Zoya tak sengaja menyelamatkan seorang pria yang kemudian ia kenal bernama Bram, sosok misterius yang membawa bahaya ke dalam hidupnya. Ia tak tahu, pria itu bukan korban biasa, melainkan seseorang yang tengah diburu oleh dunia bawah.
Di balik kepolosan Zoya yang tanpa sengaja menolong musuh para penjahat, perlahan tumbuh ikatan tak terduga antara dua jiwa dari dunia yang sama sekali berbeda — gadis SMA penuh kehidupan dan pria berdarah dingin yang terbiasa menatap kematian.
Namun kebaikan yang lahir dari ketidaktahuan bisa jadi awal dari segalanya. Karena siapa sangka… satu keputusan kecil menolong orang asing dapat menyeret Zoya ke dalam malam tanpa akhir.
Seperti apa akhir kisah dua dunia yang berbeda ini? Akankah takdir akan mempermainkan mereka lebih jauh? Antara akhir menyakitkan atau akhir yang bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zawara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mata Pengintai
Jam digital di dashboard van hitam itu berkedip pelan, menunjukkan angka 02.45 dini hari.
Di luar, Komplek Cendana sudah tenggelam dalam sunyi. Lampu jalan yang remang-remang hanya menyinari aspal kosong. Ini sudah malam ketiga van itu terparkir di sana, tersembunyi di bawah bayangan pohon rindang yang sama. Tumpukan gelas kopi di tempat sampah mobil menjadi saksi bisu shift panjang mereka.
Di dalam kabin yang diterangi cahaya biru monitor, Reza memutar kursinya sambil terkekeh pelan. Ia menunjuk ke layar monitor tengah yang menampilkan citra termal dari lantai dua rumah Zoya.
"Masih sama seperti kemarin, Tuan," lapor Reza, nadanya geli. "Rutinitas malam: 'Sang Raja' di singgasana, dan 'Rakyat Jelata' di pengasingan."
Di layar itu, terlihat pemandangan yang sudah menjadi hiburan tersendiri bagi mereka berdua selama beberapa hari terakhir.
Satu titik panas tubuh yang besar dan dominan. Bram. Terbaring nyaman di atas kasur empuk. Sementara satu titik panas yang jauh lebih kecil. Zoya. Terlihat meringkuk di lantai samping ranjang, beralaskan karpet tipis dan selimut berlapis-lapis.
Rian, yang sedang mengunyah roti, mendengus geli melihat layar itu. "Tipikal Tuan. Dia itu definisi tamu yang tidak tahu diri. Sudah disuguhi makan dan minum, diobati lukanya, sekarang dia menginvasi kasur tuan rumahnya."
"Saya mulai kasihan dengan gadis itu, Tuan," kata Reza sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Lihatlah posisinya, gadis itu meringkuk. Pasti besok punggungnya akan sangat sakit. Tuan Bram benar-benar membuat anak SMA sekecil itu tidur di lantai."
"Itu strategi Tuan," sahut Rian santai, matanya berbinar jenaka. "Tuan butuh posisi strategis antara pintu dan jendela. Kasur itu satu-satunya titik taktis terbaik. Dan gadis itu? Yah... anggap saja dia 'garda depan' di lantai.”
"Garda depan apanya, Tuan? Jika ada musuh masuk, dia orang pertama yang terinjak," Reza tertawa kecil.
Mereka berdua tertawa pelan, menertawakan betapa absurdnya situasi di mana pembunuh bayaran paling mematikan di dunia sedang tidur (atau mencoba tidur) di kamar bernuansa remaja, sambil membiarkan pemilik aslinya menderita di lantai.
Reza kemudian mengalihkan pandangannya ke grafik data biometrik Bram yang ditampilkan di layar samping. Tawanya perlahan mereda.
Grafik detak jantung Bram terlihat stabil, namun ritmenya bukanlah ritme orang yang sedang tidur nyenyak.
"Tapi... lihat ini, Tuan," Reza menunjuk grafik itu. "Tuan Bram belum tidur. Matanya mungkin terpejam, tapi gelombang otaknya masih di fase Alfa. Dia sepenuhnya sadar."
Rian mengangguk, wajahnya kembali sedikit serius meski tetap santai. "Yah, kau tahu sendiri seperti apa Tuan Bram. Tidur nyenyak mitos untuknya. Apalagi di tempat asing berbau parfum stroberi. Paranoianya pasti bekerja lembur."
"Apa kita perlu khawatir, Tuan?" tanya Reza. "Grafiknya menunjukkan kewaspadaan tingkat sedang. Apa Tuan Bram sedang mencurigai sesuatu?”
Rian menggeleng pelan, penuh percaya diri. "Tidak. Jika Tuan mencurigai keberadaan kita atau ancaman lain, detak jantungnya akan melambat drastis untuk fokus tempur, bukan stabil seperti ini. Ini hanya... kebiasaan. Dia monster yang tidak bisa menutup mata. Kewaspadaan adalah selimut tidurnya."
Tanpa Rian dan Reza sadari, analisis mereka salah besar.
Mereka mengira kewaspadaan Bram hanyalah kebiasaan lama, sisa-sisa trauma, atau sekadar kewaspadaan standar seorang mafia.
Mereka tidak tahu, dan alat canggih mereka tidak bisa mendeteksi, bahwa alasan Bram tetap terjaga bukan karena paranoia tak berdasar. Mereka tidak melihat apa yang sebenarnya membuat Bram terjaga.
Mereka tidak melihat kegelapan pekat yang mengintai di sudut-sudut yang luput dari kamera. Mereka tidak merasakan hawa dingin yang membuat insting purba Bram menjerit, sesuatu yang membuat "Sang Raja" di kasur itu mencengkeram pisau dapur di balik bantal, bukan karena takut pada manusia, tapi pada sesuatu yang lain.
Namun bagi Rian dan Reza di dalam van, malam itu terlihat "bersih". Bagi mereka malam itu hanyalah malam lucu di mana bos mereka membully anak SMA.
"Biarkan saja," kata Rian akhirnya, kembali bersandar. "Biarkan Pak Genderuwo menikmati kasur empuknya."
"Siap, Tuan." Tegas Reza sambil kembali memakai headset nya.
Van hitam itu kembali hening, penumpangnya tersenyum puas dalam ketidaktahuan mereka yang nyaman.
...***...
Sementara Rian dan Reza tertawa kecil di dalam kapsul besi mereka yang hangat, ratusan meter di belakang mereka, kegelapan malam terasa jauh lebih pekat dan dingin.
Di atap sebuah ruko kosong yang menghadap lurus ke jalan masuk Komplek Cendana, sesosok bayangan tinggi berdiri tak bergerak. Angin malam mengibarkan ujung jas hujan hitamnya yang panjang, membuatnya tampak seperti gagak raksasa yang bertengger menunggu bangkai.
Viktor menurunkan teropong inframerahnya perlahan.
Sudut bibirnya terangkat membentuk seringai miring. Seringai yang bukan berisi kegembiraan, melainkan kepuasan keji karena tebakan tuannya terbukti benar.
"Bodoh," desis Viktor, suaranya parau dan berat, seperti gesekan dua batu kasar. "Kalian pikir kalian pemain catur, padahal kalian cuma pion."
Di tangannya, sebuah ponsel satelit menyala redup. Ia menekan satu tombol panggilan cepat. Tidak perlu menunggu lama, sambungan itu terhubung.
"Bicara," suara di seberang sana terdengar datar, tenang, namun memiliki otoritas yang bisa membuat darah membeku. Itu suara Tuan David.
"Anda benar, Tuan," lapor Viktor, matanya masih terpaku tajam pada van hitam Rian yang terparkir diam di bawah pohon. "Anjing peliharaan Anda sudah benar-benar menggigit tangan tuannya."
Hening sejenak di seberang sana. Hanya terdengar suara denting gelas kristal yang diletakkan di meja.
"Jelaskan," perintah David singkat.
"Rian tidak ada di pelabuhan utara seperti laporannya. Unit saya di sana hanya menemukan gudang kosong," lapor Viktor dengan nada mengejek. "Dia ada di sini. Di Komplek Cendana. Duduk manis di dalam van pengintai, menjaga 'aset' yang seharusnya dia laporkan."
Viktor kembali mengangkat teropongnya, mengarahkan lensa ke jendela lantai dua rumah Zoya, titik yang sama yang sedang diawasi Rian.
"Dan Bram..." Viktor mendengus. "Si Bajingan Berdarah itu ada di sana. Bersembunyi di ketiak warga sipil. Rian berkhianat. Dia menentang perintah dan sedang melindunginya."
Terdengar helaan napas panjang dari David. Bukan napas kecewa, melainkan napas seseorang yang lelah karena harus membersihkan kotoran yang sama berulang kali.
"Sayang sekali," suara David terdengar lebih dingin dari sebelumnya. "Rian adalah salah satu yang terbaik. Tapi loyalitas yang salah tempat adalah kanker. Dan kanker harus dipotong sebelum menyebar."
"Perintah, Tuan?" tanya Viktor, jarinya mengetuk-ngetuk gagang pisau komando yang terselip di pinggangnya. "Apa saya habisi tim Rian sekarang? Mereka sedang lengah. Saya bisa membakar van itu bersama mereka di dalamnya sebelum mereka sadar."
"Jangan," tahan David. "Kematian cepat terlalu mewah untuk pengkhianat."
"Lalu?"
"Biarkan mereka merasa aman malam ini. Biarkan mereka berpikir kebohongan mereka berhasil," perintah David dengan nada licik. "Besok malam, kita akan datang. Bukan cuma satu unit. Bawa Cleaners. Kita akan ratakan rumah itu, seisinya. Bram, Rian, Reza... dan siapapun warga sipil yang sial menampung mereka."
Mata Viktor berbinar kejam di kegelapan. "Tanpa sisa, Tuan?"
"Tanpa sisa. Bakar sampai jadi abu."
Sambungan terputus.
Viktor memasukkan ponselnya kembali ke saku. Ia menatap van hitam di kejauhan itu sekali lagi. Rian dan Reza di sana pasti sedang merasa bangga, merasa pintar karena berhasil menipu organisasi.
"Nikmati tawa terakhir kalian, adik-adik manis," bisik Viktor pada angin malam.
Ia berbalik, melangkah mundur dan melebur sempurna ke dalam bayangan, meninggalkan Rian dan Reza yang masih tersenyum dalam ketidaktahuan mereka, tidak menyadari bahwa vonis mati baru saja dijatuhkan di atas kepala mereka.
Dan yang lebih mengerikan, baik Rian, Reza, maupun Viktor, sama-sama tidak menyadari... bahwa di dalam kamar itu, Bram sedang menatap kegelapan dengan mata terbelalak, merasakan kehadiran sesuatu yang jAuh lebih gelap daripada sekadar pembunuh bayaran.