Novi adalah seorang wanita seorang agen mata-mata profesional sekaligus dokter jenius yang sangat ahli pengobatan dan sangat ahli membuat racun.
Meninggal ketika sedang melakukan aktivitas olahraga sambil membaca novel online setelah melakukan misi nya tadi malam. Sayangnya ia malah mati ketika sedang berolahraga.
Tak lama ia terbangun, menjadi seorang wanita bangsawan anak dari jendral di kekaisaran Dongxin, yang dipaksa menikah oleh keluarga nya kepada raja perang Liang Si Wei. Liang sangat membenci keluarga Sun karena merasa mencari dukungan dengan gelar nya sebagai salah satu pangeran sekaligus raja perang yang disayang kaisar.
Tepat setelah menikah, Novi melakukan malam pertama, ia menuliskan surat cerai dan lari. Sayangnya Liang, selalu memburu nya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lily Dekranasda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Liang Jun Yan
Pintu terbuka perlahan. Beberapa pelayan masuk dengan hati-hati, membawa nampan-nampan berisi makanan yang diminta. Aroma tajam acar buah, sup asam pedas yang mengepul, dan irisan jeruk hijau yang disusun rapi segera memenuhi ruangan.
Dengan kepala tertunduk, mereka menata makanan di meja kecil dekat dipan.
“Yang Mulia, ini makanan sesuai permintaan Anda,” ucap salah satu pelayan, lalu mundur dengan cepat.
Liang Si Wei tidak berkata apa-apa, hanya mengangguk pelan sambil melirik makanan itu dengan sorot mata tak terbaca.
“Keluar,” ucapnya kemudian, pelan tapi tegas.
Tanpa menunggu dua kali, para pelayan segera membungkuk dan bergegas keluar dari kamar, menutup pintu di belakang mereka dengan sangat hati-hati.
“Sepertinya kau benar, Yang Mulia sedang...!” ucap Jin pada Chao setelah pintu itu tertutup.
“Khem!! Cepat pergi!” kata Mo Han
Akhirnya mereka pergi kembali ke dapur sambil menundukkan kepalanya.
Begitu kesunyian menguasai ruangan, Liang Si Wei duduk tegak. Matanya tak bisa lepas dari hidangan yang baru saja disajikan. Sorot matanya berbinar, bahkan ia meneguk ludah nya.
Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mengambil sumpit.
Satu potong acar ia angkat, lalu dimasukkan ke mulut. “Hmmm...”
Rasanya asam, manis, sedikit pedas, dan anehnya, sangat memuaskan mulut, tenggorokan dan perutnya. Ia mengunyah perlahan, lalu segera mengambil lagi, dan lagi.
Lalu ia mencicipi sup asam pedas, rasa yang hangat dan menggigit, membangkitkan nafsu makan yang sudah lama lenyap karena kebanyakan mual dan muntah. Tangannya tak berhenti. Sumpitnya terus bergerak, berpindah dari satu mangkuk ke mangkuk lainnya.
Jeruk hijau pun tak luput, ia menggigitnya langsung, rasa asam yang menusuk membuatnya memejamkan mata, namun bukannya berhenti, ia justru menggigit lagi, lebih banyak.
Peluh muncul di keningnya, karena ia makan terlalu cepat. “Kenapa makanan ini enak sekali.” gumamnya pelan.
Tangannya mengambil acar berikutnya. Ia menahan diri untuk tidak meraih semuanya sekaligus. Namun rasanya snagatmustahil.
Ia bahkan tak sadar sudah memakan hampir separuh isi meja.
Tubuhnya bersandar pelan ke kursi, tapi sumpitnya masih di tangan. Napasnya terengah, bukan karena lelah, melainkan rasa puas. Sakit kepala dan mual yang tadi menggempur, entah sejak kapan mulai mereda.
Liang Si Wei menatap mangkuk-mangkuk kosong dan setengah kosong di hadapannya. “Apakah aku yang memakan semua makanan ini? Bukankah sangat tak masuk akal aku memakan makanan asam ini sendirian?”
Dari luar kamar, terdengar suara tegas namun sopan. “Yang Mulia, ini Mo Ci.”
Liang Si Wei yang sedang duduk menatap sisa makanan, menoleh pelan. “Masuk.”
Mo Ci membuka pintu dan melangkah masuk, menundukkan kepala hormat. “Lapor Yang Mulia, kami mendapat kabar dari Desa Huawe. Beberapa waktu lalu desa itu terkena wabah penyakit mematikan...”
Liang mengangguk pelan, “Aku tahu, bukankah istana sudah mengirim beberapa tabib kesana?”
Mo Ci mengangguk, “Benar yang mulia, tapi para tabib tidak bisa mengatasi wabah itu. Bahkan mereka mengisolasi Desa itu. Tapi...”
“Tapi apa?”
“Tapi seluruh warga di sana telah sembuh. Menurut laporan, ada seorang wanita pengembara yang datang ke desa tersebut. Ia membantu menyembuhkan warga dengan ramuan ajaib nya.”
Alis Liang Si Wei terangkat sedikit. “Seorang wanita? Siapa dia?”
Mo Ci menggeleng. “Mereka tidak tahu namanya, karena wanita itu tidak mau menyebutkan identitasnya ketika di tanya warga Desa. Tapi... mereka bilang dia cantik, meskipun mengenakan cadar.”
Liang menatap kosong ke depan, namun pikirannya bergerak cepat. “Apakah mungkin... dia? Bukankah dia juga tahu titik akupuntur? Mungkinkah dia juga menguasai pengobatan?” pikirnya, teringat sosok Sun Yu Yuan, meskipun 1% bisa jadi itu istrinya.
“Lalu?” tanyanya dengan suara rendah.
Mo Ci melanjutkan laporannya. “Kami menunjukkan lukisan nyonya kepada mereka. Tapi... mereka menjawab menggelengkan kepalanya, tapi ada satu diantara mereka menjawab jika mata nya sama dengan di lukisan, tapi wajahnya sepertinya bukan.”
Liang Si Wei menyipitkan mata, jari-jarinya mengetuk perlahan di atas meja. “Bagaimana mereka tahu? Bukankah wanita itu katanya menggunakan cadar?”
Mo Ci tampak sedikit ragu, namun tetap menjawab dengan tenang. “Menurut warga desa, saat wanita itu tengah mengobati seorang anak kecil yang kritis, cadarnya sempat tersingkap sebagian. Hanya sebentar, namun cukup bagi seseorang melihat wajahnya.”
Liang terdiam, matanya masih menatap kosong, namun wajahnya perlahan menegang.
“Mereka bilang, mata wanita itu sangat mirip dengan di lukisan, tapi bentuk wajahnya berbeda, terutama bagian rahangnya.”
Liang menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi, dalam diam yang padat. “Bentuk wajah bisa disamarkan, tapi mata?” pikirnya dalam hati.
“Adakah yang mengikuti jejak wanita itu setelah ia pergi dari desa?” tanyanya pelan namun mengandung tekanan.
Mo Ci menggeleng pelan. “Sayangnya tidak, Yang Mulia. Wanita itu hanya bilang melanjutkan perjalanan,”
“Teruskan penyelidikan,” ucapnya tegas. “Kirim orang ke desa itu, cari siapa saja yang pernah berinteraksi langsung dengannya. Jangan hanya dengarkan kepala desa. Kadang anak kecil atau orang tua justru melihat lebih banyak.”
Mo Ci membungkuk hormat. “Baik, Yang Mulia.”
Namun sebelum Mo Ci berbalik, Liang kembali berbicara, kali ini suaranya lebih lembut, hampir seperti bisikan.
“Jika benar itu dia... pastikan tidak ada satu pun yang menyentuhnya sebelum aku memastikan semuanya dengan mataku sendiri.”
Mo Ci menunduk dalam. “Saya mengerti.”
Tiba-tiba Mo An masuk setelah mengucapkan salam nya, “Yang Mulia, Yang Mulia Kaisar memanggil Pangeran untuk segera menghadap ke istana.”
Liang Si Wei menegakkan tubuhnya, sorot matanya berubah tajam. “Siapkan kudaku.” ucapnya sambil berdiri.
“Segera, Yang Mulia.” Mo An langsung membalikkan badan dan pergi.
Liang Si Wei berdiri di depan cermin perunggu di sisi kamar. Ia merapikan jubahnya, lalu mengambil pedang pendek yang biasa diselipkan di pinggang saat menghadiri pertemuan resmi.
Ia menatap bayangannya sejenak. “Apa yang membuat Ayah memanggil tiba-tiba?” pikirnya.
Sesaat kemudian, Mo An menemui Liang Si Wei, “Yang Mulia, kuda telah siap!”
Liang Si Wei berbalik cepat, langkahnya tegap dan penuh wibawa. “Ayo.”
Ia melangkah keluar kamar, jubah panjangnya berkibar tertiup angin.
Sesampainya di istana, Liang Si Wei turun dari kudanya. Tanpa banyak bicara, ia langsung memasuki aula. Di dalam, Kaisar telah duduk di singgasananya, santai namun tetap berwibawa. Di bawahnya, duduk seorang pria muda yang tak kalah mencolok karismanya, Putra Mahkota Liang Jun Yan, kakak kandung Liang Si Wei.
Liang Si Wei menunduk hormat. “Salam hormat Ayahanda, salam hormat Putra Mahkota.”
“Tidak usah terlalu formal,” ujar sang Kaisar sambil melambaikan tangan. “Hanya kita bertiga di sini.”
Liang Si Wei bangkit dan mengambil duduk di sisi kanan. Ekspresinya datar, seperti biasa. Aura dingin yang mengelilinginya seolah membuat ruangan itu lebih sunyi.
Follow dulu... Komen dulu...😁