NovelToon NovelToon
SERENA (Aku Ingin Bahagia)

SERENA (Aku Ingin Bahagia)

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Anak Yatim Piatu / Diam-Diam Cinta / Mengubah Takdir / Guru Jahat
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: Nita03

Doa Serena setiap waktunya hanya ingin bahagia, apakah Serena akan merasakan kebahagiaan yang dia impikan? atau malah hidupnya selalu di bawah tekanan dan di banjiri air mata setiap harinya?.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nita03, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Halaman Sembilan Belas

***

Langit sudah gelap saat Hafiz akhirnya kembali ke apartemennya. Tadinya, ia berniat pulang sejak sore setelah tak berhasil menemukan Serena di kontrakan. Namun, rencana itu tertunda karena sebuah pesan dari petugas sekuriti apartemen membuatnya mengurungkan niat untuk kembali terlalu cepat.

“Pak Hafiz, tadi sore Ibu Anda datang ke apartemen bersama seorang wanita muda. Kami bilang Bapak sedang tidak ada, dan sesuai permintaan Bapak sebelumnya, kami tidak mengizinkan masuk. Tapi Ibu sempat menunggu cukup lama di lobby.”

Hafiz hanya membalas singkat waktu itu:

“Terima kasih. Kalau beliau datang lagi, tolong perlakukan sesuai instruksi sebelumnya. Saya akan pulang malam.”

Dan kini, di pukul delapan lewat lima belas malam, ia berdiri di depan pintu apartemennya dengan perasaan letih—baik fisik maupun hati. Ia membuka pintu dan melangkah masuk ke dalam ruang yang sunyi dan tertata rapi. Hanya saja, tidak ada kehangatan di dalamnya malam ini. Yang tersisa hanya bayangan Serena dan semua pertanyaan yang belum sempat ia jawab.

Hafiz meletakkan kunci dan ponsel di meja. Ia membuka dasi dan menjatuhkan diri ke sofa. Matanya menatap kosong ke langit-langit, tapi pikirannya terus dipenuhi bayangan Serena.

Tadi sore, ia nyaris mendatangi semua tempat yang mungkin pernah dikunjungi Serena—bahkan tempat makan pecel lele yang pernah mereka singgahi sepulang lembur. Tapi tetap nihil.

Dan sekarang, Mama-nya kembali datang, bahkan membawa perempuan lain—pasti perempuan yang sama dari malam acara ulang tahun itu. Hafiz menghela napas panjang, merasa dadanya semakin sesak.

Ia tahu ke mana arah semua ini: pertunangan. Perjodohan. Rencana keluarga yang tak pernah benar-benar ia sepakati, tapi juga tidak pernah ia tentang dengan cukup lantang. Dan kini, semua itu mengancam merusak satu-satunya hubungan yang sedang coba ia bangun, meski perlahan.

Hafiz meraih ponselnya lagi. Ia membuka pesan terakhir yang ia kirim untuk Serena malam sebelumnya—yang masih belum dibaca. Centangnya masih satu.

Jari-jarinya mengetik pesan baru, ragu-ragu.

“Serena… aku cuma mau tahu kamu baik-baik saja. Kalau kamu nggak mau bicara, nggak apa-apa. Tapi tolong kasih kabar.”

Ia tidak mengirimkannya. Pesan itu ia biarkan menggantung di layar, seperti perasaannya yang masih menggantung di antara harapan dan ketidakpastian.

Malam itu, Hafiz menyandarkan kepala ke sofa, memejamkan mata. Tapi yang datang bukan tidur—melainkan keraguan dan penyesalan yang semakin menguatkan satu hal:

Ia harus menemukan Serena. Dan kali ini, ia tidak akan menunggu lebih lama lagi untuk menjelaskan segalanya.

.

Kamar kecil di klinik itu tenang, hanya terdengar suara detak jarum infus dan hembusan lembut dari AC di sudut ruangan. Serena masih terbaring dengan selang infus di tangannya, wajahnya sedikit lebih segar setelah tidur beberapa jam, meskipun rona pucat belum sepenuhnya hilang dari pipinya.

Delina duduk di kursi samping ranjang, menatap Serena dengan lembut namun juga tegas. Sejak tadi sore, Serena sudah sempat memaksa agar Delina pulang saja.

“Kamu capek, Lin… Pulang aja, serius. Aku sudah lebih baik,” ucap Serena dengan suara pelan dan serak.

Tapi Delina hanya mendengus, lalu bersedekap.

“Serena, kamu pikir aku tega ninggalin kamu sendirian di tempat asing, dalam keadaan kayak begini? Meskipun kamu bilang nggak apa-apa, aku tahu kamu belum kuat. Jadi jangan usir aku, ya.”

Serena sempat memejamkan mata, menahan haru. Ia terlalu lemah untuk berdebat. Dan jujur saja, dalam hatinya ia bersyukur Delina tetap di sana. Kehadiran sahabatnya itu seperti selimut di tengah dinginnya rasa patah dan demam yang mengguncang.

Menjelang sore, saat Serena kembali tertidur, Delina akhirnya memutuskan pulang sebentar ke kontrakan. Tapi bukan untuk benar-benar istirahat. Ia pulang hanya untuk mengganti baju, mencuci muka, lalu memasukkan satu tikar gulung, selimut tipis, dan bantal kecil ke dalam ransel besar miliknya. Ia juga membawa sedikit makanan ringan dan botol minum cadangan.

Sekitar satu jam kemudian, Delina kembali ke klinik dan masuk ke kamar rawat dengan langkah ringan namun sigap. Ia segera menggelar tikar di lantai samping ranjang, menaruh selimut dan bantal, lalu duduk sambil memandangi Serena yang masih tertidur pulas.

“Tenang aja, Ren,” gumamnya. “Aku di sini. Kita hadapi semua ini bareng, kayak dulu-dulu…”

Delina tahu Serena bukan hanya sedang sakit karena demam biasa. Ada yang jauh lebih panas dari suhu tubuh Serena—yaitu hati yang sedang dilanda kecewa dan luka batin yang tak kelihatan. Tapi Delina juga tahu, Serena cukup kuat untuk pulih… selama ia tahu, ada seseorang yang tidak akan pernah meninggalkannya.

Dan malam itu, di ruangan sempit dengan dinding putih dan aroma antiseptik, dua sahabat berbagi diam, berbagi sunyi—dan berbagi kekuatan.

*

Pagi itu, suasana di kamar klinik terasa lebih hangat meski udara masih dingin dan aroma obat tetap memenuhi udara. Serena sudah duduk bersandar di ranjang, terlihat lebih segar walau wajahnya masih sedikit pucat. Senyum tipis mulai kembali ke bibirnya, meski matanya tetap menyimpan lelah.

“Katanya nanti sore baru boleh pulang,” ucapnya pelan sambil melipat surat dari klinik yang baru saja diserahkan perawat.

Delina yang duduk di kursi samping langsung mengangguk. “Bagus. Nggak usah buru-buru. Dokternya juga bilang kamu butuh istirahat penuh.”

Serena memegang ponselnya yang baru saja dinyalakan. Setelah semalaman mati karena baterai habis, kini layar ponsel menyala kembali, dan notifikasi masuk muncul bertubi-tubi. Beberapa dari Hafiz. Serena tidak langsung membukanya.

Ia membuka pesan ke salah satu kontaknya: Mbak Rina—rekan kerja satu divisi yang cukup bisa dipercaya.

Serena mengetik pelan: “Mbak Rina, aku izin nggak masuk hari ini. Ini ada surat keterangan sakit dari klinik. Nanti Delina yang titip suratnya lewat satpam kantor ya. Terima kasih banyak, Mbak.”

Selesai mengirim, Serena menyerahkan surat keterangan itu pada Delina.

“Titip ya, Lin. Kamu nggak usah naik ke atas, tinggal titip ke satpam aja. Mbak Rina biasanya istirahat jam sebelas, nanti pasti turun juga.”

Delina mengambil amplop coklat berisi surat itu dan mengangguk mantap. “Iya. Nanti aku tunggu di dekat pos satpam aja. Kan aku juga sekalian mau jalan ke butik, lewat situ kok.”

Serena tersenyum lemah. “Makasih ya, Lin… Beneran deh, kalau nggak ada kamu, aku nggak tahu harus gimana…”

Delina hanya tertawa pelan sambil menepuk bahu Serena. “Udah, jangan sentimentil. Istirahat yang bener. Nanti sore aku jemput kamu buat pulang ke kontrakan, oke?”

Serena mengangguk.

Sekitar pukul enam pagi, Delina pun pamit keluar dari klinik. Ia berjalan kaki menuju halte terdekat, naik angkutan umum, lalu turun di dekat kompleks kantor tempat Serena bekerja. Gedung tinggi itu menjulang seperti biasa, namun hari ini terasa sedikit asing baginya.

Ia mendekati pos satpam dengan percaya diri, menunjukkan ID pengantar dari klinik dan menjelaskan bahwa ia hanya ingin menitipkan surat sakit untuk karyawan bernama Serena. Satpam mengangguk ramah dan menerima surat itu dengan baik.

Delina tidak langsung pergi. Ia duduk di bangku kecil dekat pos, menunggu sekitar sepuluh menit. Dan benar saja, tak lama kemudian, Mbak Rina turun dari gedung, hendak keluar sebentar.

“Eh, Mbak Rina!” seru Delina sambil melambai.

Rina terkejut sesaat lalu tersenyum begitu mengenali Delina. “Eh! Mbaknya temannya Serena ya? Kenapa dia nggak masuk?”

“Sakit. Dari kemarin malam demam tinggi. Ini surat sakitnya, saya titip ya mbak,” jawab Delina sopan.

“Oh, pantesan. Kirain kenapa. Makasih ya udah repot-repot ke sini.”

“Nggak apa-apa, Mbak. Saya sekalian lewat juga kok,” ujar Delina sambil tersenyum.

Mereka berbasa-basi sebentar sebelum akhirnya Rina pamit kembali ke dalam. Setelah itu, Delina kembali melanjutkan perjalanannya ke butik tempat ia bekerja, lega karena urusan Serena setidaknya sudah satu selesai.

Sementara di klinik, Serena masih memeluk selimut, mencoba menenangkan pikirannya yang sejak tadi pagi berkecamuk. Surat sudah dititipkan, kerjaannya aman untuk hari ini… tapi bagaimana dengan pesan-pesan dari Hafiz yang belum ia baca?

Tangannya sempat gemetar saat membuka layar ponsel, tapi belum cukup berani untuk membukanya.

Mungkin nanti sore, setelah pulang ke kontrakan. Atau mungkin… saat ia sudah siap untuk tahu, siap untuk menghadapi.

1
Yuni Ngsih
Duh Author ada orang yg ky gtu pdhal masih klwrga ,hrsnya membimbingnya bkn memarahinya cerita kamu bafu nongol bikin ku marah & kezel Thor ,kmu sih yg bikin ceritra bgs banget jd yg baca kbw emozi ....he....lanjut tetap semangat
Nita: terima kasih kak, udah mampir.
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!