Warisan darah. Kutukan leluhur. Perburuan yang tak pernah usai.
Di tengah kabut kelam tanah Pasundan, garis batas antara dunia manusia dan dunia gaib mulai menipis. Makhluk-makhluk yang seharusnya tersegel mulai bermunculan kembali, membawa kutukan, kematian, dan kegilaan. Hanya satu nama yang masih ditakuti oleh mereka yang hidup dalam kegelapan: Rengganis Larang.
Sasmita Wibisana, keturunan terakhir dari pemburu siluman, kini memikul beban warisan berdarah keluarganya. Dengan keris pusaka yang haus jiwa dan senjata api yang diberkahi mantra, ia menyusuri lorong-lorong gelap Nusantara untuk memburu entitas yang tak bisa dilawan manusia biasa. Tapi setiap makhluk yang ia bunuh, semakin dekat pula ia pada satu kebenaran yang telah dikubur berabad-abad: sebuah pengkhianatan di dalam garis darahnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hutan Penyegelan
Langkah pertama mereka menyentuh tanah Gunung Gede seperti menjejak dunia lain.
Hutan di sini... bukan sekadar hutan.
Bukan seperti hutan pinus untuk berkemah. Bukan seperti kawasan konservasi yang dipenuhi turis selfie. Ini bukan tempat untuk manusia. Sejak awal, tanah ini menolak mereka. Udara berat seperti dihirup lewat paru-paru yang sobek. Langit menghitam meski baru jam empat sore. Embun menetes dari daun-daun seperti darah kental, bukan air.
Bahkan suara jangkrik pun tak ada. Yang ada hanya... keheningan. Yang terlalu sunyi, sampai terasa seperti bisikan.
Sasmita menuruni lereng curam dengan satu tangan menggenggam MP5, satunya menuntun Kenan. Langkah mereka cepat, tapi penuh kewaspadaan. Jalan setapak sudah menghilang sejak tiga puluh meter dari pintu masuk.
Kini mereka hanya mengikuti bekas tanda di pohon — bekas bakaran lilin, dan sesekali, rajah-rajah aneh yang terukir di batang kayu. Simbol darah. Sasmita tahu... ini bukan buatan manusia. Ini penanda kuno. Penanda untuk siluman.
“Kenan,” gumam Sasmita sambil tetap waspada. “Jaga pikiran. Hutan ini... main di alam bawah sadar. Kalau kau denger suara Ayahmu manggil... abaikan. Kalau kau lihat aku berdarah... abaikan. Kalau kau lihat dirimu... bunuh tanpa ragu.”
Kenan menelan ludah. Nafasnya berat.
“Aku... mulai merinding dari tadi.”
Sasmita menyipitkan mata. “Merinding itu bagus. Berarti rohmu masih ngasih sinyal. Kalau kau mulai tenang... berarti kau udah kalah.”
Tiba-tiba langkah Kenan terhenti.
Sasmita menoleh cepat. “Kenapa?”
Kenan memandang ke semak-semak, tubuhnya gemetar. “Aku... aku lihat sesuatu...”
Dari sela pepohonan, berdiri seorang pria — jubah pendeta putih lusuh, tubuhnya membungkuk. Rambutnya gondrong menutupi wajah. Tangannya kurus, pucat, namun menggenggam rosario tua dari kayu hitam.
“...Ayah...?”
Sasmita langsung menarik MP5-nya dan menodong ke arah sosok itu. Tapi pria itu tidak bergerak. Tidak bicara. Hanya berdiri. Diam. Menatap mereka meski tanpa memperlihatkan mata.
Sasmita bergumam, “Itu bukan ayahmu, Kenan. Jangan terpengaruh.”
Tapi Kenan melangkah maju.
“Tidak... itu dia... itu Ayah... Aku tahu—”
Prakk!!
Sasmita menampar wajah Kenan keras-keras, hingga bocah itu terjatuh ke tanah.
“Bangun! Lo bukan anak kecil lagi. Itu ilusi, Kenan! Hutan ini akan bunuh kita kalau lo ikut permainan mereka!”
Sosok pendeta di semak-semak mengangkat wajahnya.
Matanya kosong. Hitam sepenuhnya. Darah menetes dari mulutnya, tapi saat ia buka bibir, suara yang keluar adalah suara gadis kecil menangis.
“Kenannn... jangan tinggalkan akuuu...”
Lalu wajahnya mencair. Leleh seperti lilin. Kepala runtuh. Tubuhnya mengerut jadi daging busuk. Dan lenyap. Seperti asap.
Kenan terdiam. Air mata turun, tapi ia tidak berani menyeka.
Sasmita berdiri di sampingnya. Menawarkan tangan.
“Kalau lo mau terus hidup... lo harus pilih. Mau jadi korban... atau jadi pewaris penyegel iblis.”
Kenan menggenggam tangan itu. Perlahan bangkit.
“Aku... aku akan lanjut.”
Dan mereka kembali jalan.
Setiap langkah kini seperti dihitung waktu. Tiap daun yang bergoyang bisa jadi ancaman. Kadang... hutan mendadak jadi terlalu sunyi. Kadang sebaliknya — tiba-tiba ada jeritan panjang dari arah tak dikenal. Terkadang kabut muncul dari bawah, menyelimuti kaki mereka seperti tangan-tangan anak kecil yang mencengkeram.
Di satu titik, mereka melewati pohon besar yang tergantung tali putih kotor di cabang-cabangnya. Seperti... tempat gantung diri. Tapi tali itu bergerak.
Pelan-pelan, dari balik daun, kepala-kepala tergantung muncul. Semua tanpa mata. Semua dengan mulut terbuka. Menggantung... tapi tertawa. Pelan. Menggaung. Menggila.
Sasmita tak bicara. Hanya menyusun mantera pelindung di dalam kepala. Ia tahu — melawan makhluk macam ini bukan dengan senjata. Tapi dengan iman.
Namun suara-suara itu menembus.
“…kau terlambat…”
“…anak itu akan gagal…”
“…Manglayang sudah bangkit…”
“…Sasmita… kamu akan mati sendiri, seperti ayahmu…”
Sasmita mendadak berhenti.
Napasnya mendadak tercekat. Bukan karena takut. Tapi karena... ia dengar suara itu.
Suara ayahnya.
“…Nak… pulanglah… jangan jadi seperti aku…”
Matanya panas. Tapi dia menggertakkan gigi. “Kau bukan ayahku. Ayahku... mati sebagai pahlawan. Bukan pengecut hutan ini.”
Lalu... pohon besar itu meledak.
Darah menyembur dari batangnya, dan dari dalam, muncul makhluk menjijikkan — gabungan monyet tanpa bulu dan lintah setinggi dua meter. Mulutnya robek sampai telinga. Tubuhnya penuh luka terbuka. Tangannya memanjang seperti cabang-cabang berduri.
Makhluk itu melompat ke arah mereka.
Sasmita mendorong Kenan ke samping.
“Berlutut dan baca ayat apa pun yang kau ingat!”
Sementara ia mengangkat keris Larang, dan mengayun ke arah makhluk itu.
Tebasan pertama melukai dada makhluk. Tapi bukan darah yang keluar — melainkan ulat hitam, ribuan jumlahnya, menyebar ke tanah.
Makhluk itu tertawa dengan suara seperti perempuan tua yang tercebur sumur.
Sasmita mencabut shotgun.
DOR!
Satu peluru menembus kepala. Ulat-ulat beterbangan. Tapi makhluk itu masih bergerak.
“APAKAH KAU INGIN TAHU SIAPA IBU MU YANG SEBENARNYA?”
Sasmita menggertak.
“GUE UDAH MATI RASA, GOBLOK.”
Ia meloncat, keris Larang berubah jadi ular api dalam genggamannya, dan sekali tusuk — menembus kepala makhluk itu.
SSSKKKKRRRAAAAHHH!!!
Makhluk itu meledak dalam kobaran api merah, dan menyisakan aroma terbakar yang menjijikkan.
Kenan membuka mata. Ia melihat Sasmita berdiri dengan tubuh berlumur lendir hitam, napas tersengal, kerisnya menguap api. Seperti dewi perang.
“...Kita harus lanjut,” kata Sasmita pelan.
Kenan berdiri, masih gemetar.
“Kita... kita hampir mati.”
Sasmita menyeringai sinis. “Itu baru halaman depan.”
Setelah satu jam berjalan lagi, mereka akhirnya mencapai tebing cadas yang menyembunyikan celah kecil — pintu masuk ke altar penyegelan Manglayang. Sebuah ruang gua yang ditutup batu besar dengan tulisan Latin, Arab, dan Aksara Sunda kuno. Disegel. Terkunci oleh mantra darah dan iman.
Namun... segel itu kini retak.
Udara di sekitar mulai mengalir seperti air kotor. Bau amis bercampur dengan anyir daging. Tanah di depan altar mulai berdetak seperti jantung. Kenan menatap retakan itu, tubuhnya mendadak panas.
“Saya... saya merasa segel ini... memanggil saya.”
Sasmita menatapnya. “Itu karena darah lo. Ayah lo yang bikin segel ini. Dan cuma lo yang bisa perbaiki.”
Kenan mendekat. Tangannya gemetar, tapi ia taruh kedua telapak tangannya ke batu segel itu. Bibirnya mulai membaca doa. Mata tertutup.
Dan saat itu...
Suara dari dalam altar berbisik.
“…KENAN… ANAKKU… AKU DI DALAM SINI…”
Kenan mendadak pucat.
“...Itu suara Ayahku...”
Sasmita langsung mencengkeram pundaknya.
“DENGERIN AKU! Itu bukan Ayah lo! Itu Manglayang! Dia udah mulai bisa bicara lewat celah segel! Lawan dia, Kenan!”
Retakan mulai meluas. Tanah berguncang.
Darah menetes dari mata Kenan.
Tapi bocah itu menjerit.
“DALAM NAMA TUHAN YANG MAHAESA!!!”
Dan segel... memendar terang.
Untuk sesaat... langit di luar mengeluarkan cahaya. Tapi... hanya sesaat.
Karena suara dari dalam altar kini mengerang lebih keras.
“AKU AKAN KELUAR… LEBIH CEPAT DARI YANG KALIAN PIKIR… RENGGANIS… AKU MASIH INGAT AYAHMU MEMOHON AMPUN SEBELUM KUBUNUH…”
Sasmita mengangkat keris Larang, menatap segel.
“Lo boleh keluar, Manglayang... Tapi gue bakal nunggu. Dan gue janji... kepala lo bakal jadi lampu tidur gue.”
Dan di balik segel itu... terdengar tawa. Gelap. Panjang. Mengguncang.
Bersambung....