Blurb:
Mia meyakini bahwa pernikahan mereka dilandasi karena cinta, bukan sekadar perjodohan. Christopher mencintainya, dan ia pun menyerahkan segalanya demi pria itu.
Namun setelah mereka menikah, sikap Chris telah berubah. Kata-katanya begitu menyakitkan, tangannya meninggalkan luka, dan hatinya... bukan lagi milik Mia.
Christopher membawa orang ketiga ke dalam pernikahan mereka.
Meski terasa hancur, Mia tetap terus bertahan di sisinya. Ia percaya cinta mereka masih bisa diselamatkan.
Tapi, sampai kapan ia harus memperjuangkan seseorang yang terus memilih untuk menghancurkanmu?
Note: Remake dari salah satu karya milik @thatstalkergurl
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Phida Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
"Mia?"
Suara lembut itu menyentaknya dari lamunan. Gadis itu menoleh perlahan dan matanya bertemu dengan sosok lelaki yang berdiri di ambang pintu ruang terapi. Mengenakan jas putih dan syal abu panjang yang masih melingkar di lehernya.
"Aku datang," jawab Mia pelan dan tersenyum tipis.
Di wajah pria itu terlukis senyum hangat yang seperti biasa membuat dinding pertahanan Mia runtuh sedikit demi sedikit.
"Aku pikir kau tidak akan datang hari ini. Udara di luar cukup dingin. Masuklah ke dalam, nanti kau bisa masuk angin," ujar Dr. Choi Jaesuk sambil langkahnya terarah mendekatinya.
Mia menarik napas panjang sebelum akhirnya melangkah masuk.
"Maaf... aku sempat ragu untuk datang ke sini," ucapnya jujur.
Jaesuk tertawa kecil, lalu membuka simpul syal dari lehernya.
"Aku tahu," katanya, kemudian tanpa ragu ia melingkarkan syal itu ke leher Mia dengan gerakan yang lembut. "Tapi kau tetap datang. Dan itu adalah keputusan yang bagus."
Mia terdiam sejenak, lalu menggenggam ujung syal itu dengan erat.
"Terima kasih… kau selalu perhatian padaku."
Keduanya masuk ke dalam ruangan terapi yang hangat dan tenang. Aroma kayu dan wewangian herbal samar memenuhi udara. Di sudut meja kecil, Jaesuk menyodorkan segelas air hangat untuk Mia, lalu mengambil tempat duduk di seberangnya.
Ia mengeluarkan jam pasir kecil dari laci dan meletakkannya di tengah meja, kemudian ia membuka buku catatannya. Sebuah pena sudah berada di tangannya, siap untuk mencatat kata-kata yang mungkin bisa menyelamatkan seseorang yang ada di depannya saat ini.
"Bagaimana kabarmu minggu ini, Mia?" tanyanya dengan tenang namun mengandung empati yang mendalam.
Gadis itu menunduk dan menatap air hangat di tangannya. "...Masih sama," jawabnya lirih.
Jaesuk tidak terburu-buru mencatat. Ia menunggu dan memberi ruang untuk Mia untuk mengatur napas dan pikirannya.
"Apa kau sudah menemukan sesuatu yang membuatmu sedikit lebih bahagia?"
Sebuah senyum tipis yang nyaris tak terlihat muncul di bibir Mia, namun jelas terasa lebih nyata dari senyum mana pun yang pernah ia berikan dalam beberapa bulan terakhir.
"Mereka menyukai lagu yang kutulis pada minggu lalu," katanya pelan.
Mata Jaesuk berbinar. Lalu ia mengangguk pelan dan menampakkan ekspresi bangga tanpa kata-kata yang berlebihan.
"Itu kabar yang bagus. Kau memang sangat berbakat. Lagu bisa menjadi jendela kecil ke dalam isi hatimu dan aku yakin banyak yang bisa melihat keindahan di dalamnya."
Mia menatapnya, lalu menambahkan, "Sebenarnya… aku baru saja menerima proyek dari brand luar negeri. Mereka memintaku mengaransemen musik untuk kampanye promosi mereka."
Wajah Jaesuk terlihat semakin cerah, "Wow… itu pencapaian yang besar. Lihat, Mia… bahkan dalam luka, kau tetap bisa bersinar."
Senyum Mia tumbuh perlahan. Kali ini lebih hangat dan lebih jujur.
"...Aku hanya ingin membuktikan bahwa aku masih bisa berdiri. Meskipun... kadang aku tidak tahu untuk siapa aku berjuang."
Kata-katanya menggantung diudara. Lalu hening sejenak.
Jaesuk menatapnya lembut, lalu bertanya,
"Lalu… sekarang? Untuk siapa kamu menulis semua lagu itu?"
Mia menundukkan kepala, bibirnya bergetar sebelum akhirnya menjawab dalam suara pelan.
"...Untuk diriku sendiri. Dan… mungkin, untuk seseorang yang pernah memberiku senyuman saat dunia ini terasa kosong."
Pria itu mencatat sesuatu di bukunya, kemudian mengangguk perlahan.
"Itu bagus, Mia. Tidak masalah siapa pun tujuannya, selama hal itu membawamu sedikit lebih dekat pada kebahagiaan itu, itu adalah sesuatu yang baik."
Mia tidak menjawab. Ia hanya menatap gelas air hangat yang mulai kehilangan uapnya, dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama… dadanya terasa sedikit lebih ringan.
Dr. Choi Jaesuk mengamatinya dengan tatapan tenang.
“Lalu… bagaimana kabar rumah tanggamu?” tanyanya dengan lembut, “Bagaimana kabar suamimu?”
Cangkir dalam genggaman Mia sedikit bergeser, hampir terjatuh jika saja ia tidak buru-buru memperkuat cengkeramannya. Tatapannya jatuh ke lantai, seolah mencari jawaban yang tidak pernah ada di sana.
Jaesuk menyadari perubahan ekspresi itu. Ia melembutkan nada suaranya. “Mia… kau tahu kau bisa mengatakan apapun padaku. Aku bukan hanya sebagai doktermu, tapi juga temanmu. Kau tidak harus menanggung semuanya sendiri.”
Sejenak hanya ada keheningan. Lalu suara Mia muncul dengan bergetar.
“Dia… meminta cerai…”
Jaesuk sedikit terkejut, namun wajahnya tetap tenang. Ia tidak ingin membuat Mia merasa semakin terpojok. “Oh,” gumamnya pelan.
“Aku tidak tahu harus bagaimana,” lanjut Mia dengan suara yang kini mulai retak oleh tangis yang ditahan. “Aku pikir… aku sudah cukup untuknya. Aku berusaha menjadi istri yang baik… tapi ternyata, tetap belum cukup untuknya.”
Tanpa berkata-kata, Jaesuk mengambil sekotak tisu dari meja dan menyodorkannya kepadanya. Mia menerimanya dengan tangan gemetar, lalu menunduk, menyembunyikan air mata yang mulai jatuh satu per satu.
“Itukah alasanmu mulai enggan datang ke terapi?” tanya Jaesuk perlahan.
Mia menganggukkan kepada dengan lemah. “Aku lelah, Dok. Setiap kali aku mulai merasa sedikit lebih baik... selalu ada hal lain yang menghancurkannya..”
Jaesuk tidak menyela. Ia hanya membiarkan kata-kata itu mengalir dari bibir Mia, menjadi pengakuan yang selama ini terpendam dalam diri Mia.
“Kalau begitu,” katanya akhirnya, “Mari bicara. Kamu tidak perlu merasa terbebani. Biarkan aku yang mendengarkanmu. Apa pun yang kau rasakan, apa pun yang ingin kau ceritakan… keluarkan saja kepadaku.”
Lama Mia terdiam. Tapi perlahan, satu per satu suara dalam dirinya yang selama ini ia tahan mulai keluar. Tentang hari-hari yang ia lewati dalam kesunyian. Tentang rumah yang tidak lagi terasa seperti rumah. Tentang kehangatan yang perlahan menjadi dingin dan asing.
“Dia bilang aku terlalu sensitif,” ucapnya lirih. “Bahwa aku terlalu banyak merasa... terlalu mudah menangis… terlalu sulit bahagia.”
Jaesuk hanya mengangguk pelan, sorot matanya tidak pernah lepas dari wajah Mia.
“Kau tidak salah karena merasa, Mia,” katanya dengan tenang. “Perasaan bukanlah suatu kelemahan. Justru itu yang membuatmu bisa jadi manusia.”
Air mata Mia menetes lagi, kali ini tanpa perlawanan.
“Aku hanya… ingin memperbaiki semuanya. Tapi dia bahkan tidak mau berbicara padaku lagi… Dia pergi begitu saja, seakan semua perjuanganku tidak berarti apa-apa baginya.”
Jaesuk mencondongkan tubuh sedikit ke depan, ia berkata dengan suara seperti selimut yang menenangkan.
“Kau sudah mencobanya. Dan itu lebih dari cukup. Sekarang… biarkan dirimu sendiri menjadi alasan untuk sembuh. Bukan untuk siapa pun. Hanya untukmu sendiri.”
Mia terisak pelan. Tapi kali ini, tangisnya terasa lebih ringan. Seolah kata-kata Jaesuk telah membuka pintu kecil dalam dirinya.
Jam pasir di atas meja telah hampir kehabisan butiran-butirannya. Waktu terus bergulir dalam diam, menyisakan keheningan yang tidak lagi sesak. Suara Mia kini terdengar lebih tenang, dan air mata yang semula deras telah berhenti mengalir. Kini wajahnya tampak sedikit lebih damai, meskipun masih dibalut kelelahan emosional yang tidak sepenuhnya hilang.
Dr. Choi Jaesuk memperhatikan wajah itu dengan seksama. Ada sedikit kehangatan yang muncul di matanya.
“Wajahmu terlihat jauh lebih baik sekarang,” ujarnya pelan namun tulus.
Mia mengangguk kecil, kemudian bibirnya membentuk senyum tipis yang begitu rapuh. “Aku... merasa sedikit lega sekarang,” jawabnya.
Jaesuk berdiri dari kursinya dan berjalan perlahan menuju pintu. Ia membukanya sambil menoleh kembali kepada Mia, kali ini dengan tatapan yang mengandung ketegasan sekaligus kepedulian.
“Mia, mulai sekarang… hiduplah untuk dirimu sendiri. Cari tahu apa yang benar-benar membuatmu bahagia. Jangan habiskan hidupmu demi memenuhi harapan orang lain.”
Mia diam sejenak, lalu mengangguk pelan. “...Baik. Terima kasih, Dokter.”
Langkah Mia meninggalkan ruangan itu begitu tenang, namun punggungnya masih menyisakan kesan rapuh. Jaesuk memandangi kepergiannya tanpa berkata-kata. Hanya gumaman lirih yang lolos dari bibirnya.
“Aku berharap dia benar-benar bisa menemukan kedamaian…”
Ia kembali ke meja kerjanya dan duduk perlahan, lalu menghela napas panjang seakan menghembuskan sisa rasa sesak dari sesi konsultasi barusan. Tangannya meraih ponsel yang berada di atas meja dan menekan satu kontak.
Begitu tersambung, suaranya terdengar lebih berat dari biasanya.
“Hei, ini aku. Kita perlu bicara… Tentang Mia.”
***
Mia tidak langsung pulang kerumah. Kakinya berjalan tanpa arah yang pasti, seolah mengikuti naluri yang bahkan ia sendiri tidak memahaminya. Langit di luar mulai menggelap, namun lampu-lampu mall menyambutnya dengan kehangatan buatan. Ia melangkah masuk, tidak membawa rencana, ia hanya mengikuti jejak langkahnya sendiri.
Ia menelusuri lorong-lorong yang penuh etalase tanpa benar-benar melihatnya. Sampai ia berhenti di depan sebuah toko alat musik. Pandangannya terpaku pada sebuah piano putih elegan yang terpajang di balik kaca besar.
Tangannya terangkat, menyentuh permukaan kaca itu dengan lembut.
“...Indah sekali,” gumamnya lirih, seakan bicara pada dirinya sendiri.
“Apakah kau menyukainya?”
Sebuah suara terdengar dari belakangnya. Mia tertegun. Napasnya tercekat, dan tubuhnya membeku sesaat sebelum perlahan ia menoleh.
Di hadapannya berdiri seorang pria yang pernah menjadi bagian besar dalam hidupnya. Seseorang yang tidak ia sangka akan ia temui hari ini di tempat ini.
Matanya membelalak.
“...Daniel?” bisiknya nyaris tidak percaya.
Senyum kecil mengembang di wajah pria itu.
“Kau terlihat seperti sedang mengenang sesuatu. Maaf kalau aku mengejutkanmu tadi.”
Mia memandangi wajah itu, wajah yang dulu begitu lekat dalam hidupnya. Ada ribuan pertanyaan yang berdesakan di dalam dadanya, namun hanya satu yang lolos dari bibirnya.
“Kenapa kau ada di sini?”
Daniel melangkah lebih dekat. Tatapannya ikut tertuju pada piano putih yang masih terpajang anggun di balik kaca itu.
“Aku kebetulan saja lewat,” ujarnya ringan. “Dan tanpa sengaja melihat seseorang berdiri termenung di depan toko ini. Ternyata itu kamu.”
Ia menoleh ke arah Mia, tatapan matanya teduh. “Kau menyukai piano itu?”
Mia kembali menatap kaca itu, kali ini dengan sorot mata yang menyimpan kerinduan yang terlalu dalam untuk diungkapkan dengan kata-kata.
“...Iya,” jawabnya lirih. “Aku menyukainya. Aku sangat-sangat menyukainya.”
“Kau masih suka bermain piano?”
Pertanyaan itu menghantam sesuatu dalam diri Mia. Ia terdiam cukup lama sebelum akhirnya menggeleng pelan.
“Aku tidak boleh memainkannya lagi…”
Daniel menegakkan tubuhnya, jelas terkejut. “...Tidak boleh? Kenapa?”
Mia masih memandangi piano yang sama, namun pikirannya telah melayang jauh ke masa lalu.
“Dulu... aku menemukannya. Sebuah piano di rumah, tepatnya di ruang belajar milik Christopher.”
“Aku pikir itu hanya ruangan kerja biasa. Waktu itu pintu kamarnya terbuka... aku hanya ingin menutupnya,” lanjut Mia pelan, suaranya mulai goyah. “Tapi aku melihat ada sebuah piano di dalamnya. Sangat indah. Seolah-olah... suara dari tutsnya telah memanggilku.”
Sebuah senyum samar muncul di bibirnya saat mengingat momen itu.
“Aku masuk ke dalam sana dan duduk di depan piano itu. Kemudian jari-jariku menyentuh satu tuts... lalu dan yang lainnya. Aku telah terbawa suasana. Di atas piano itu, ada dua huruf terukir...”
“AL?” potong Daniel cepat.
Mia menoleh sedikit terkejut. “Kau tahu?”
Daniel hanya tersenyum samar tanpa memberi jawaban.
Mia kembali memandang ke depan, lalu senyumnya memudar.
“Tapi aku tidak sadar... bahwa dia sudah pulang. Dan melihatku bermain piano.”
Nada suaranya mulai bergetar, membawa luka yang belum pulih.
“Dia marah kepadaku. Sangat marah. Bahkan aku tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan apa pun.”
Air mata mulai menggenang di pelupuknya.
“Sejak hari itu… piano tidak lagi untukku. Aku tidak boleh menyentuhnya lagi.”
Daniel menatapnya, dan untuk sesaat, sorot matanya tidak mampu menyembunyikan kesedihan yang mendalam.
“Mia... kau kehilangan bagian dari dirimu.”
Mia terkekeh pelan, terlihat getir dan pahit. “Aku bahkan lupa bagaimana rasanya bermain piano. Tapi... saat melihat piano ini...” ia menyentuh kaca dengan lembut. “...rasanya seperti ada bagian kecil dari diriku yang bersuara.”
Daniel mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya. Suaranya terdengar lebih tegas saat ia berbicara.
“Kau tidak seharusnya hidup dalam larangan seperti itu.”
Mia menggeleng lemah. “Aku sudah terbiasa.”
“Terbiasa,” ulang Daniel pelan, “bukan berarti itu benar.”
Mia tidak menjawab. Tapi air matanya mulai mengalir pelan di pipinya, tanpa suara.
Daniel melangkah maju, lalu membuka pintu toko itu dengan perlahan. Dentingan lonceng kecil menyambut mereka.
“Ayo,” ucapnya lembut.
Mia menoleh, bingung.
“...Apa?”
“Ayo. Masuk bersamaku. Ayo mainkan sesuatu. Untuk dirimu sendiri, Mia. Bukan untuk siapa pun.”
Mia tetap berdiri di tempatnya. Tapi suara dalam hatinya... mulai berbisik.
Untuk dirimu sendiri.
.
.
.
.
.
.
.
- 𝐓𝐁𝐂 -
Mia Mia cinta butamu membuat dirimu terluka kamu jg sangat goblok ,, wanita kaya kamu tuh ga bisa move on ga bisa sukses terlalu myek2 kamu ,,so enjoy lah