Azam tak pernah menyangka, pernikahan yang ia jalani demi amanah ayahnya akan membawanya pada luka paling dalam. Nayla Azahra—wanita cantik dengan masa lalu kelam—berusaha menjadi istri yang baik, meski hatinya diliputi ketakutan dan penyesalan. Azam mencoba menerima segalanya, hingga satu kebenaran terungkap: Nayla bukan lagi wanita suci.
Rasa hormat dan cinta yang sempat tumbuh berubah menjadi dingin dan hampa. Sementara Nayla, yang tak sanggup menahan tatapan jijik suaminya, memilih pergi. Bukan untuk lari dari kenyataan, melainkan untuk menjemput hidayah di pondok pesantren.
Ini adalah kisah tentang luka, dan pencarian makna taubat. Tentang wanita yang tak lagi ingin dikenal dari masa lalunya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketika dua menjadi tiga
Beberapa hari setelah pernikahan itu, suasana mulai tenang. Namun bukan berarti tanpa tantangan. Azam, sebagai pemimpin rumah tangga yang kini beristri dua, tahu ia harus bersikap bijak dan adil—bukan hanya dalam nafkah, tapi juga dalam membagi waktu dan menjaga hati kedua istrinya.
Siang itu, Azam menggandeng tangan Humairah memasuki rumah Nayla. Rumah yang kini tak lagi hanya menjadi tempat tinggal Nayla, tapi juga rumah bagi kepercayaan dan keikhlasan.
Nayla menyambut mereka dengan tenang. Ia sudah menyiapkan teh dan kue kecil, suasana di ruang tamu itu sehangat biasanya. Hanya saja kali ini, ada seberkas kesadaran bahwa hidup mereka sudah berubah.
Seminggu berlalu setelah pernikahan Azam yang ke dua.
Hari-hari awal setelah pembagian rumah dan jadwal terasa canggung, tapi perlahan mulai menyesuaikan. Rumah yang Nayla siapkan untuk Humairah tak jauh dari rumah mereka, hanya berjarak dua gang, cukup dekat untuk saling menjenguk jika diperlukan, tapi cukup jauh untuk menjaga privasi.
Hari pertama Azam kembali ke rumah Nayla setelah menginap di rumah Humairah, suasananya sedikit berbeda. Nayla menyiapkan makan malam seperti biasa, namun kali ini dengan senyap yang tak bisa ia sembunyikan sepenuhnya.
Azam menatap wajah Nayla saat menyajikan nasi hangat ke piringnya.
"Kalau capek, duduk dulu. Biar aku saja yang ambil sendiri," kata Azam, berusaha mencairkan suasana.
Nayla hanya menggeleng sambil tersenyum tipis.
"Aku masih ingat kamu suka nasi yang agak pera, bukan lembek."
Azam mengangguk. Ada haru dalam matanya.
"Dan kamu masih ingat semua tentangku, meski aku bukan satu-satunya sekarang."
Nayla menatap Azam sejenak, kemudian berkata pelan,
"Bukan tentang jumlah istri,Mas Azam. Tapi tentang bagaimana kamu tetap menjaga hati kami."
Di sisi lain, Humairah juga menghadapi penyesuaian. Meski Azam bersikap lemah lembut, ia kadang masih merasa sungkan memanggil suaminya dengan panggilan manja.
Suatu malam, Humairah memasakkan sup ayam. Saat Azam mencicipi, ekspresinya datar.
"Ini... hambarnya pas, ya," ucap Azam diplomatis.
Humairah buru-buru gugup.
"Maksudnya? Hambar tapi pas?"
Azam tertawa, lalu menambahkan garam sendiri.
"Pas untuk latihan, Humairah. Masakan pertama istri, harus diabadikan."
Mereka pun tertawa. Malu, tapi hangat.
Hari minggu saat Nayla secara tak sengaja melihat Humairah di pasar, sedang belanja.
"Mbak Nayla?" panggil Humairah.
"Belanja juga?" Nayla tersenyum.
Mereka pun berbelanja bersama. Nayla bahkan membantu memilihkan bawang merah yang bagus.
"Kalau yang ini, agak tahan lama Dek... Jangan salah pilih, nanti Mas Azam bisa sakit perut," candanya, dan mereka pun tertawa.
Namun malam tetap menjadi waktu yang paling sunyi. Saat masing-masing istri berada di rumah sendiri, suara detik jam seolah terdengar lebih keras.
Nayla duduk sendirian di ruang tamunya, membaca buku, kadang sambil mengelus perutnya yang kosong. Bukan karena lapar, tapi karena kerinduan akan sesuatu yang belum pernah datang.
Dan Azam, di rumah Humairah, tetap membawa rindu yang utuh. Bukan karena kurang, tapi karena cintanya terbagi bukan untuk dibelah, melainkan untuk dijaga dalam bentuk yang berbeda.
Hari Senin di kampus.
Kampus kini tak hanya sibuk dengan aktivitas akademik, tapi juga ramai bisik-bisik soal Azam. Para mahasiswa saling bertukar kabar, mengaitkan informasi dari mulut ke mulut, dan menambal dengan asumsi liar. Beberapa bahkan mulai menyebarkan isu bahwa dosen favorit mereka ternyata beristri dua.
Di kantin kampus mahasiswa duduk melingkar.
"Eh, kamu tahu nggak? Katanya Pak Azam itu poligami. Istrinya dua," bisik seorang mahasiswi.
"Serius? Yang mana istrinya? Masa iya sih Bu Nayla Bu Dosen itu,di madu...?" sahut yang lain dengan wajah penuh rasa ingin tahu.
"Iya, katanya gara-gara dia nggak bisa punya anak. Makanya rela dimadu. Katanya sih gitu."
Gosip itu merambat cepat, menyusup ke sela-sela diskusi kelas, ruang dosen, bahkan sampai ke telinga mahasiswa yang baru masuk semester awal. Meski tidak semua mempercayainya, tapi nama Nayla mulai diperbincangkan—bukan karena prestasinya sebagai dosen muda cumlaude, tapi karena status pribadinya.
Nayla mendengarnya pertama kali dari Siska, salah satu rekan dosen junior.
"Buk Nay, maaf, aku nggak tahu harus bilang atau nggak... Tapi gosip itu udah makin ke mana-mana. Bahkan ada mahasiswa yang nanya langsung ke aku soal kamu dan Pak Azam," ujar Siska, ragu.
Nayla hanya terdiam. Matanya menerawang. Bibirnya tersenyum tipis tapi getir.
"Aku sudah biasa jadi bahan omongan. Tapi... yang membuatku sedih, bukan karena status itu, melainkan karena alasan di baliknya diseret-seret tanpa empati," jawab Nayla tenang.
Malam harinya, Nayla menangis dalam sunyi. Bukan karena malu, tapi karena luka lama yang digali paksa oleh mulut-mulut tak bertanggung jawab. Tentang rahimnya, tentang masa lalunya, tentang perjuangan yang tak dipahami.
Azam yang melihat mata sembab istrinya, langsung duduk di samping Nayla.
"Apa yang mereka katakan?" tanya Azam, meski ia sebenarnya tahu.
Nayla menunduk.
"Mereka bilang, aku perempuan yang tak utuh. Yang terlalu pasrah sampai rela berbagi suami karena tak bisa memberi keturunan..."
Azam mengepal tangannya. Ada amarah yang tertahan.
"Biarkan aku yang bicara di depan mereka. Aku akan klarifikasi semuanya."
Nayla memegang tangan Azam, lembut.
"Jangan. Aku tidak mau kamu menurunkan harga dirimu untuk meladeni kebisingan mereka. Cukuplah aku yang tahu betapa besar cintamu Itu untukku. Itu saja sudah cukup Mas."
Namun air matanya tetap menetes. Karena sekuat apa pun hati seorang istri, tetap saja ia manusia. Yang punya luka. Yang ingin dimengerti. Bukan dikasihani, tapi dihargai.
Kamis pagi, ruang rapat senat fakultas penuh. Dekan, para dosen senior, dan perwakilan dari bagian kemahasiswaan duduk berjejer. Sorot mata mereka serius. Di ujung meja, duduk Azam dan Nayla, diminta hadir untuk dimintai klarifikasi.
Karena Kini Nayla telah menjadi bagian dari Kampus tempat Azam mengajar. Karena tiga bulan sebelum Azam poligami, Nayla sebagai Alumni terbaik diminta oleh Dekannya langsung untuk membantu mengisi Ilmu tasauf.
Dan kini Ketua Senat membuka pembicaraan dengan nada hati-hati.
"Pak Azam, Bu Nayla, kami memanggil kalian bukan karena meragukan integritas, tapi karena situasi di kampus semakin tak kondusif. Gosip yang menyebar sudah melewati batas privasi dan memengaruhi nama baik institusi."
Nayla duduk tenang, walau jantungnya berdebar. Azam menatap lurus ke depan, lalu membuka suara.
"Saya paham, Pak. Saya tahu banyak mahasiswa dan bahkan sebagian staf membicarakan pernikahan saya. Saya ingin menegaskan bahwa apa yang terjadi dalam rumah tangga saya—adalah urusan pribadi, namun tidak pernah mengganggu kinerja atau etika profesional saya maupun istri saya sebagai dosen."
Seorang dosen senior angkat tangan.
"Tapi, gosip yang berkembang menyudutkan istri Anda, Pak Azam. Terutama soal isu ketidakmampuan punya anak—dan kenapa Anda menikah lagi. Ini berbahaya, terutama untuk Bu Nayla. Apakah tidak sebaiknya klarifikasi diberikan secara terbuka?"
Nayla menghela napas, lalu bicara dengan suara tenang namun penuh wibawa.
"Saya tidak meminta dimengerti. Tapi saya memohon agar institusi ini tidak menilai kinerja dosen dari kondisi pribadinya. Saya tidak malu dengan takdir saya. Tapi menyebarkan isu pribadi tanpa konfirmasi adalah bentuk kekerasan sosial. Saya tetap mengajar dengan tanggung jawab. Saya tetap hadir sebagai pendidik, bukan objek spekulasi."
Ruang rapat hening. Beberapa dosen tampak mengangguk setuju.
Akhirnya, Dekan memutuskan dengan tegas:
"Kami akan membuat edaran resmi untuk mengingatkan seluruh civitas akademika agar menjaga etika bermedia sosial dan tidak ikut menyebarkan informasi pribadi. Dan kami juga akan menindak tegas siapa pun yang terbukti menyebarkan hoaks atau melakukan perundungan, termasuk mahasiswa."
Sore itu, sebuah surat edaran resmi kampus dipajang di papan pengumuman dan disebar melalui grup daring. Isinya menegaskan bahwa privasi dosen dan seluruh warga kampus harus dijaga. Gosip tidak akan ditoleransi. Pelanggaran akan berujung pada sanksi disipliner.
Nayla berjalan melewati koridor dengan tenang. Meski sorotan mata masih terasa, tapi kini ada tameng perlindungan. Bukan dari statusnya, tapi dari keberaniannya melawan stigma dengan elegan.
aku juga 15th blm mendapatkan keturunan