Indira mengagumi Revan bukan hanya karena cinta, tetapi karena kehormatannya. Revan, yang kini memeluk Kristen setelah melewati krisis identitas agama, memperlakukan Indira dengan kehangatan yang tak pernah melampaui batas—ia tahu persis di mana laki-laki tidak boleh menyentuh wanita.
Namun, kelembutan itu justru menusuk hati Indira.
"Untukku, 'agamamu adalah agamamu.' Aku tidak akan mengambilmu dari Tuhan-mu," ujar Revan suatu malam, yang di mata Indira adalah kasih yang dewasa dan ironis. Lalu ia berbisik, seolah mengukir takdir mereka: "Untukmu agamamu, dan untukku agamaku."
Kalimat itu, yang diambil dari Kitab Suci milik Indira sendiri, adalah janji suci sekaligus belati. Cinta mereka berdiri tegak di atas dua pilar keyakinan yang berbeda. Revan telah menemukan kedamaiannya, tetapi Indira justru terombang-ambing, dihadapkan pada i
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon blcak areng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kontras di Gerbang Kampus
Sore itu, aku berusaha keras mempertahankan ketenangan. Meskipun panggilan terakhir Revan masih terngiang, aku harus fokus pada kehidupan baruku: Taaruf yang dingin dengan Gus Ammar Fikri.
Aku, Neli, dan Imel berjalan keluar dari gerbang kampus setelah mata kuliah terakhir. Aku sudah berjanji pada Ayah untuk tidak naik transportasi umum lagi, agar Ayah bisa memantau keselamatanku. Aku menunggu di pos keamanan, sementara Neli dan Imel mengomel tentang dosen yang menyebalkan.
"Ra, aku masih enggak percaya, kamu benar-benar dilamar seorang Gus," kata Neli, menggeleng. "Dia itu kayak cowok di drama-drama islami yang ending-nya bahagia. Pasti romantis banget, kan?"
"Kami yakin, dia cuma dingin karena dia CEO perusahaan besar," timpal Imel,
menggebu-gebu. "Pria sukses memang fokus pada pekerjaan. Coba nanti kamu ajak dia bicara filsafat, pasti dia luluh."
Aku hanya tersenyum hambar. Aku tahu kebenarannya: Ammar bukan romantis, dia profesional yang mencari waktu.
Tiba-tiba, sebuah mobil hitam mewah, Mercedes-Benz E-Class terbaru, melaju pelan dan berhenti tepat di depan gerbang. Mobil itu tampak sangat mahal dan mencolok di antara kerumunan mahasiswa.
Jendela mobil terbuka. Di kursi pengemudi, tampak Gus Ammar Fikri. Ia mengenakan kemeja biru muda yang disetrika sempurna, jam tangan chronograph mahal melingkari pergelangan tangannya, dan meskipun tidak tersenyum, auranya memancarkan kekuasaan dan kemapanan.
Aku terkejut. "Ammar? Kenapa dia di sini?"
Aku tidak menyangka dia akan menjemput ku. Taaruf kami seharusnya "santai" dan "lama".
Ammar Fikri tidak turun dari mobil. Ia hanya menatapku dengan tatapan dinginnya, lalu berbicara dengan nada datar dan tanpa basa-basi.
"Assalamu'alaikum, Saudari Indira. Saya ada waktu sepuluh menit sebelum pertemuan investor. Saya ingin kita membahas rencana taaruf minggu depan. Saya tidak suka membuang waktu. Masuk."
Aku benar-benar shock. Bahkan Ayahku yang keras pun tidak pernah menyuruhku masuk dengan nada perintah secepat itu.
"Wa'alaikumussalam, Gus," balasku gugup. "Aku... aku tidak tahu kalau Anda akan menjemput ku."
"Saya tahu. Tapi Ayah Anda meminta saya untuk memastikan Anda pulang dengan aman. Dan saya tidak suka mendelegasikan tugas penting. Silakan, Saudari Indira. Waktu terus berjalan," katanya, melirik jam tangannya.
Neli dan Imel, yang sedari tadi terperangah, langsung tersadar.
"Ya ampun, Ra! Dia CEO banget!" bisik Neli, menatap mobil mewah Ammar dengan takjub.
"Dinginnya kayak kulkas, tapi tam-pan banget, Ra! Dan mobilnya!" Imel hampir histeris. "Dia memang pria idaman, Ra. Profesional dan mapan!"
"Aku duluan ya, Guys," kataku pelan, meraih tas.
"Semangat, Ra! Semoga dia cepat cair!" seru Neli.
Aku berjalan menuju mobil Ammar, merasa seperti memasuki kandang singa berbalut sutra.
Revan di Balik Pohon
Tepat saat aku membuka pintu mobil Ammar, di seberang jalan, tersembunyi di balik pohon rindang, Revan Elias Nugraha berdiri mematung.
Setelah panggilan terakhir tadi, Revan memutuskan datang ke kampus. Ia tidak berniat menghubungi Indira, ia hanya ingin melihat dari jauh, memastikan Indira baik-baik saja dan siap menghadapi hidup barunya.
Namun, yang ia lihat jauh lebih menyakitkan: ia melihat Indira dijemput oleh seorang pria yang jelas-jelas lebih mapan darinya. Pria itu tampan, berwibawa, dan mobilnya memancarkan kekayaan yang bahkan melampaui standar keluarga konglomerat Ibunya.
Revan melihat Ammar berbicara dengan dingin, melihat Indira tampak tertekan, dan kemudian melihat Indira masuk ke mobil itu.
Melihat Gus Ammar Fikri secara langsung, Revan mengepalkan tangan sekuat tenaga hingga buku-buku jarinya memutih. Ammar adalah segala yang ia tidak bisa berikan pada Indira: kepastian agama, kepastian restu, dan kepastian finansial yang luar biasa.
Revan tidak hanya kehilangan Indira, ia juga kalah telak dari seorang pesaing yang tidak bisa ia lawan, karena perbedaan mereka berada di bawah Garis Batas Keyakinan yang mutlak.
Dialog Singkat dalam Mobil.
Aku duduk di kursi penumpang, mobil Ammar melaju tanpa suara. Keheningan terasa sangat berat.
"Maaf, Gus. Saya minta maaf karena membuat Anda menunggu," kataku, memecah keheningan.
"Tidak masalah. Waktu saya terstruktur dengan baik," jawab Ammar, fokus mengemudi.
"Minggu depan, saya ingin kita melakukan taaruf yang sebenarnya. Bukan di rumah, tapi di luar. Saya ingin melihat Anda berinteraksi dengan dunia luar. Saya akan menjemput Anda setiap Selasa dan Jumat sore. Jangan membuat janji lain."
"Setiap Selasa dan Jumat?" tanyaku, terkejut. "Saya kira taaruf kita akan 'lama' dan 'santai'."
Ammar menoleh sekilas, tatapannya dingin. "Lama bukan berarti pasif, Saudari Indira. Saya perlu mengukur seberapa cepat Anda bisa move on dari masa lalu Anda. Saya perlu tahu apakah Anda akan menjadi istri yang stabil, ataukah Anda akan terus menjadi variable emosional."
"Saya bukan variable, Gus. Saya manusia," kataku, sedikit memberanikan diri.
"Semua manusia adalah variable, Saudari Indira. Tugas saya adalah mengendalikan variable agar tidak mengganggu operasional. Anda mengerti?" Ammar sama sekali tidak terpengaruh. "Kita akan ke toko buku dulu. Saya ingin melihat referensi bacaan Anda. Ayah Anda bilang Anda menyukai filsafat. Saya ingin tahu filsafat seperti apa yang Anda yakini setelah insiden lalu."
Aku terdiam. Ammar Fikri tidak tertarik pada perasaanku. Dia tertarik pada data dan risiko. Aku baru saja keluar dari cinta yang hangat dan kini terjebak dalam kontrak emosional yang dingin, dipimpin oleh seorang CEO yang melihat hidup sebagai proyek yang harus dijalankan dengan efisien.
Aku melihat bayangan mobil kami di kaca spion dan merasa seperti melihat diriku yang lama—diriku yang mencintai Revan—semakin menjauh.