SEASON 1!
Di balik luasnya wilayah utara, setelah kematian Duke Xander. Desa Valters hampir punah dan hancur.
Desa Valters desa yang tidak mengetahui titisan Xander...
Daren... seorang gadis berambut perak, di buang dan dibesarkan sebagai prajurit di barak utara yang ilegal. Tanpa identitas ia tidak tahu siapa dirinya, hanya tahu bahwa hidupnya adalah tentang bertahan.
Namun, saat pasukan Kekaisaran menyerbu barak utara. Ada nama yang dibisikkan. Xander Estelle. Ada mata-mata yang mulai memperhatikannya. Dan di ujung dunia, dari reruntuhan wilayah Utara yang dibekukan oleh sejarah, sesuatu yang mengerikan mulai bergerak.
Hidupnya mulai bergerak menuju takdir yang tak pernah ia minta. Tapi mungkinkah hidupnya juga akan berubah… menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar bertahan?
Di tengah perubahan hidup dan pengakuan darahnya, adakah sosok yang membuatnya semakin kuat? seseorang yang menantangnya untuk berdiri, meski dunia ingin menjatuhkannya?
Happy reading 🌷🌷
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moonlightna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MLAM DI HUTAN.
Siapa dalang di balik semua ini?
Bayangan pepohonan menari-nari di atas wajah Gerald, saat ia membiarkan air sungai membasuh wajahnya, berusaha menyingkirkan pikiran yang mengganggunya.
Bermalam di hutan bukanlah hal yang asing bagi seorang putra mahkota, namun ketegangan malam ini terasa berbeda. Bersama dua sahabatnya, Benson dan Jaden, ia menikmati kesejukan air sungai, dada mereka terbuka, membiarkan aliran air membasuh lelah.
Sementara Daren, gadis kecil itu duduk di bawah naungan pohon besar, pena di tangannya menari-nari di atas lembaran kertas, mencari ketenangan dalam belajar.
Apa tidak apa-apa jika aku membuka buku ini sebentar?
Matanya melirik buku yang tersimpan di pangkuannya.
Ketiganya kembali ke tempat peristirahatan mereka. Gerald mendekati Daren, Daren dengan cepat menutup bukunya saat Gerald mendekat. "Maafkan saya..." gumam Daren, panik tersirat dalam suaranya.
Aku bodoh, ini memang bukan waktunya untuk membuka buku.
Gerald berjongkok, rambut pirangnya basah dan acak-acakan. "Minumlah air ini," katanya tenang, menyerahkan sebotol air sungai yang jernih kepada Daren. "Air yang dibawa Benson sudah tertinggal jauh."
Daren menerima dan langsung meneguk air dengan syukur. "Terima kasih, Pangeran."
"Belajarlah jika kau ingin, jangan ragu," kata Gerald, berdiri.
"Tidak, Pangeran..." jawab Daren, ragu-ragu.
Di hutan yang gelap, Benson sibuk menata alas dedaunan, mempersiapkan tempat tidur mereka. Jaden muncul membawa beberapa selimut tipis. "Ini selimutnya," katanya.
Benson menoleh cepat, wajahnya tegang. "Se-selimut... aku hanya membawa tiga," ucapnya tercekat. Ia berpikir jika Daren tidak akan benar-benar ikut.
"Berikan satu pada Daren," perintah Gerald.
Daren memasukkan kembali buku dan penanya. Ia berdiri, sosoknya kecil di antara tiga pemuda tinggi besar itu, membuat setiap perkataannya seperti bisikan yang melayang.
"Saya... tidak perlu selimut."
"Pangeran, harus memakai selimut," tambahnya.
"Tidak usah, kau saja," jawab Gerald dingin, ia melangkah dan duduk di atas alas dedaunan yang telah disiapkan Benson, punggungnya menyandar pada batang pohon besar. Ia memejamkan mata. "Tidurlah selagi aman," katanya lirih.
Benson dan Jaden saling berpandangan, lalu duduk di samping Gerald, tubuh mereka bersandar pada pohon, mengikuti jejak sang pangeran. "Gadis kecil, tidurlah, jangan terus berdiri," kata Benson, berusaha menutup matanya.
Jaden menyodorkan selimut pada Daren. "Ini selimutmu."
Daren bingung. Ia tak tega melihat Gerald tanpa selimut. Sementara yang lain mulai tertidur.
Aku tidak boleh merepotkan mereka.
Ia mendekati Gerald, memegang selimut, hendak menyelimuti sang pangeran. Mata Gerald perlahan terbuka. "Apa kau pikir aku tidur?" tanyanya, suaranya terdengar lembut namun tajam.
"Saya tidak ingin memakai selimut," jawab Daren, tenang namun kecewa.
Tertidur dalam keadaan cuaca dingin sudah menjadi makan sehari-hari Daren di barak utara dulu, utara yang di kenal dengan tanah salju.
Gerald menatapnya dengan mata sayu. "Keras kepala," gumamnya. Ia menegakkan tubuh, mengambil jubah mantelnya.
"Tidurlah," katanya.
Daren dengan ragu meletakkan selimut, lalu tergelatak di samping Gerald. Gerald menyelimuti Daren dengan jubahnya, jubah besar itu cukup untuk menghangatkannya. Lalu ia kembali bersandar pada pohon, selimutnya menutupi tubuhnya.
Daren menatapnya, rasa tak enak hati memenuhi hatinya. Namun.
"Terima kasih."
"Hm... sekarang tidurlah." jawab Gerald yang telah memejamkan mata.
Ia memejamkan mata, namun pikirannya tetap berpacu liar, seperti kuda liar yang tak terkendali. Suara-suara kecil, gemerisik dedaunan, dan desiran angin, terdengar begitu jelas di telinganya yang peka.
Pikirannya bekerja keras, mencoba memecahkan teka-teki yang membayangi mereka. Meskipun demikian, tempat peristirahatan mereka cukup aman, terlindung oleh rimbunnya pepohonan yang rapat, tak memberikan celah bagi mata-mata yang mengintai. Bayangan-bayangan gelap tak mampu menembus benteng hijau itu.
Lampu gantung kecil yang dibawa Jaden, memberikan cahaya redup yang cukup untuk menerangi tempat tidur mereka, menenangkan kegelisahan yang masih membayangi. Di bawah cahaya redup itu, mereka tertidur, lelap namun waspada. Karena bisa saja kematian datang saat tertidur.
Namun, di kedalaman malam yang semakin pekat, Daren terbangun. Tidur nyenyak adalah barang mewah yang jarang ia dapatkan, apalagi dalam situasi mencekam seperti ini. Ia melirik ke samping, mencari sosok Putra Mahkota, namun hanya menemukan Benson dan Jaden yang tertidur pulas. Kemana perginya Pangeran? Pertanyaan itu menggantung di hatinya, menimbulkan gelombang kecemasan.
Dengan hati-hati, Daren berdiri, berusaha agar tak membangunkan mereka berdua. Pandangannya menyapu sekeliling, mencari keberadaan Gerald. Angin malam yang dingin menerpa rambut peraknya yang terurai, membawanya pada aroma lembap tanah dan dedaunan basah.
Di tepi sungai kecil yang airnya mengalir tenang, di bawah cahaya rembulan yang samar, ia menemukan Gerald. Sang pangeran duduk di batu tepi sungai, tatapannya jatuh pada air sungai yang mengalir tenang, seakan tenggelam dalam lautan pikirannya yang dalam. Wajahnya tampak lelah, namun sorot matanya tajam, penuh dengan perhitungan.
Daren mendekat dengan langkah pelan, hatinya dipenuhi rasa khawatir dan pertanyaan yang tak terucap.
"Pangeran..." ucap Daren lirih, suaranya terdengar sedikit gemetar karena hawa dingin malam dan rasa khawatirnya.
Gerald menarik napas dalam-dalam, hembusan napas yang terdengar pelan di keheningan malam. Ia sudah mengenali suara khas Daren. Dengan tenang, ia menoleh, tatapannya bertemu dengan tatapan Daren. "Mengapa kau tidak tidur?" tanyanya, suaranya terdengar dingin, namun ada sedikit kelembutan yang tersembunyi di baliknya.
Daren mendekat, memilih duduk di sebuah batu kecil yang terletak di samping batu besar tempat Gerald duduk. Jarak mereka cukup dekat, namun keheningan malam seolah menciptakan jarak yang lebih besar lagi. "Tidak..." jawab Daren singkat, suaranya hampir tak terdengar. Ia tak bisa menjelaskan mengapa ia tak bisa tidur.
“Apa… menurut Pangeran, misi ini sangat berat?” tanya Daren, suaranya tenang namun tegang, mata tajamnya mengamati setiap gerak-gerik Pangeran Gerald.
Gerald tersenyum tipis, sebuah senyum yang tak sampai ke matanya. “Tidak, Daren. Misi ini akan sangat mudah… jika tidak ada yang mengintai kita dari bayang-bayang.” Suaranya berat, berbisik seperti angin malam yang membawa aroma bahaya.
Daren mengerutkan dahi. “Itu… musuh Pangeran?” tanyanya, hati berdebar-debar.
Gerald menoleh, tatapannya menusuk. “Musuhku, Daren… terlalu banyak untuk dihitung. Mungkin saja mereka… salah satunya berada di antara kita.” Udara di antara mereka tiba-tiba terasa dingin, berat, dipenuhi ketegangan yang tak terucap. Sebuah keheningan mencekam menggantung di udara, sebelum Gerald melanjutkan dengan suara rendah, “Kita harus waspada.”
Daren menatap air sungai. Cahaya bulan memantul di permukaan air yang tenang, menciptakan gradasi warna yang lembut. "Ternyata air mengalir seperti ini... sangat indah," gumamnya, suara hampir tak terdengar.
Gerald, yang sedari tadi metap jauh ke depan, memalingkan pandangannya, ia menatap Daren dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Jangan bilang, ini pertama kalinya kau melihat sungai mengalir?" tanyanya, suara sedikit heran.
Daren mengangguk perlahan, tatapannya masih tertuju pada aliran air yang lembut itu.
Dia benar-benar terkurung, banyak hal yang tak ia ketahui.
Gerald berdiri, lalu berbalik dan mulai melangkah pergi. "Ayo kembali," katanya, suaranya terdengar sedikit serak, "Aku tidak akan pergi lagi." Langkahnya menjauh dari sungai, meninggalkan Daren sendirian sejenak. Tanpa ragu, Daren segera menyusul, mengikuti langkah Gerald dari belakang.