Shanum dan Wira Wiguna sudah menikah selama 6 tahun dan memiliki seorang anak bernama Mariska namun kebahagiaan mereka harus diuji saat Niar, mertua Shanum yang sangat benci padanya meminta Wira menikah lagi dengan Aura Sumargo, wanita pilihannya. Niar mau Wira menikah lagi karena ingin memiliki cucu laki-laki yang dapat meneruskan bisnis keluarga Wiguna. Saat itulah Shanum bertemu Rivat, pria yang membuatnya jatuh cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Suasana Hangat
Rumah mewah keluarga Wiguna kini tampak seperti medan perang. Niar masih berdiri di tengah ruang tamu, napasnya memburu, rambutnya acak-acakkan. Maulida, asisten rumah tangga, terpojok di balik sofa, ketakutan yang jelas tergambar di wajahnya. Hampir semua barang di rumah ini hancur akibat ulah Niar. Vas bunga pecah di mana-mana, guci-guci porselen tergeletak dalam kepingan, bantal sofa berserakan di lantai, bahkan beberapa bingkai foto terlempar dari dinding. Niar, dalam kegilaannya, terus melampiaskan kemarahannya pada Maulida.
"Kau! Kenapa kau tidak becus?!" teriak Niar, suaranya parau karena terus-menerus berteriak. Ia menendang meja kaca di dekatnya, membuat meja itu bergeser dan menimbulkan suara gesekan keras. "Aku bilang cari dia! Cari Shanum! Kenapa kalian semua bodoh sekali?!"
Maulida hanya bisa terisak. "Maaf, Nyonya... Kami sudah berusaha..."
"Berusaha apa?! Usaha kalian hanya membuatku semakin marah!" Niar mengambil sebuah patung kecil dari meja samping dan melemparkannya ke arah Maulida. Patung itu menghantam dinding, meninggalkan bekas retakan yang jelas. "Aku tidak akan memaafkan kalian semua! Kalian akan tahu akibatnya!"
Aura kemarahan Niar yang menggelora memenuhi setiap sudut ruangan, membuat siapa pun yang ada di sana merasa tercekik. Ia berjalan mendekat ke arah Maulida, tangannya terangkat, siap untuk melayangkan tamparan lain.
Tepat pada saat itu, pintu utama terbuka dengan keras. Helmi masuk, wajahnya merah padam karena amarah yang tak kalah besar. Ia baru saja menyelesaikan urusan mendadak dan kembali ke rumah, hanya untuk menemukan pemandangan mengerikan ini.
"NIAR! HENTIKAN KEGILAAN INI SEKARANG JUGA!" bentak Helmi, suaranya menggelegar, lebih keras dari suara amukan Niar sebelumnya. Ia melemparkan kunci mobilnya ke meja begitu saja dan segera melangkah maju, menghalangi Niar yang siap menyerang Maulida.
Niar terkesiap, tangannya terhenti di udara. Ia menoleh ke arah Helmi, matanya masih menyalang. "Helmi! Kau lihat sendiri, kan?! Mereka semua tidak becus! Shanum sudah kembali! Wanita itu kembali!"
Helmi menatap istrinya dengan sorot mata penuh kekecewaan dan kemarahan. Ia mengabaikan perkataan Niar dan menatap lurus ke matanya. "Apa yang kau lakukan ini, Niar?! Lihat rumah ini! Lihat Maulida! Kau sudah kehilangan akal sehatmu! Ini adalah kegilaan!"
Ia memegang bahu Niar, mencoba mengguncang kesadaran istrinya. "Kau sudah keterlaluan! Kau menghancurkan semuanya! Bukan hanya barang-barang ini, tapi juga nama baik kita! Kau sudah membuat kekacauan yang tak bisa dimaafkan!"
Niar berusaha melepaskan diri dari pegangan Helmi, namun tenaga suaminya terlalu kuat. "Dia yang membuatku gila! Wanita itu! Shanum!" teriak Niar, kembali melampiaskan amarahnya pada Shanum yang tidak ada di sana.
Helmi hanya bisa menggelengkan kepala, merasa sangat putus asa. Ia tidak menyangka Niar bisa bertindak sebrutal ini. Rumahnya yang megah kini hancur lebur, bukan oleh bencana alam, melainkan oleh amukan istrinya sendiri.
****
Pagi hari di rumah Wira terasa berbeda. Suasana hangat dan penuh kebahagiaan menyelimuti setiap sudutnya. Di dapur modern yang lapang, Shanum bergerak dengan cekatan. Senyum tak lepas dari bibirnya saat ia menyiapkan sarapan. Aroma wangi nasi goreng kampung yang ditumis dengan bumbu pilihan memenuhi ruangan, berpadu dengan harum roti panggang dan kopi yang baru diseduh. Ada sentuhan khusus dalam setiap gerakannya, seolah ia menuangkan seluruh cintanya ke dalam masakan pagi itu.
Ia meletakkan tiga piring nasi goreng mengepul di meja makan, lengkap dengan telur mata sapi di atasnya dan taburan bawang goreng renyah. Di sampingnya, segelas susu segar untuk Mariska dan kopi hangat untuk Wira sudah tersaji rapi.
"Mariska, Mas Wira, sarapan sudah siap!" seru Shanum dengan suara ceria, memanggil suami dan putrinya.
Tak lama, Mariska muncul dari kamarnya, sudah rapi dengan piyama bergambar kelinci favoritnya. Matanya berbinar melihat hidangan di meja. "Wah, Mama masak nasi goreng! Asyik!" serunya riang. Mariska nampak berceloteh bahagia sambil melompat-lompat kecil menuju meja makan.
Wira menyusul di belakangnya, senyum mengembang di wajahnya melihat pemandangan indah di depannya. Kehangatan ini adalah yang paling ia rindukan. "Istriku memang yang terbaik," puji Wira seraya mencium kening Shanum. "Wanginya sudah bikin perutku keroncongan."
Shanum tertawa kecil. "Ayo cepat duduk, nanti keburu dingin."
Mereka bertiga duduk bersama. Mariska langsung menyantap nasi gorengnya dengan lahap, sesekali melirik ke arah Shanum dengan mata penuh sayang.
"Mama, tahu tidak?" Mariska memulai celotehnya, mulutnya penuh nasi. "Tadi malam Riska mimpi. Riska mimpi kita pergi ke taman bermain. Ada banyak perosotan tinggi sekali!"
Shanum mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali menyuapkan nasi gorengnya. "Oh ya? Pasti seru sekali, ya?"
"Iya! Terus, Papa juga ikut main! Papa malah lebih seru dari Riska!" Mariska tertawa kecil, melirik ke arah Wira yang tersenyum geli. "Nanti kalau Mama ada waktu, kita ke taman bermain sungguhan, ya?"
"Tentu saja, Sayang," jawab Shanum lembut, mengusap kepala putrinya. "Nanti kita pergi bertiga, ya."
Wira menatap Shanum, senyumnya tak lekang. "Mama kamu ini memang jagoan, Riska. Baru pulang langsung bikin sarapan enak seperti ini."
Shanum membalas senyum Wira, rasa syukur mengisi hatinya. Setelah semua yang terjadi, bisa kembali berkumpul dengan keluarga kecilnya, menikmati momen sederhana ini, adalah anugerah terbesar. Celotehan Mariska yang ceria dan tatapan penuh cinta dari Wira adalah pengingat bahwa kebahagiaan sejati ada di sini, dalam kebersamaan mereka. Sarapan pagi itu bukan hanya sekadar makanan, melainkan perwujudan cinta, kelegaan, dan harapan akan hari-hari yang lebih baik.
****
Pagi beranjak siang di rumah Wira. Setelah Wira berangkat bekerja dan Mariska diantar ke sekolah, Shanum mulai membereskan rumah. Ia menyapu remah-remah di bawah meja makan, merapikan bantal sofa, dan menyirami tanaman hias di teras. Ada ketenangan dalam setiap gerakannya, menikmati kembali rutinitas sederhana yang sempat hilang.
Namun, ketenangan itu tak bertahan lama. Tiba-tiba, bel pintu berbunyi berkali-kali dengan tidak sabar. Shanum mengerutkan kening. Siapa yang datang sepagi ini? Saat ia membuka pintu, jantungnya langsung mencelos. Di ambang pintu berdiri Niar, mertuanya, dengan wajah yang ditekuk masam dan sorot mata penuh amarah yang familier.
"Kau!" desis Niar, langsung menerobos masuk tanpa menunggu dipersilakan. Matanya menyalang tajam, menatap Shanum dari ujung rambut hingga ujung kaki dengan jijik. "Berani-beraninya kau kembali ke sini?!"
Shanum mundur selangkah, rasa takut langsung mencengkeramnya. Ia mencoba menenangkan diri. "Ma, tolong... Kenapa Mama datang lagi?"
"Kenapa? Kau pikir aku akan membiarkanmu hidup tenang setelah semua yang kau perbuat?!" Niar menggeram, suaranya rendah namun penuh ancaman. Wajahnya memerah padam. "Kau mempermalukan aku! Kau membuat Wira membentakku di depan semua orang!"
Niar melangkah mendekat, matanya tidak berkedip. "Kau tahu apa akibatnya, hah?! Kau pikir kau bisa lolos begitu saja setelah mempermainkan aku?!"
Sebelum Shanum sempat menjawab atau bahkan menghindar, tangan Niar terangkat dengan cepat. Dengan kekuatan penuh, Niar menampar Shanum dengan brutal. Suara tamparan itu nyaring, memekakkan telinga, membuat Shanum terhuyung ke samping. Pipi kirinya langsung terasa panas, perih, dan berdenyut.
Shanum memegang pipinya yang ditampar, matanya membelalak tak percaya. Ini jauh lebih buruk dari sebelumnya.
"Itu balasan karena kau sudah berani melawan aku!" teriak Niar, napasnya memburu. Ia tidak memberi Shanum kesempatan untuk bangkit atau bahkan sekadar menghela napas. Dengan tangan yang sama, Niar kembali melayangkan tamparan. Tamparan kedua mendarat telak di pipi kanan Shanum, tak kalah brutalnya dari yang pertama. Kepala Shanum terhempas ke samping, tubuhnya limbung.
"Kau pikir kau siapa?! Dasar wanita rendahan!" Niar terus menyerang, tanpa ampun. Ia menarik rambut Shanum, memaksanya mendongak, lalu menamparnya lagi berkali-kali di kedua sisi pipi. Rasa sakit yang luar biasa menjalar di seluruh wajah Shanum. Air mata mengalir deras, bercampur dengan rasa perih dan keputusasaan.
"Aku tidak akan membiarkanmu hidup tenang, Shanum! Kau akan menyesal sudah berani kembali!" ancam Niar, suaranya dipenuhi dendam kesumat yang membara. Shanum hanya bisa pasrah menerima setiap tamparan, tubuhnya gemetar ketakutan, berharap penyiksaan ini segera berakhir.