Mei Lin, seorang dokter muda dari tahun 2025, sedang dalam perjalanan darurat untuk menyelamatkan nyawa seseorang ketika sebuah kecelakaan tak terduga melemparkannya ke masa lalu. Terhempas ke laut dan terbangun di tengah medan perang, ia menemukan dirinya berada di kamp Pangeran Mahkota Rong Sheng dari Dinasti Xianhua, yang terluka parah dan sekarat.
Dengan insting medisnya, Mei Lin menggunakan alat-alat modern dari ransel besarnya untuk menyelamatkan nyawa sang pangeran, mengira ini hanyalah lokasi syuting drama kolosal. Namun, kesalahpahaman itu sirna saat anak buah Rong Sheng tiba dan justru menangkapnya. Dari situlah, takdir Mei Lin dan Rong Sheng terjalin.
Di tengah intrik istana dan ancaman musuh, Mei Lin harus beradaptasi dengan dunia yang sama sekali asing, sementara pengetahuannya dari masa depan menjadi kunci bagi kelangsungan hidup dinasti. Bisakah seorang dokter dari masa depan mengubah takdir sebuah kerajaan kuno?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R. Seftia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 19: Perpisahan
Zhi Ruo bekerja keras melukis wajah Mei Lan. Mei Lin, hanya bisa memberikan dukungan dan semangat kepada Zhi Ruo. Sesekali melontarkan lelucon yang membuat Zhi Ruo tertawa. Dan beberapa kali, Mei Lin juga menceritakan tentang dunianya kepada Zhi Ruo. Zhi Ruo menujukkan ketertarikan dengan dunia Mei Lin. Ia terus bertanya, mengajukan banyak pertanyaan.
Zhi Ruo adalah tipe orang yang selalu penasaran dan selalu ingin belajar hal-hal baru. Dan hal itu bukan sesuatu buruk. Mei Lin senang membagi banyak hal dengan Zhi Ruo. Rasanya, dirinya jauh lebih bebas ketika bersama Zhi Ruo dibandingkan dengan Rong Sheng.
Tetapi, entahlah. Tiba-tiba saja, ditengah candaannya dengan Zhi Ruo, tiba-tiba Mei Lin memikirkan tentang Rong Sheng. Hal itu diluar kehendaknya. Ia tidak ingin memikirkan tentang Rong Sheng, tetapi, ia tak bisa mengendalikan pikirannya sendiri. Bayang-bayang Rong Sheng terus saja menganggu ketenangannya. Mei Lin ingin menghapusnya, tapi, ia tak bisa. Ia tak memiliki kemampuan untuk itu.
Sesaat kemudian, Zhi Ruo selesai membuat lukisan wajah Mei Lan di banyak kertas. Lukisannya terlihat bagus, tampak mirip dengan aslinya. Mei Lin merasa sangat berhutang budi kepada Zhi Ruo, berjanji akan membalas kebaikan Zhi Ruo dilain waktu.
Mei Lin mengambil selembaran itu, kemudian membawanya kembali ke kamarnya. Di sana, Mei Lin mulai menulis tentang informasi yang berkaitan dengan Mei Lan, menambahkan informasi bahwa barangsiapa yang berhasil menemukan Mei Lan, ia akan mendapatkan hadiah uang. Dan hadiah uang itu akan diberikan oleh Rong Sheng.
"Semoga dengan cara ini aku bisa menemukan Kak Mei Lan. Jika dia benar-benar ada di sini, pasti ada seseorang yang pernah melihatnya." Mei Lin berusaha untuk berpikir positif.
Setelah menyelesaikan tulisannya, Mei Lin mengumpulkan semua selembaran itu, menyusunnya dengan rapi. Dan ketika Mei Lin ingin berganti pakaian, tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar. Dari balik pintu, suara seseorang terdengar familiar memanggil namanya.
"Mei Lin."
Suara yang terdengar sangat familiar bagi Mei Lin. Itu suara Rong Sheng.
"Tidak perlu membuka pintu untukku. Kita akan bicara, tapi tetap dengan pintu tertutup." Suara Rong Sheng terdengar tenang.
Dari pintu itu, Mei Lin bisa melihat bayangan Rong Sheng. Dia duduk bersandar di pintu. Mei Lin pun duduk di sana. Di antara mereka, terhalang sebuah pintu. Pembicaraan yang mendalam pun terjadi saat itu.
"Kau datang untuk mengambil selembaran itu kan?" Mei Lin sedikit membuka pintu itu, kemudian memberikan selembaran tentang Mei Lan kepada Rong Sheng. Kemudian, ia kembali menutup pintu itu.
"Mei Lin...." Suara Rong Sheng tiba-tiba terdengar rendah. Ia tampak ragu untuk mengatakan apa yang ada didalam benaknya. Entahlah, apakah hal ini benar-benar harus ia sampaikan kepada Mei Lin atau tidak. Ia benar-benar ragu.
"Kau ingin mengatakan sesuatu?" tanya Mei Lin.
"Iya. Aku hanya ingin mengatakan, jika mungkin, ini adalah terakhir kalinya bagiku untuk bisa memberikan bantuan kepadamu. Tepat beberapa hari lagi, pernikahanku dan Putri Rui Xi akan berlangsung. Dan setelah aku resmi menjadi suaminya, aku tidak bisa lagi membantumu. Kau harus membantu dirimu sendiri mulai saat itu," ungkap Rong Sheng. Entah kenapa, tetapi kata-kata itu terdengar menyakitkan. Bukan untuk Mei Lin, tetapi untuk dirinya sendiri.
"Baiklah. Aku mengerti dengan apa yang kau maksud. Aku tahu kau akan segera menikah. Aku turut bahagia untukmu. Aku juga mengerti, bahwa aku tidak boleh lagi bergantung kepadamu. Mulai sekarang, aku akan mulai belajar bertahan seorang diri. Aku akan berusaha keras untuk bisa bertahan di tempat ini. Terima kasih atas semua bantuan yang telah kau berikan selama ini. Aku benar-benar bersyukur untuk semua itu."
Tiba-tiba keheningan tercipta di antara Rong Sheng dan Mei Lin. Keduanya sama-sama kehabisan kata-kata. Tak tahu harus berkata apa lagi. Rasanya, diam itu adalah cara bagi mereka untuk berkomunikasi.
"Mulai besok, mulailah berlatih menggunakan kuda. Walaupun kau tidak suka dengan kuda, tetapi menunggang kuda adalah satu-satunya transportasi yang kami punya di sini. Jika kau bisa melakukannya, akan mudah bagimu untuk bepergian," ujar Rong Sheng.
"Dan satu lagi. Hal ini mungkin sesuatu yang kau benci, tapi... kau harus tetap melakukannya. Kau harus melakukan itu untuk bisa bertahan hidup di tempat ini. Kau harus belajar cara bela diri, dan cara menggunakan pedang. Kau harus bisa melakukannya untuk keselamatan dirimu sendiri. Aku akan meminta kepada Zhi Ruo untuk mengajarkan semua itu kepadamu."
Mei Lin yang mendengar hal itu hanya bisa terdiam. Dia tidak menjawab. Diamnya saat itu adalah jawaban bagi Rong Sheng. Dan setelah beberapa saat, Rong Sheng bangkit dan berpamitan kepada Mei Lin. Berkata, mungkin saat ini adalah saat terakhir bagi mereka untuk bisa berbicara satu sama lain.
"Mungkin ini adalah terakhir kalinya bagi kita berdua untuk bisa saling berbicara dengan bebas. Jadi, apakah ada sesuatu yang ingin kau katakan kepadaku sebelum kita benar-benar berpisah?"
Mei Lin sedikit ragu untuk bicara. Tetapi, ia akan merasa sangat menyesal jika tidak mengatakannya saat itu.
"Aku hanya ingin berpesan satu hal kepadamu. Tolong, tolong jangan basahi lagi pedang itu dengan darah. Sekali kau basahi dia dengan darah, dia akan terus meminta hal yang sama. Dan pada akhirnya, semuanya akan hancur." Suara Mei Lin terdengar getir ketika ia mengatakan hal itu. Dan tanpa dilihat oleh Rong Sheng, Mei Lin meneteskan air mata, merasa takut dengan masa depan yang menanti.
Rong Sheng memegangi pedangnya dengan erat. "Aku akan berusaha untuk melakukannya. Terima kasih untuk semuanya, Mei Lin...." Mengucapkan terima kasih untuk terakhir kalinya, Rong Sheng pun melangkah pergi, meninggalkan Mei Lin yang meringkuk, menangis dengan kedua tangannya yang menutup mulutnya agar tak menimbulkan suara.
Perpisahan yang sangat menyakitkan. Walaupun tidak ingin berpisah, tetapi mereka tetap harus berpisah. Rong Sheng tak bisa mengabaikan keinginan Rui Xi. Mau tidak mau, dia harus tetap mendengarkan apa yang Rui Xi inginkan. Jauh di lubuk hati terdalam Rong Sheng, dia tidak ingin meninggalkan Mei Lin. Mau dia akui atau tidak, hatinya sesungguhnya menginginkan Mei Lin. Sangat menginginkannya. Tetapi, keadaan tidak mendukung mereka.
Perpisahan itu harus terjadi, dan begitupun juga dengan pernikahan. Pernikahan Rong Sheng dan Rui Xi digelar dengan sangat meriah dan mewah. Semua orang berbahagia untuk mereka berdua, dan Mei Lin pun ada diantara orang-orang itu. Mei Lin ikut bertepuk tangan atas bersatunya dia insan. Walaupun senyuman terukir di wajahnya, dan kedua tangannya ikut bertepuk tangan... jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, ia merasakan kesedihan yang tak terbendung.
***
Bersambung.
aku jadi ngebayangin klw aku kayak gitu pasti sama takut nya ataw bahkan lebih dari itu