di luar tadi.
Reyhan kembali menatap layar komputernya, seolah keberadaan Nayla tidak ada artinya. Namun di balik ekspresinya yang datar, dia selalu mengingat bagaimana kematian papanya dulu
Seketika rasa kesal kembali menguasainya.
"Jangan harap kau akan nyaman di sini," gumamnya pelan, namun cukup jelas untuk didengar Nayla.
Nayla mengangguk pelan, mencoba menenangkan diri. Ia tahu, ini belum apa-apa dibanding rasa bersalah yang selalu menghantuinya, meski ia sendiri tidak tahu sepenuhnya apa yang terjadi.
Hari-hari pertama Nayla sebagai sekretaris utama terasa berat. Bukan hanya karena sikap Reyhan yang dingin dan menekan, tetapi juga karena tatapan penuh curiga dari para staf kantor. Gosip tentang Nayla cepat menyebar, dan hampir semua berujung pada satu kesimpulan, ia adalah wanita penghangat ranjang bosnya.
“Pantas saja sekretaris lama dipecat, rupanya digantikan oleh wanita murahan,” gumam salah satu staf wanita di ruang pantry, dengan suara cukup keras agar Nayla mendengarnya.
“Diamlah. Bisa-bisa kau yang jadi pengangguran berikutnya,” bisik rekannya yang lain, walau jelas-jelas tidak sedang memperingatkan, melainkan menyindir.
Nayla hanya tersenyum tipis. Ia tidak ingin menanggapi. Ia tidak ingin menyerah.
Ia datang lebih pagi dari semua orang, memastikan meja Reyhan rapi, laporan-laporan tersusun dengan benar, dan agenda hariannya telah disusun secara sistematis. Ia menghafal seluruh jadwal rapat dalam seminggu hanya dalam dua hari, dan mulai menguasai ritme kerja kantor dengan cepat.
Namun setiap kali ia melapor pada Reyhan, pria itu hanya menjawab singkat, atau bahkan diam.
“Ini laporan keuangan dari divisi operasional,” ucap Nayla suatu pagi, meletakkan map di hadapan Reyhan.
Reyhan membuka map tersebut, membaca sepintas, lalu menutupnya kembali. Tanpa menatap Nayla, ia berkata, “Setidaknya kali ini kau tidak ceroboh.”
Itu pujian, atau lebih tepatnya, satu-satunya kalimat yang tidak mengandung penghinaan selama tiga hari terakhir. Namun ekspresi Nayla tetap tenang. Ia tahu Reyhan tidak akan mudah luluh, dan mungkin tidak akan pernah.
Sejujurnya, Nayla merindukan Reyhan yang dulu. Reyhan yang selalu mengusap air matanya saat dia menangis. Bukan Reyhan yang begitu kejam padanya seperti sekarang ini.