NovelToon NovelToon
Runaways Of The Heart

Runaways Of The Heart

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / CEO / Percintaan Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Mafia / Cintapertama
Popularitas:237
Nilai: 5
Nama Author: Dana Brekker

Darren Myles Aksantara dan Tinasha Putri Viena sama-sama kabur dari hidup yang menyesakkan. Mereka tidak mencari siapa pun, apalagi cinta. Tapi pada malam itu, Viena salah masuk mobil dan tanpa sengaja masuk ke lingkaran gelap keluarga Darren. Sejak saat itu, hidupnya ikut terseret. Keluarga Aksantara mulai memburu Viena untuk menutupi urusan masa lalu yang bahkan tidak ia pahami.

Darren yang sudah muak dengan aturan keluarganya menolak membiarkan Viena jadi korban berikutnya. Ia memilih melawan darah dagingnya sendiri. Sampai dua pelarian itu akhirnya bertahan di bawah atap yang sama, dan di sana, rasa takut berubah menjadi sesuatu yang ingin mereka jaga selamanya.

Darren, pemuda keras kepala yang menolak hidup dari uang keluarga mafianya.

Viena, gadis cantik yang sengaja tampil culun untuk menyembunyikan trauma masa lalu.

Genre : Romansa Gelap

Written by : Dana Brekker

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dana Brekker, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ch 19

Studio dipahat dalam kesunyian. Lampu ruangan diredupkan, hanya panel indikator merah di atas pintu booth yang menyala sebagai tanda rekaman sedang berjalan. Hari ini bukan sesi latihan. Ini sesi uji coba produksi pertama di mana setiap take akan diarsipkan, disimpan, dan dibandingkan dengan hasil-hasil berikutnya untuk evaluasi kualitas.

Viena berdiri di dalam vocal booth yang dikelilingi panel busa akustik berwarna hitam. Kabel XLR merambat turun dari gantungan boom, masuk ke mikrofon kondensor besar dengan pop-filter bundar di depannya. Headphone tertutup jenis monitoring menekan kedua telinganya, menandakan gadis itu sudah lebih dari kata siap.

Prosedur dimulai tanpa basa-basi. Operator mengetuk kaca dua kali untuk memberi sinyal siap. Sementara di layar, sesi proyek DAW sudah terbuka dengan nama file VA-01_PRE-DEBUT_COVER. Tentu saja tanpa adanya identitas asli. Hanya kode. Semuanya dilakukan sesuai dengan permintaan Tinasha Putri Viena dan atas persetujuan Darren Myles Aksantara.

Di ruangan itu, Darren tidak duduk. Ia berdiri menghadap kaca dengan tangan tersilang di dada, memosisikan diri sebagai pihak dengan keputusan final. Anehnya Viena tidak merasa terganggu maupun tertekan sama sekali selama yang menunggunya itu Darren. Sukar ia akui, tapi itu fakta.

File instrumental diputar sekali untuk sinkronisasi. Viena hanya mendengarkan, tanpa menyanyi. Ini adalah prosedur wajib untuk membiasakan respirasi dengan tempo, mengenali dinamika track dan memastikan dia tidak “melawan” musik tapi melapisinya. Semua berjalan mulus sejauh ini.

Putaran kedua dimulai. Kali ini ia diminta humming saja tanpa mengucap apapun. Humming biasa dipakai sebagai baseline vocal dalam mengecek stabilitas pitch, noise pernapasan, dan seberapa jauh mikrofon menangkap resonansi tubuh. Ini sangat penting bagi seorang profesional seperti Bima, bahkan Yunho sekalipun. Meski saat melakukannya Viena sempat melirik ke Darren apakah cowok itu merubah ekspresinya atau tidak. Pengalaman di take minggu lalu Darren justru membuatnya tertawa dari balik kaca booth, padahal jelas Darren sedang tidak melucu. Bodohnya Viena malah yang paling marah waktu itu, dan Darren berujung menjahilinya tanpa ampun. Dia gak mau hal itu terulang.

Bersyukur semua masih kondusif. Tidak ada yang memuji dan tidak ada yang mengoreksi. Semua evaluasi ditahan sampai sesi selesai.

Di tengah proses, Darren hanya sekali memberi instruksi teknis kepada operator untuk menurunkan compressor threshold dan sedikit roll-off di low-end untuk menghindari boominess. Bukan mengomentari suara Viena walau tatapan mereka sesekali bertemu tanpa alasan.

Setelah humming pass selesai, tombol record ditekan kembali. Kali ini untuk first full-vocal take. Viena menarik napas, menunggu cue atau sinyal, lalu masuk pada bar pertama. Suaranya terdengar sangat bersih di headphone Darren, hampir terlalu bersih, tidak ada vibrato liar, tidak ada yang pecah apalagi fals, semua seperti yang Darren harapkan.

Take pertama dibiarkan berjalan tanpa interupsi sampai selesai. Begitu selesai, tidak ada ucapan “bagus” atau “ulang”. Tidak ada apapun yang berbentuk validasi emosional. Yang ada hanya tombol SAVE PROJECT sebelum mereka resmi menutup sesi rekaman.

Sudah jelas kontrak mereka yang profesional maupun personal tetap berjalan paralel, walau hari ini tidak ada ruang bagi salah satunya untuk mengganggu yang lain. Hari ini adalah hari perubahan di mana Viena bukan lagi sekedar gadis random yang dibawa Darren ke studio, tetapi sebagai aset produksi yang masuk pipeline label independen. Berterimakasih pada Arven dan tim atas usahanya mengajak Viena satu bulan lalu.

Selesai urusan di studio, Viena berjalan keluar untuk pulang. Adapun Darren mengikuti setiap langkah gadis itu, lalu membukakan pintu.

“Sebulan terakhir kamu gak kelewat sibuk?” Darren membuka duluan kala sorot lampu beberapa kendaraan menyoroti mereka secara bergantian.

Darren mengamati gadis di sampingnya yang kini sedang sibuk menarik resleting jaket jeansnya. “Bilang padaku jika Arven memaksamu melakukan hal yang aneh-aneh,” tandasnya.

“Arven justru yang paling normal,” Viena mengerucutkan bibirnya. “Yah, kalau suka maksa kan memang dia orangnya gitu, tapi aslinya baik.”

Mendengar jawaban Viena tentu membuat Darren lega. Bukanlah suatu kebohongan jika Darren memilih Viena karena terpikat suara indah nan merdu gadis itu pada waktu pertama kali bertemu. Tapi sekarang apa? Memanfaatkannya untuk bernyanyi demi kemajuan finansial dan juga sebagai simbol kemandirian di depan keluarga bangsatnya itu? Darren mulai meragukan kelangsungan kontrak pura-pura pacaran mereka. Ini kelewat canggung. Kelewat tabu. Namun harus segera dicarikan solusi tanpa berlama-lama lagi.

“Kalau maksud kamu latihan… jawabannya iya. Kalau maksud kamu hidup… tentu saja enggak,” ucap Viena mendahului Darren, matanya tidak ke cowok itu. “Dari studio ke kos, dari kos ke studio, mulai ulang. Gak ada yang lain.”

Darren mengangguk singkat. Jawaban itu sudah sesuai prediksi.

“Lalu kontrak kita… nothing changes?” Ia sengaja menyebutnya kabur. Tidak menamai apapun dan tidak mengharapkan jawaban apapun, murni demi meyakinkan dirinya untuk membuka obrolan lebih jauh.

“Terserah kamu, Darren. Kamu udah tahu posisi aku di sini, kan? Aku cuma bantu kamu, dan kamu bantu aku lewat kerjaan.” Viena menoleh, ekspresinya datar tapi bukan dingin. “Intinya sekarang kontraknya masih jalan. Kita tetap seperti yang disepakati. Di luar kita terlihat dekat. Di dalam tetap profesional. Nggak tumpang tindih.”

“Tapi.” Darren mengulang dua kata itu seperti koreksi.

Viena tidak menggigit umpannya. “Kalau kamu mau negosiasi ulang, bilang aja.”

“Bukan negosiasi,” Darren menatap lurus, tidak berkedip. “Aku cuma mau pastikan kamu gak main dua kaki. Bukan dalam soal hubungan, kita tahu itu bohongan, tapi di soal produksi. Aku gak mau kamu tiba-tiba narik diri di tengah jalan karena alasan yang baru muncul sebulan terakhir.”

Viena tertawa singkat nyaris tanpa suara. “Kalau mau kabur, aku sudah kabur dari dulu waktu salah masuk mobil. Justru sekarang ada arahnya.”

Darren diam beberapa detik, seolah mengecek apakah itu jawaban final.

“Alright, good,” gumamnya. Takut terlambat memberi jawaban.

Sunyi lagi. Tapi bukan sunyi yang canggung, melainkan sunyi yang sudah menjadi pola komunikasi tetap mereka selama satu bulan terakhir. Mungkin karena pekerjaan dadakan Viena sebagai penyanyi di luar rencana Darren sebelumnya. Meskipun dia tahu peluang ini memang ada, namun dirinya tidak menyangka suara Viena yang ia sukai ternyata mampu menyihir keempat personil band indie yang dia kelola.

“Studio kosong sampai malam.” Darren mendorong punggung ke dinding depan studio. “Aku tutup sekarang. Terus kita makan di luar.”

“T-tutup?” Viena lantas menggeleng. “Darren, aku harus pulang ke kos, ini udah mau maghrib.”

“Kamu bisa pulang setelah makan,” jelas laki-laki itu sambil memutar-mutar kunci mobilnya dengan jari. “Kita perlu ngomong lebih dari tiga kalimat, kalau masalah sholat nanti kita cari masjid.”

Viena tidak langsung jawab. Ia menimbang, bukan soal makan tetapi soal konsekuensi emosional duduk berdua di tempat lain setelah sesi serius seperti tadi.

Sementara Darren membaca kebisuannya tepat sasaran. “Ini bukan dinner kencan. Cuma ngobrolin apapun yang masih jadi penghalang di antara kita. Udah jelas kita belum saling kenal dengan baik kan, Tinasha?”

“Panggil Viena aja!”

“Terus hubungan pura-pura itu tetap pura-pura selama makan?” Lanjut Viena memastikan.

“Selama makan, selama jalan pulang, selama bernapas,” Darren menjawab tanpa ragu. “Nothing changes kecuali kita sepakat buat ganti.”

Itu jawaban paling meyakinkan yang bisa ia dapat dari seorang seperti Darren, meskipun sorot matanya ke laki-laki itu seperti hendak menerjangnya. Tapi bodohnya gadis itu bilang “Oke”. Lagi-lagi begitu.

Mereka berjalan turun dari trotoar tatkala cahaya berubah dari jingga ke biru, sore melereng ke malam. Di depan pintu luar studio itu, hawa lembap pascahujan membawa aroma aspal. Jalanan di depan tidak ramai, hanya beberapa motor lewat sebelum mereka merapat ke salah satu mobil yang terparkir di sana.

“Kenapa?” Viena ikut menoleh setelah Darren melakukannya lebih dulu, arahnya ke salah satu kafe samping studio yang kebetulan sedang sepi pengunjung.

“Nggak ada.” Darren tidak mengerutkan kening, hanya berhenti sedikit terlalu lama. “Yuk.” Membukakan pintu untuk Viena.

Sebelum masuk, Viena sempat menatap sekeliling lagi. Namun tidak menanyakan lebih lanjut. Meskipun dirinya merasakan hal serupa beberapa waktu lalu.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!