Aluna gadis yatim piatu berusia 21 tahun, menjalani hidupnya dengan damai sebagai karyawan toko buku. Namun hidupnya berubah setelah suatu malam saat hujan deras, ia tanpa sengaja menyaksikan sesuatu yang tidak seharusnya. Di sebuah gang kecil ia melihat sosok pria berpakaian serba hitam bernama Darren seorang CEO berusia 35 tahun yang telah melenyapkan seorang pengkhianat. Bukannya melenyapkan Aluna yang menjadi saksi kekejiannya, Darren justru membiarkannya hidup bahkan mengantarnya pulang.
Tatapan penuh ketakutan Aluna dibalik mata polos yang jernih menyalakan api obsesi dalam diri Darren, baginya sejak malam itu Aluna adalah miliknya. Tak ada yang boleh menyentuh dan menyakitinya. Darren tak ragu melenyapkan semua yang pernah menyakiti Aluna, entah itu saat sekarang ataupun dari masa lalunya.
Ketika Aluna perlahan menyadari siapa Darren, akankah ia lari atau terjatuh dalam pesona gelap Darren ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mantan Perawat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab.8
© Kamar Kos Aluna: Pagi yang Penuh Pertanyaan ©
Jam di meja kecil Aluna berdenting pelan, menunjukkan pukul lima pagi. Langit di luar masih gelap, tetapi suasana mulai sedikit lebih hidup dengan suara kendaraan yang melintas di kejauhan.
Aluna mengerjap pelan, mengusap matanya yang masih mengantuk. Tidurnya tadi nyenyak, mungkin karena Reta tidur bersamanya, membuatnya merasa lebih aman. Namun, perasaan gelisah masih menyelimuti hatinya.
Perlahan, ia turun dari ranjang agar tidak membangunkan Reta yang masih tertidur pulas. Baru saja ia hendak berbalik menuju kamar mandi, matanya menangkap sesuatu di atas meja kecil di sudut kamar.
Kotak hadiah itu masih dia simpan di sana.
Kotak berwarna hitam dengan pita merah elegan. Dan tulisan di kartu...
"Happy Birthday, My Baby Chubby,Aluna."
Aluna menggigit bibirnya, menahan debaran aneh di dadanya. Siapa yang mengirim ini? Mengapa orang itu memanggilnya seperti itu? Kenapa rasanya seperti ada seseorang yang selalu mengawasi?
Tapi ia tak ingin memikirkan lebih jauh. Dengan langkah ringan, ia segera keluar dari kamar menuju kamar mandi.
© Kamar Mandi Kos: Pantulan di Cermin ©
Di depan cermin kecil yang menggantung di dinding, Aluna membasuh wajahnya dengan air dingin. Ia memandang refleksi dirinya,mata bulat yang sedikit sembab karena kurang tidur akibat nonton drakor bersama Reta semalam, pipi chubby yang masih merah merona, dan ekspresi kebingungan yang tak bisa ia hilangkan.
Pikirannya kembali ke malam itu.Sosok pria bertopeng yang menyeret seseorang ke dalam gelap. Darah yang tercecer di tanah. Dan yang paling membuatnya ketakutan... pria itu tidak membunuhnya.
Sebaliknya, ia justru menggendongnya dan membawanya pulang. Bahkan, sebelum menghilang dalam bayangan malam, pria itu mengecup pipinya.
Aluna menelan ludah, merinding saat mengingatnya."Kenapa dia melakukan itu...?" gumamnya pelan.
Segera, ia menggelengkan kepala dan menampar pipinya sendiri dengan pelan. Ia tidak boleh memikirkan ini terlalu dalam. Yang paling penting adalah tetap diam. Tidak mengatakan apa pun pada siapa pun.
"Semoga dia melupakanku...,aku akan selamat selama aku tak mengatakan apapun," doa Aluna dalam hati.
© Dapur Kos: Reta yang Jahil ©
Ketika Aluna keluar dari kamar mandi dan berjalan menuju dapur, ia terkejut karena Reta sudah lebih dulu di sana. Wajahnya masih setengah mengantuk tetapi senyum jahilnya sudah muncul.
"Selamat pagi, Baby Chubby," goda Reta tiba-tiba.
Aluna langsung berhenti di tempat, napasnya tercekat."K-kak... jangan panggil aku begitu..." ucapnya lemah, tangannya refleks mengusap pipinya sendiri.
Reta tertawa kecil sambil menaik turunkan kedua alisnya dengan cepat. "Kenapa? Bukannya seru punya penggemar rahasia? Dia bahkan kasih kamu hadiah, loh! Coba aku punya stalker sekaya itu..."
Aluna mengelus dadanya. "Bukan itu masalahnya... panggilan itu... aku nggak suka, kak... rasanya menakutkan..."
Reta menaikkan alisnya, lalu tersenyum jahil lagi. "Takut? Ayolah, Luna, ini tuh romantis! Udah lama nggak ada yang naksir kamu, kan?"
"Kak Reta!" protes Aluna, wajahnya memerah karena malu sekaligus kesal.
Melihat ekspresi Aluna, Reta tertawa dan mengedipkan sebelah matanya. "Baiklah, baiklah. Aku nggak akan panggil kamu begitu lagi..."
Aluna menghela napas lega. "Kak Reta mandi sana. Aku masak sarapan buat kita."
Reta mengangkat tangan, menyerah. "Oke, oke. Aku pasrah jadi anak baik pagi ini."
Sementara Reta menuju kamar mandi, Aluna mulai menyiapkan sarapan. Namun, jauh di dalam hatinya, pertanyaan tentang siapa yang memanggilnya "Baby Chubby" terus menghantuinya.
© Rumah Yasmin: Ketakutan yang Belum Usai ©
Sementara itu, di rumah Yasmin, suasana masih tegang. Tidak ada satu pun dari mereka yang tidur sejak malam tadi.
Di dalam kamar orang tuanya, Yasmin duduk di kursi dengan wajah keras kepala, sementara ayah dan ibunya tampak lelah dan frustrasi.
Ibu Yasmin memandang putrinya dengan tatapan penuh harap. "Yasmin... kumohon, nak. Minta maaflah pada orang yang sudah kamu sakiti. Ini sudah keterlaluan..."
Ayah Yasmin ikut menambahkan, suaranya tegas. "Dan kalau memang yang kamu sakiti itu ada hubungannya dengan Aluna, berhentilah mengganggunya."
Yasmin langsung mendelik. "Kenapa Ayah dan Ibu justru membela dia?! Aluna itu cuma gadis lugu dan cengeng! Apa hebatnya dia?!"
BRAK..!
Ayah Yasmin menghantam meja dengan kepalan tangannya. "Sadarlah, Yasmin! Ini bukan sekedar ancaman biasa! Orang yang meneror kita bukan orang sembarangan! Kamu sudah mengusik seseorang yang sangat berbahaya!"
Ibu Yasmin menggenggam tangan suaminya, berusaha menenangkan. Ia menatap Yasmin, matanya berkaca-kaca. "Kamu pikir Aluna itu sendiri di dunia ini? Bagaimana kalau ada seseorang di luar sana yang diam-diam memperhatikan dan menjaganya selama ini?"
Yasmin menggigit bibirnya. Dalam hatinya, ia tahu semua ini pasti berhubungan dengan Aluna. Tapi rasa iri dan benci membuatnya sulit menerima kenyataan.
Ayah Yasmin menatap Yasmin tajam. "Salah satu dari pria bertopeng itu bilang... mungkin besok yang aku akan kubur bukan hanya bangkai kucing."
Suasana kamar menjadi mencekam.
Yasmin membelalak, ketakutan mulai menjalari tubuhnya.
"Kalau mereka bilang begitu..." lanjut ayahnya dengan suara dingin,"berarti salah satu dari kita yang akan mereka bunuh. Dan kemungkinan besar, itu kamu, Yasmin."
Yasmin menelan ludah. Ia ketakutan... tapi dalam hatinya, ada sesuatu yang lebih besar dari rasa takut itu.
Dendam..!!
Jika dia memang akan jadi sasaran... dia harus lebih dulu mencelakai Aluna.Dan dengan niat baru nya itu,Yasmin masuk ke
kamarnya,berbaring di kasur empuk dan ingin tidur walau hanya beberapa menit karena semalaman dia tak tidur.
© Markas Darren:Permainan Baru Dimulai ©
Di sebuah ruangan gelap di markasnya, Darren duduk santai di sofa, tertawa kecil sambil menonton layar besar di depannya.
Rekaman CCTV yang mereka pasang di rumah Yasmin menampilkan wajah-wajah ketakutan keluarga itu.
Hernan menyeringai. "Jadi, bos... apa rencana selanjutnya?"
Darren tersenyum kecil, jemarinya mengetuk meja dengan irama pelan. "Aku ingin menemui gadis kecilku secara langsung."
Arga mengernyit. "Bukannya itu berbahaya? Bagaimana kalau dia mengenali bos?"
Sebuah hantaman kecil mendarat di kepala Arga. Hernan menertawakan temannya. "Bodoh. Dia nggak mungkin mengenali bos. Waktu itu kita pakai topeng, ingat?"
Arga mengusap kepalanya, lalu ikut tertawa kecil. "Benar juga..."
Darren berdiri, merapikan jasnya. "Aku ada meeting dengan klien pagi ini. Hernan, Arga, kalian tahu apa yang harus dilakukan."
Hernan tersenyum licik. "Tentu, bos. Kami akan mengawasi nona Aluna."
Darren mengangguk. "Laporkan setiap gerakannya padaku."
Mereka tahu, ini baru permulaan.
Dan Darren tak akan berhenti sampai Baby Chubby nya benar-benar menjadi miliknya.
© Di Dalam Mobil Darren: Rencana yang Sudah Tersusun©
Darren menambah kecepatan mobilnya, melesat di antara kendaraan lain dengan mulus. Ia duduk santai di balik kemudi, satu tangan memegang setir, sementara tangan lainnya menopang dagu. Matanya menatap lurus ke depan, tetapi pikirannya sudah berputar, menyusun cara untuk menemui gadis kecilnya.
"Baby Chubby ku..." gumamnya pelan, nyaris terdengar seperti bisikan yang penuh obsesi.
Aluna harus tetap aman. Tak ada seorang pun yang boleh melukainya. Dan jika ada yang berani mencoba,Darren menyeringai kecil,ia akan memastikan mereka berakhir dengan cara yang mengerikan.
Pikirannya melayang pada Yasmin. Gadis sombong itu benar-benar membawa dirinya sendiri ke jurang maut. Darren hampir berharap Yasmin mencoba sesuatu terhadap Aluna. Itu akan menjadi alasan sempurna untuk menghabisinya.
Darren menyentuh ponselnya dan menghubungi Hernan.
"Bos?" Hernan menjawab cepat.
"Pastikan Aluna baik-baik saja. Laporkan setiap pergerakannya padaku."
"Dimengerti, bos," jawab Hernan dengan nada penuh semangat. "Kami sudah dalam perjalanan."
Darren tersenyum puas. Matanya menyala dengan gairah yang gelap. Permainan ini semakin menarik.
© Kos Aluna: Pagi yang Tenang (Untuk Sementara : Usai Sarapan)
Aluna menarik napas dalam-dalam di depan cermin. Ia mengenakan blus putih sederhana dengan rok selutut berwarna cokelat muda. Rambutnya diikat rendah, beberapa helai jatuh di sisi wajahnya, membuatnya terlihat semakin manis.
"Baiklah, Aluna. Tenang. Ceria. Seperti biasa."
Ia mengangguk pada bayangannya sendiri. Pikirannya masih dihantui oleh kejadian malam itu, tetapi ia harus berpura-pura semuanya baik-baik saja.
Saat ia membuka pintu, Reta sudah berdiri di depan kamarnya, menguap lebar sambil membawa laptopnya.
"Kak Reta nggak berangkat kerja?" tanya Aluna heran.
"Pagi ini libur. Shiftku mulai siang," jawab Reta sambil meregangkan tubuhnya.
Aluna mengangguk. "Oh, kalau gitu Kak Reta bisa istirahat dulu."
"Ya, ya. Ngomong-ngomong..." Reta nyengir jahil. "Kamu yakin nggak mau tahu siapa penggemar rahasiamu itu?"
Aluna langsung merinding. "Kak, jangan ngomong kayak gitu..."
Reta tertawa pelan. "Oke, oke. Aku nggak akan ganggu kamu lagi. Tapi jujur aja, kalau dia seganteng aktor drama Korea, kamu bakal nolak?"
"KAK RETA!"
Reta tertawa puas lalu melambaikan tangan. "Pergilah kerja, Baby Chubby!"
Aluna menggigit bibirnya. Jantungnya berdegup lebih cepat. Panggilan itu... tidak boleh diucapkan sembarangan.
© Rumah Yasmin: Ketegangan yang Belum Berakhir©
BRAK..!!
Pintu kamar Yasmin digedor dengan keras. Suara ayahnya terdengar dari luar, penuh kemarahan.
"Yasmin! Bangun! Apa kau pikir ini waktu yang tepat untuk tidur?! Apa kau bahkan sudah menyiapkan sarapan?! Aku tidak percaya kau bisa tidur setelah apa yang terjadi semalam!"
Yasmin mendesah kesal. Dengan malas, ia bangkit dan membuka pintu. Tatapannya datar."Aku nggak lapar. Kalau Ayah dan Ibu mau sarapan, pesan saja," katanya dingin.
"Apa kau tidak mendengar apa yang kubilang?!" bentak ayahnya. "Apa kau pikir ini main-main?! Aku sudah cukup dengan sikap keras kepalamu! Kau harus meminta maaf!"
Yasmin mendelik tajam. "Kenapa aku harus minta maaf?! Ini semua gara-gara Aluna! Kenapa Ayah malah membelanya?!"
"Apa kau ingin mati, Yasmin?!" suara ayahnya semakin keras.
Yasmin menggertakkan giginya. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia menutup pintu dengan kasar dan menguncinya.
Ia berdiri di belakang pintu, tubuhnya menegang. Napasnya tersengal."Kalau aku yang akan jadi sasaran..." bisiknya pelan. "Aku akan pastikan Aluna lebih dulu celaka."
© Hernan & Arga: Siap Mengawasi ©
Mobil hitam melaju santai di jalanan kota. Hernan duduk di kursi pengemudi, sementara Arga di sebelahnya, bersandar dengan ekspresi santai.
"Kita nggak bisa ikut campur terlalu banyak kali ini," kata Hernan sambil memutar kemudi.
Arga menghela napas, terlihat kecewa. "Yah, padahal aku sudah berharap bisa mengusir satu dua orang yang mengganggu nona Baby Chubby kita."
Hernan tertawa kecil. "Sabar. Kalau ada yang nekat, bos pasti kasih izin buat kita main sedikit."
Arga mengusap dagunya. "Menurutmu, Yasmin bakal buat masalah lagi?"
"Sepertinya begitu," jawab Hernan. "Dan kalau dia cukup bodoh untuk mencoba menyakiti nona Aluna, kita tahu apa yang harus dilakukan."
Arga menyeringai. "Aku suka permainan ini."
Mobil mereka melaju menuju toko buku tempat Aluna bekerja. Mereka sudah siap untuk mengawasi setiap gerakan gadis kecil itu.Karena bagi mereka, Aluna bukan hanya target.Dia milik Darren,dan tak ada seorang pun yang boleh menyentuhnya.