Mengkisahkan Miko yang terjebak lingkaran setan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Romi Bangun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KALAH
Jalan raya sore ini tidak benar-benar sepi, tapi bagiku dunia terasa seperti hanya punya satu suara. Yakni suaraku sendiri. Bising, bergaung, saling bertabrakan dalam kepala, lebih ribut daripada deru knalpot dan klakson yang bersahut-sahutan di sekitar trotoar.
Orang-orang berjalan tergesa dengan tujuan yang jelas. Ada yang pulang, ada yang mengejar waktu lembur, sebagian lain mungkin sedang jatuh cinta dan ingin cepat bertemu. Sedangkan aku… aku bahkan tidak yakin sedang menuju pulang, atau justru kabur dari rumah yang pernah kusebut hidup.
Namaku Miko. Dulu aku punya rencana, masa depan, orang-orang yang menunggu keberhasilanku. Sekarang aku hanya ditemani satu kata yang menghantui seperti bayangan paling setia... andai.
Andai aku tidak membuka situs itu.
Andai aku berhenti sebelum terlambat.
Andai aku tidak begitu bodoh mempercayai keberuntungan.
Kata “andai” itu seperti pintu yang tak pernah kubuka tuntas, tapi juga tak pernah tertutup rapat. Di sana berdiri semua versi diriku yang gagal. Yang dulu ingin membahagiakan orang tua, yang berharap bisa membeli barang impian, yang ingin menabung untuk masa depan.
Kini hanya tersisa satu versi yang nyata, yang berjalan menyusuri trotoar Cikarang sambil menggenggam penyesalan seperti batu yang tak bisa dilepas.
Tiga bulan lagi kontrakku habis. Dua tahun hidup di kota industri, dan tak ada yang bisa kutunjukkan selain gaji yang hilang seperti asap rokok yang kubakar setiap malam. Tidak ada tabungan, tidak ada pencapaian. Hanya notifikasi tagihan dan pesan ancaman yang kubaca dengan tangan gemetar.
Aku ingin mengulang hidup. Tapi mengaku salah jauh lebih sulit dibanding kehilangan uang. Karena penyesalan tidak hanya mengikis dompet, tapi juga harga diri.
-
“Woy, ngelamun aja lu Mik!”
Suara memanggil dari seberang jalan. Aku menoleh pelan, Riko. Teman kerja, teman nongkrong, teman gagal. Bedanya, dia hanya mencicipi tepi jurang, sementara aku terjun kepala duluan.
“Ngagetin orang aja lo,” kataku, memaksakan senyum. “Ngapain di sana? Sini, mampir kos.”
Riko tertawa ringan, seolah hidupnya sesederhana tarik gaji, beli makan, lalu tidur nyenyak.
“Nggak ah, gue langsung pulang. Gak ada saldo!” Candanya renyah, mudah. Tidak seperti aku yang setiap tawa terasa harus dicicil dulu.
Kami berpisah. Aku menyalakan rokok, membiarkan asapnya naik perlahan ke langit yang tidak tahu apa-apa tentang rusaknya hidup seseorang di bawahnya. Napas panjang kutarik, tapi lega tak pernah ikut masuk.
“Andai….” bisikku pelan, seperti doa yang tak pernah dikabulkan.
-
Di kamar kos, malam berjalan lambat seperti menit yang diseret paksa.
Drrrt drrrtt
Telepon berdering. Hal yang kini selalu membuatku curiga lebih dulu daripada menjawab.
“Lo ada duit nganggur nggak, Mik? Pinjem 100 aja kalau ada?”
Biasa. Giliran masih berputar, dan semuanya pernah jadi peminta. Termasuk aku.
“Gue ngepres sampai akhir bulan, bro. Kemarin gue kalah banyak,” jawabku, jujur tapi getir.
“Oh gitu… yaudah kalau gitu. Sori ganggu ya, Mik.”
Telepon terputus. Hening kembali seperti ruang kosong yang terlalu luas untuk seorang lelaki dengan hati sebesar luka.
Sebenarnya ada sisa uang di ATM. Tidak banyak. Nominalnya Rp700.000, cukup untuk hidup sebulan kalau kujaga dengan benar, cukup untuk memulai berhenti, cukup untuk membuktikan pada diri sendiri bahwa aku masih punya kendali.
Tapi pikiran manusia tidak sesederhana hitungan saldo.
Aku membuka Facebook, sekedar scroll tanpa tujuan. Jari berhenti pada satu iklan yang sudah ribuan kali memporak-porandakan hidup orang lain. Warna cerah, bonus menggiurkan, testimoni palsu. Ini jebakan yang sama, tapi tetap terlihat baru bagi yang sedang rapuh.
Judi online, atau Judol.
Nama yang seharusnya tidak lagi kubaca.
Tapi seperti mantan beracun, semakin ingin dilupakan, semakin mudah muncul kembali.
Aku menatap layar ponsel. Rasanya seperti hal terbodoh yang bisa kulakukan. Tapi bodoh bukan sesuatu yang baru bagiku.
“Main 200 aja kali ya… kalau naik tarik. Kalau kalah masih sisa 500.”
Suara logika tertawa pelan. Suara nafsu berteriak lebih keras. Pada akhirnya jari lah yang memutuskan. Bukan otak, bukan hati, tapi jari-jemari yang lebih cepat dari penyesalan.
Aku login. Saldo masuk. Permainan dimulai.
Cling Cling Cling
Notif dilayar menampilkan SCATTER 10X SPIN GRATIS. Hatiku melonjak seperti anak kecil menemukan kue ulang tahun. Dengan bet 10 ribu, peluang terlihat besar, kesempatan terasa nyata. Padahal hanya ilusi yang dikemas rapi.
Putaran bergerak.
Harapan berputar lebih cepat.
Tapi hasilnya selalu sama.
Putaran terakhir berhenti.
Kamu menang Rp10.000
Aku tertawa. Tapi tidak ada bahagia di dalamnya. Tawa itu seperti batuk orang sakit, keluar karena tubuh tidak punya pilihan lain.
“Sialan….” gumamku, hambar seperti kopi basi.
Andai cerita berhenti di sana, mungkin masih ada sisa kewarasan. Tapi manusia yang kalah justru semakin ingin menang. Dan orang yang sudah jatuh jarang memilih bangun. Malah lebih sering menggali semakin dalam seolah dasar jurang masih terlalu jauh.
Aku lanjut bermain.
Saldo turun. Logika menjerit. Nafsu menutup telinga.
Pikirku 200 ribu saja cukup untuk mengembalikan semua kekalahanku. Namun keberuntungan yang dijanjikan iklan tak lebih dari sebuah janji.
Saldo tersisa Rp500.000.
Aku terdiam sejenak dan berpikir. Kenapa aku melakukan ini lagi? Sampai akhirnya semua menjadi sunyi. Benar-benar sunyi.
Namun kesunyian itu malah seakan mendorongku jatuh lagi. Hatiku rasanya seperti dibakar oleh bara api yang panas. Sekarang bukan lagi tentang berhenti atau tidak.
Namun, ikhlas atau tidak?
"Tai banget... tapi ini pemanasan Mik!! Nambah lagi pasti dikasih menang!" ucapku menenangkan hati.
Jawabannya tentu tidak. Keikhlasan itu mitos, bagi seorang penjudi.
Tanpa ragu aku mendepositkan sisa uang yang seharusnya untuk hidup. 350 ribu aku pertaruhkan dalam putaran neraka yang tiada hentinya.
"Mending gue main live casino aja. Harusnya insting tebak nomer gue masih tajam.." ucapku setelah deposit 350 ribu secara sadar.
Sekitar 10 menit berlalu. Tak ada ragu setiap kali aku bertaruh pada angka.
Hasilnya? Nol.
-
Aku menatap layar ponsel yang kini hanya menampilkan angka Rp0 seperti nisan kecil bagi sisa hidupku. Dadaku berat, tapi bukan karena marah, lebih karena lelah menjadi aku.
Di luar jendela, kota masih menyala. Mesin pabrik tak pernah tidur, dan manusia sepertinya juga tidak pernah benar-benar hidup.
Untuk pertama kalinya, aku bertanya pada diriku sendiri:
Kalau besok aku berhenti, apa hidup ikut berubah?
Kalau aku terus tenggelam, akankah ada yang menarikku?
Atau memang aku ditakdirkan jatuh sampai tak ada lagi yang tersisa?
Tidak ada jawaban.
Hanya aku, layar gelap, dan kata yang kembali berbisik seperti biasa.
Andai.
Tetapi malam itu belum selesai, justru baru dimulai.