Cinta itu buta, mengaburkan logika dan hati nurani. Itulah yang Andien alami dalam pernikahannya bersama Daniel.
Setelah lima tahun berusaha mengembalikan perusahaan Barmastya ke performa yang lebih baik, pada akhirnya Andien tetap dibuang oleh sang suami begitu cinta pertamanya kembali.
Bukan hanya waku, perasaan, namun juga harta dan pikiran telah Andien curahkan kepada suami dan keluarganya pada akhirnya hanya satu kata yang didapatkannya “Cerai” dan diusir tanpa membawa apapun, terlunta-lunta dijalan dan terhina.
Disaat tengah merenggang nyawa, Andien yang terkapar dipinggir jalan tiba-tiba terselamatkan oleh sebuah keajaiban yang memberinya sebuah system bernama Quen System.
Dengan bantuan system, Andien bangkit. Menjadi sosok wanita sukses, kuat dan kaya raya. Diapun membalas semua perbuatan buruk sang suami dan orang-orang yang menyakitinya satu persatu dimasa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon julieta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEMBALI DIMARAHI
Clarissa yang tak merasa ada yang salah dengan ucapannya, begitupun respon yang diberikan oleh Dipta, membuatnya menyeruput ekpreso ditangannya dengan tenang.
Sementara Rendi dan Silvy yang merasa suhu dalam ruangan turun drastis, tetap diam ditempat , mengerjakan pekerjaaan mereka dengan hati dan pikiran yang rumit.
Melihat Clarissa meletakkan cangkir kopinya diatas meja, Dipta menatap gadis cantik didepannya itu, tepat dikedua mata ambernya yang hangat, dengan rasa penasaran yang dalam. “Beberapa waktu yang lalu, di minimarket yang ada dalam kawasan ruko komersil ini, apakah kamu pernah menyelamatkan seorang anak kecil dari penculikan?”, tanya Dipta memecah keheningan yang sempat tercipta sesaat.
Clarissa mengkerutkan keningnya sambil memiringkan kepala, berusaha mengingat kejadian atas pertanyaan yang Dipta lontarkan.
“Anak kecil? ”, ulangnya hingga tiba-tiba kedua matanya terbelalak “Oh, bocah kecil lelaki berusia sekitar lima tahunan yang pergi bersama pengasuhnya itu ya. Iya, aku ingat. Itu terjadi ketika aku selesai melihat ruko yang baru aku beli kemarin sorenya. Kenapa? Apa kamu kenal dengan bocah lelaki itu? apakah pelakunya telah tertangkap?”, tanya Clarissa bertubi-tubi.
Dipta menggeleng pelan, “Pelakunya belum tertangkap. Anak kecil itu adalah anakku”, ujarnya.
“Belum tertangkap? Bagaimana bisa! Aku sudah memberikan cirri-ciri pelakunya kepada polisi. Masa dengan petunjuk sejelas itu pihak kepolisian tak bisa menangkap pelaku. Setidaknya, jika pihak kepolisian kesulitan, pak Dipta sebagai orang tua korban yang memiliki banyak uang dan pengaruh bisa membantu proses pencarian”, ucap Clarissa penuh cibiran.
Dipta yang lagi-lagi disalahkan dan dimarahi oleh Clarissa wajahnya semakin gelap, rahangnya pun mengeras dengan ekpresi tatapan yang tajam. “Petunjuk apa? Polisi hanya memberi tahu jika pelaku melakukan bunuh diri ketika sedang dalam perjalanan menuju kantor polisi”, ucap Dipta menjelaskan.
“Apa! Pelaku bunuh diri selama perjalanan!”, teriak Clarissa spontan.
Melihat Dipta menggosok telinganya, Clarissa pun merasa tak enak hati, “Maaf, saya reflek berteriak tadi”, ucapnya penuh penyesalan.
Setelah menyodorkan minuman kepada Dipta dan pria itu meminumnya, Clarissa yang merasa ada yang janggal pun kembali bersuara.
“Apa Pak Dipta tidak merasa penasaran dengan kejadian ini. Apa mungkin pihak kepolisian ikut terlibat dalam kasus itu mengingat jika baby sitter anak anda kemungkinan ikut andil dalam kejadian penculikan itu”.
Melihat Clarissa mulai berbicara ngawur dan menuduh orang secara sembarangan, Dipta pun segera menegurnya dengan keras. “Jangan menuduh tanpa bukti”, ucapnya tajam.
Clarissa yang merasa ucapannya mungkin benar segera memberikan penjelasan, “Begini, pada saat saya menghajar para pelaku, dua diantaranya lehernya saya patahkan, dan pada saat itu, saya tak sengaja melihat tanda, jika sekilas mungkin seperti tanda lahir, tapi jika diamati itu merupakan serangkaian kode yang kemungkinan besar sebuah symbol atau tanda organisasi tertentu, dan keempat pelaku memiliki hal itu di lehernya. Hal mencurigakan itu juga sempat saya ungkapkan kepada pihak kepolisian yang meminta keterangan di lokasi kejadian. Dan ketika ambulan datang, begitu baby sitter anak anda hendak masuk kedalamnya, tanpa sengaja rambutnya terkena angin sehingga ada tanda yang sama dengan para pelaku penculikan, terlihat dileher wanita itu. Tapi karena pihak kepolisian sudah pergi, saya pun tak jadi mengutarakan kecurigaanku hingga pertanyaan bapak tadi, kembali mengingatkan saya akan hal itu”.
Apa yang Clarissa ucapkan membuat Dipta dan Rendi tercengang sesaat. Baby sitter Nathan, telah bekerja sangat baik dan tak terlihat mencurigakan, sehingga keduanya ragu akan pernyataan yang gadis itu utarakan.
“Melihat lamanya anak bapak pingsan, saya rasa dia bukan dibius menggunakan saputangan seperti yang selama ini pelaku penculik lakukan karena saya menggeledah kantong para pelaku tak menemukan bukti itu, selain hanya berisi dompet dan ponsel. Jadi, saya menduga jika obat bius diberikan dalam minuman anak bapak, dan orang yang bisa melakukan hal itu ya hanya baby sitternya itu, karena disana tak ada orang lain selain wanita tersebut yang ada didekat anak bapak”
Semakin banyak Clarissa berkata, semakin membuat Dipta terkejut. "Apa aku terlalu ceroboh hingga hal sekecil ini aku lewatkan?", gumannya dalam hati.
Sebenarnya, Dipta juga sudah mendengar analisa dokter yang merawat Nathan, jika obat bius kemungkinan diberikan melalui makanan atau minuman yang Nathan konsumsi dan jumlahnya cukup besar hingga hampir saja merengut nyawanya.
Dipta waktu itu langsung mengecek semua makanan dan minuman Nathan yang tersisa, namun jejak obat bius itu tak terlacak hingga diapun berasumsi mungkin pelaku penculikan yang memberikan minuman atau kue kepada Nathan sebelum bocah itu pingsan sehingga mudah untuk dibawa karena dari cctv minimarket, keempat pelaku sempat terlihat mendekati Nathan, yang tanpa mereka sadari jika hal mereka melupakan satu sosok, bagaimana bisa baby sitter Nathan membiarkan anak yang diasuhnya didekati oleh orang asing, kecuali baby sitter itu mengenal pelaku.
Dipta yang baru saja menyadari pemikiran tersebut menutup kedua matanya sambil mengertakkan giginya, geram akan kelalaiannya hingga hal sepenting itu kembali terlewatkan.
"Bodoh kamu Dipta! sangat bodoh, sehingga petunjuk sejelas itu tak kamu sadari ", runtuknya dalam hati.
Membayangkan anak yang dia jaga dengan sangat hati-hati sejak bayi hampir meninggal karena kelalaiannya, membuat Dipta sangat marah terhadap dirinya sendiri. Jika saja waktu itu Nathan tak tertolong, mungkin dia tak akan berhenti menyalahkan diri sendiri, karena semua ini terjadi akibat kecerobohannya, mempercayai orang yang salah.
Melihat Dipta terdiam, Clarissa yang masih merasa jika sang pengasuh Nathan bermasalah kembali bersuara, “Jika bapak masih ragu dengan apa yang saya lontarkan, bapak bisa mengecek cctv dirumah untuk melihat bagaimana pengasuh anak bapak merawat Nathan”.
Melihat Dipta menatapnya dengan ekpresi rumit, Clarissa langsung memiliki firasat buruk, “Jangan bilang, pak Dipta tak memasang cctv didalam rumah?”, ucap Clarissa dengan kedua mata melotot sempurna, seperti seorang ibu yang marah karena suaminya lalai akan keselamatan anaknya.
Melihat Dipta menggeleng pelan sambil menunduk, Clarissa yang memiliki kesabaran setipis tisupun langsung spontan marah.
“Bapak ini sebenarnya sayang nggak sih sama anak, sama keluarga, kenapa cctv saja tak dipasang. Itu semua demi keselamatan anggota keluarga bapak sendiri.Setelah melihat ada cctv di dalam rumah, orang yang hendak berniat jahat, pasti mereka akan berpikir seribu kali untuk bertindak. Dan juga, bapak bagaimana bisa membiarkan anak yang baru berusia lima tahun pergi seorang diri hanya ditemani oleh baby sitternya saja, tanpa ada bodyguard atau orang yang mengawalnya. Bapak itu sadar tidak, jika posisi bapak itu sangat rawan dijadikan sasaran. Banyak musuh yang akan mentargetkan anggota keluarga bapak karena mereka tak bisa dan tak berani menyentuh bapak. Pak Dipta sadar tidak sih akan hal itu....”, ucap Clarissa sedikit gemas.
Clarissa menatap nyalang Dipta, seolah ingin memakannya hidup-hidup saat ini juga. Semua orang tak menyangka jika gadis yang sejak tadi terlihat tenang akan langsung meledak-ledak seperti ini.
“Memasang cctv didalam rumah itu melanggar privasi”, begitu Dipta kembali membuka mulut, emosi Clarissa semakin menjadi-jadi.
“Melanggar privasi itu, jika cctv dipasang di dalam kamar mandi dan dikamar pak. Ini itu dipasang didalam ruangan yang merupakan area publik”, ucap Clarissa dengan ekpresi geregetan, kedua tangannya mencengkeram pinggiran kursi, seolah ingin menjambak rambut Dipta, membelah kepalanya dan melihat sebesar apa otak pria itu hingga bisa memiliki pemikiran sebodoh itu.
Sementara yang dimarahi hanya bisa menunduk, seperti seorang suami yang takut akan kemurkaan istrinya, membuat Rendi dan Silvi saling bertatapan, “Mereka kok seperti sepasang suami istri yang sedang bertengkar sih”, batin keduanya kompak.
Dipta sendiri juga tak tahu kenapa dirinya menerima begitu saja dimarahi oleh Clarissa, gadis muda yang baru dia kenal dan temui. Entah itu karena perkataannya yang tepat sasaran atau ada hal lainnya, yang jelas Dipta tak bisa membantah setiap kata yang meluncur dengan cepat dari bibir mungil gadis cantik itu.
“Rendi! cepat siapkan bodyguard untuk kakek dan Nathan. Mulai sekarang, awasi gerak-gerik miss Nelli”, perintah Dipta tegas.
Melihat sikap Dipta, Clarissa menyesap kopinya sambil tersenyum puas dengan dagu sedikit terangkat, seperti seorang istri yang lega akan ketegasan yang suaminya keluarkan.
Melihat wajah Clarissa mulai tenang, Diptapun merasa lega dan segera menoleh kepada asisten pribadinya, Rendi dengan sigap mengangguk dan segera menghubungi beberapa orang untuk melakukan tugasnya, sementara Silvy, kedua matanya terus menatap kedua orang yang terlihat seperti pasangan serasi itu dengan penuh binar kekaguman.
“Aku tak menyangka bisa menonton drama romansa secara live seperti ini. Rasanya begitu menyenangkan”, batinnya gembira.
lanjuut