Sebelum ada bintang, sebelum Bumi terbentuk, dia sudah ada.
Makhluk abadi tanpa nama, yang telah hidup melewati kelahiran galaksi dan kehancuran peradaban. Setelah miliaran tahun mengembara di jagat raya, ia memilih menetap di satu tempat kecil bernama Bumi — hanya untuk mengamati makhluk fana berkembang… lalu punah… lalu berkembang lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pulang
Semua orang terdiam, tak bisa berkata-kata. Seorang prajurit bahkan hampir menjatuhkan senjatanya.
Kapten Leng menatap Alex dengan sorot mata yang campur aduk: kagum, kaget, heran, dan sedikit... takut. Sosok itu bukan hanya manusia. Dia seperti entitas tak tergoyahkan. Dewa di medan tempur.
Tanpa berkata apa-apa, Alex terus berjalan melewati mereka. Seolah tidak terjadi apa-apa.
"Kau baik-baik saja?" tanya Leng pelan, hampir berbisik.
Alex menoleh sekilas. "Sudah kubilang, aku tidak suka meninggalkan kotoran."
Kemudian ia terus berjalan.
Tidak ada yang berani bertanya lagi. Tidak ada yang berani menghentikannya. Mereka hanya mengikuti dari belakang, diam-diam bersyukur karena pria itu berada di pihak mereka.
Di balik langit yang mulai cerah oleh fajar, bayangan Alex Chu terlihat semakin jelas. Sosok satu orang yang mengubah medan perang menjadi satu sisi pembantaian.
Dan entah mengapa, malam itu, semua orang dalam tim merasa... sangat kecil di hadapannya.
Dalam helikopter militer tipe Black Hawk, suasana sunyi mendominasi, seolah tak seorang pun berani membuka suara lebih dulu. Baling-baling di atas kepala meraung keras, tapi tak mampu menutupi ketegangan yang menggumpal di udara.
Cahaya redup dari panel kontrol menciptakan bayangan samar di wajah para penumpang. Beberapa prajurit duduk bersandar dengan pakaian lapangan penuh noda darah dan jelaga. Beberapa menutup mata, tapi tak satu pun benar-benar tidur. Semua masih belum lepas dari adrenalin.
Di salah satu sisi kabin, duduk seorang pria muda dengan wajah tak terbaca.
Alex Chu.
Kepalanya sedikit menunduk, mata menatap kosong ke lantai helikopter. Pisau peraknya kini tersarung, namun darah kering masih melekat di sarung tangan dan lengan bajunya. Meski begitu, tubuhnya tetap tegak. Dingin. Tak tersentuh lelah.
Kapten Leng Yuran, duduk di seberangnya, mencuri pandang beberapa kali. Ia ingin bicara—ingin bertanya, atau sekadar mengucap terima kasih—tapi setiap kali melihat wajah Alex yang dingin dan tak berekspresi, kata-kata itu lenyap begitu saja.
Ia hanya menarik napas panjang, lalu mengalihkan pandangannya ke luar jendela.
Cahaya api di kejauhan masih tampak dari atas. Itu adalah sisa kobaran dari laboratorium yang telah rata dengan tanah. Operasi rahasia yang seharusnya memerlukan tiga tim dan satu divisi intelijen... diselesaikan hampir sendirian oleh pria itu.
Leng masih sulit menerima kenyataan itu.
> “Dia... bukan manusia biasa,” gumamnya dalam hati.
Tiba-tiba, radio komunikasi aktif kembali.
> “Helikopter Satu, di sini Pusat Komando. Kalian akan mendarat di landasan pacu zona C dalam tujuh menit. Setelah menurunkan Tim Dua, lanjutkan misi penjemputan ke lokasi tim satu dan tiga. Tim medis bersiap.”
Pilot menjawab singkat, lalu kembali fokus ke arah kontrol.
Di dalam kabin, suasana tetap hening.
Seorang prajurit di ujung ruangan, bahunya diperban, perlahan mendekat ke arah Alex dan berkata dengan suara pelan, “Terima kasih... karena telah menyelamatkan kami.”
Alex mengangkat pandangan. Sepasang mata gelapnya menatap tajam.
“Lain kali, jangan biarkan dirimu diselamatkan,” jawabnya datar.
Nada suaranya seperti pisau dingin yang menusuk diam-diam. Prajurit itu menunduk cepat, merasa malu, lalu kembali ke tempat duduknya tanpa berkata apa-apa lagi.
Leng menoleh ke arah Alex. Kali ini, ia tak bisa diam.
“Kau tahu... kau hampir mati di sana.”
Alex tak menjawab. Ia hanya menutup mata sejenak.
Leng melanjutkan, suaranya pelan namun terdengar jelas di antara raungan mesin, “Kalau kau tidak keluar dari kobaran api itu… aku pasti akan kembali masuk.”
Mata Alex terbuka perlahan.
Tatapannya berpaling ke luar jendela, lalu kembali ke arah Leng.
“Aku tidak akan mati karena api buatan manusia.”
Jawaban itu membuat Leng terdiam.
"Apakah dia masih manusia .
Mata itu telah melihat terlalu banyak kematian. Tubuh itu telah melewati sesuatu yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan kata "latihan" atau "misi."
Detik berikutnya, helikopter mulai menukik turun. Lampu-lampu kecil dari landasan pacu mulai terlihat di bawah, berpendar di antara kabut malam.
> “Landasan zona C terdeteksi. Siap mendarat,” lapor pilot.
Tali pengaman dikencangkan. Semua kembali ke posisi.
Saat helikopter mendarat perlahan, para prajurit bersiap turun. Beberapa kendaraan medis dan mobil militer sudah menunggu. Lampu sorot terang menerangi area pendaratan.
Saat pintu helikopter terbuka, udara malam yang dingin langsung menerpa wajah mereka.
Alex Chu turun terakhir. Langkahnya tenang, seperti tidak terjadi apa pun sebelumnya.
Beberapa perwira menunggu di sisi lapangan, namun mereka hanya menatap diam, tidak berani menyapa lebih dulu. Entah kenapa, meski dia tidak memiliki pangkat resmi di atas mereka, aura yang menyelimuti Alex terasa lebih berat dari seorang jenderal.
Leng Yuran berjalan di sampingnya, sesekali melirik ke arah Alex yang masih belum bicara sejak mereka turun.
> "Setelah ini ke ruang medis dulu?" tanya Leng.
Alex menatapnya sebentar. “Tidak perlu.”
Leng mengangguk, tidak heran.
Sesaat kemudian, suara radio kembali aktif di telinga pilot:
> “Helikopter satu, segera lepas landas untuk menjemput sisa personel dari Tim Satu dan Tiga. Lokasi telah dipastikan aman.”
Pilot menoleh ke Alex dan Kapten Leng.
“Kapten, Tuan Chu, kami siap kembali. Mau ikut dalam penjemputan?”
Leng hendak menjawab, tapi Alex lebih dulu melangkah kembali ke dalam helikopter.
Tanpa berkata sepatah kata pun.
Leng mendesah kecil, lalu mengikutinya.
> Helikopter itu pun kembali terangkat, menuju arah barat laut—lokasi terakhir sisa prajurit tim satu dan tiga berada.
Dan di dalam kabin, suasana kembali sunyi.
Namun kali ini, semua tahu.
Diam itu lebih berat dari ledakan. Dan dinginnya... lebih tajam dari darah yang sudah tumpah malam ini.