NovelToon NovelToon
Red Thread

Red Thread

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Seiring Waktu / Wanita Karir / Trauma masa lalu / Office Romance / Ibu susu
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: About Gemini Story

Lima tahun bukan waktu yang singkat untuk melupakan—terutama bagi Althea Reycecilia Rosewood, wanita dewasa berusia 27 tahun berparas cantik, dibalut pakaian casual yang membuatnya terlihat elegan, tatapan lembut dengan mata penuh kenangan. Setelah lama tinggal di luar negeri, ia akhirnya kembali ke Indonesia, membawa harapan sederhana 'semoga kepulangannya tak menghadirkan kekecewaan' Namun waktu mengubah segalanya.

Kota tempat ia tumbuh kini terasa asing, wajah-wajah lama tak lagi akrab, dan cerita-cerita yang tertunda kini hadir dalam bentuk kenyataan yang tak selalu manis. Namun, di antara perubahan yang membingungkan, Althea merasa ada sesuatu yang masih mengikatnya pada masa lalu—benang merah yang tak terlihat namun terus menuntunnya kembali, pada seseorang atau sesuatu yang belum selesai. Benang yang tak pernah benar-benar putus, meski waktu dan jarak berusaha memisahkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon About Gemini Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tak Butuh Izin Mencintai

Pagi itu, sinar matahari menembus tirai putih tipis yang menggantung di jendela-jendela besar mansion Al yang elegan. Udara segar dari taman belakang membawa aroma rumput basah yang lembut, menyatu dengan wangi kopi hangat dan roti panggang yang baru keluar dari toaster.

Di ruang makan utama yang luas dan bergaya klasik modern itu, sebuah meja makan panjang berlapis marmer putih berdiri megah di tengah ruangan. Kursi-kursi ukiran kayu cokelat gelap dengan bantalan beludru abu menghiasi sekelilingnya. Suasananya tenang dan hangat.

Al duduk di ujung meja sebelah kiri, mengenakan kemeja santai warna biru muda yang lengannya digulung hingga siku. Ia tengah menyesap kopi dari cangkir putih porselen sambil membuka beberapa dokumen ringan yang tadi dibawa dari ruang kerja pribadinya.

Di sisi kanan meja, agak ke tengah, duduk Thea dengan blouse satin lembut warna sage dan rambut diikat setengah ke belakang. Wajahnya masih segar, meskipun semalam pulang cukup larut. Di sebelah kanan Thea, terdapat baby chair modern berwarna netral yang di dalamnya duduk Baby Cio—bayi mungil mereka yang kini sudah berusia 5 bulan lebih, masih dalam masa ASI eksklusif.

Di atas meja di depan Baby Cio, terdapat botol susu bayi berisi ASI perah yang telah dihangatkan sebelumnya. Tangannya yang kecil memegang sisi botol dengan bantuan tangan Thea yang setia menyangganya. Baby Cio tampak tenang, matanya fokus pada wajah Mommy-nya, sambil sesekali menggoyangkan kakinya kecil di udara.

Al memperhatikan sejenak, lalu tersenyum tipis. “Cio udah makin besar, nggak kerasa ya,” gumamnya sambil melirik Thea.

Thea terkekeh sambil mengusap lembut kepala Baby Cio. “Bener banget. Padahal rasanya baru kemarin dia masih bayi kecil.”

Setelah beberapa menit sarapan dalam kehangatan keluarga, Thea membuka suara, nadanya lembut tapi jelas. “Al… nanti sore aku diajak dinner di mansion keluarga Roland. Mommy dan Daddy Joseph baru pulang dari Roma.”

Al yang tadinya hendak mengangkat cangkirnya, menunduk dan menarik napas pelan. “Hari ini…” gumamnya pelan. “Sepertinya aku nggak bisa anter kamu dan Cio. Ada pekerjaan yang harus aku selesaikan sore ini. Meeting sama investor Jepang.”

Thea langsung mengangguk pelan. “It’s okay, Al. Aku dan Baby Cio bisa pulang sendiri. Jangan khawatir, fokus saja sama pekerjaanmu.”

Namun Al langsung menatapnya, serius. “Nggak, aku tetap mau jemput kalian. Aku nggak tenang kalau kalian pulang sendiri malam-malam. Aku akan susul kalian ke mansion Roland, dan pulang bareng. Titik.”

Thea terdiam sejenak, lalu mengangkat bahu pasrah sambil tersenyum kecil. “Baiklah. Tapi janji, jangan memaksakan diri ya. Aku nggak mau kamu kelelahan.”

“Aku janji,” sahut Al tegas.

Setelah menyelesaikan sarapannya, Al bangkit, lalu berjalan ke arah baby chair. Ia membungkuk dan mengecup dahi Baby Cio yang masih menyusu pelan dari botol. “Daddy kerja dulu ya, baby boy. Jaga Mommy baik-baik.”

Kemudian ia menoleh ke Thea, membungkuk sedikit dan mengecup pelipisnya. “Aku berangkat. Jangan lupa kabari aku kalau sudah sampai nanti.”

Thea mengangguk, “Iya. Hati-hati, Al.”

Dengan langkah pasti dan rapi, Al berjalan keluar dari ruang makan, menenteng map kerjanya. Pintu utama tertutup pelan, dan suasana kembali tenang. Thea lalu memandangi Baby Cio yang menatapnya dengan mata bulat jernihnya, lalu tersenyum.

“Nanti kita ketemu keluarga besar Mommy ya, sayang… semoga nggak terjadi apa-apa,” gumamnya sambil mengangkat Baby Cio dari kursinya, mengayunnya pelan. Matahari terus meninggi, menandai dimulainya hari baru bagi keluarga kecil itu.

♾️

Malam itu, mansion keluarga Roland dipenuhi kehangatan semu. Lampu-lampu gantung kristal menyala terang di langit-langit tinggi ruang keluarga yang luas. Kursi dan sofa empuk dengan upholstery krem tersusun rapi, melingkari satu titik utama di tengah ruangan. Di sana duduk semua anggota keluarga besar—kumpul lengkap seperti yang diminta oleh Daddy Joseph.

Galen duduk berdampingan dengan istrinya, Rebecca. Kedua anak kembar mereka, Alexander dan Alexandra, berlarian kecil di karpet lembut tak jauh dari sana, bermain dengan boneka dan mobil-mobilan. Carlos dan Angel istrinya duduk sedikit ke belakang, dengan Carlos yang menggendong putra kecilnya, Darren, yang tertidur pulas bersandar di bahunya. Sharon dan Mellody, saudari tiri Thea, duduk berdampingan di sisi kanan, sesekali saling berbisik. Joseph duduk di kursi tunggal kepala keluarga, sementara Dayana—elegan dan dingin seperti biasanya—berdiri di dekat perapian, pandangan tajamnya tak lepas dari satu sosok, Thea.

Di sisi lain ruangan, Thea duduk dengan tenang, namun tegang. Baby Cio tertidur nyenyak dalam stroller di sebelahnya, selimut tipis menutupi tubuh mungilnya. Tangannya mengelus kepala bayinya dengan lembut, sebagai bentuk pertahanan dalam diam.

“Ada yang bisa kamu jelaskan kepada Daddy dan yang lainnya, Thea?,” ucap Joseph memecah keheningan.

“Aku minta maaf kalau ini mendadak, tapi aku ingin kalian tahu langsung dariku. Namanya Abercio, tapi kupanggil Cio. Dia... anak yang kuadopsi secara resmi. Dan aku akan membesarkannya.” Jawab Thea dengan suaran tenang, tapi sarat beban.

Suasana seketika menjadi hening. Tak ada yang bergerak. Semua kepala beralih menatap Thea. Wajah Dayana membeku sejenak sebelum akhirnya berubah menjadi kemarahan yang meledak.

“APA?!” Dayana bangkit dari duduknya dengan suara tinggi yang menusuk. “Kamu adopsi anak?! Tanpa izin siapa pun? Tanpa bicara pada mommy dulu?! Apakah kamu masih menggap mommymu hidup?!”

'Sebenarnya siapa yang tidak menganggap siapa' Batin Thea sesak dalam diam.

“Aku sudah terbiasa melakukan apapun sendirian selama ini. Bahkan mengambil keputusan untuk hidupku. Ini hidupku. Dan aku sudah memikirkannya matang-matang,” ucap Thea tenang, walau tangan di pangkuannya mengepal.

Dayana menunjuk ke arah Thea dengan gerakan cepat dan marah. Suaranya tinggi, menggema di seluruh ruang. “Apa kamu pikir kamu siapa bisa seenaknya membuat keputusan sebesar itu?! Kamu selalu begini, Thea! Bertindak sendiri, merasa paling benar, dan tak pernah pikirkan keluarga!”

'Keluarga ?' Thea tertawa dalam diam. Suasana mendadak sunyi kecuali sesak dan emosi samar dari Thea yang berusaha ditahannya.

“Lo bahkan belum menikah!” Sharon langsung menimpali dengan nada sinis, melirik ke arah stroller. “Bagaimana bisa Lo mengasuh anak, sementara lo sendiri bahkan gagal bangun hubungan!"

“Iya, bahkan pacar pun nggak punya, sekarang sok jadi ibu? Gimana sih logikanya?” Mellody menambahkan dengan senyum mengejek. “Gila aja. Baru juga balik dari luar negeri, sekarang udah sok jadi ibu. Kamu pikir hidup itu drama Korea? Mau ngasih image penyayang biar kelihatan sempurna? Kasihan anak itu nanti malah jadi korban, tau nggak?”

Dayana melirik Thea tajam. “Kurang apa mommy membebaskanmu diluar negeri selama bertahun-tahun tanpa pernah pulang ? Sekarang kamu pulang-pulang bawa anak tanpa ayah? Ini bukan hal yang bisa kamu putuskan sendiri!”

Kata-kata itu menusuk Thea seperti duri. Ia menarik napas bergetar, berusaha tetap tegak meski pandangan Dayana yang menyala menindih dadanya. Bukankah mommynya seharusnya tau persis mengapa ia lebih memilih keluar negeri? Dirinya hancur, lelah karena dinginnya keluarga, daddynya meninggal, dirinya juga kecewa karena seseorang yang Thea sebut 'Rumah' pergi meninggalkannya dan setahun kemudian mommynya menikah lagi. Lalu apakah masih ada arti 'Pulang' untuk Thea?

“Cukup, semua cukup!” Joseph akhirnya bersuara, tapi Dayana tak peduli.

“ Thea! Jadi ibu bukan hail untuk main-main! Kamu kira membesarkan anak itu cuma soal kasih sayang?!” Sahut Dayana dengan suara yang sedikit melunak, namun tangannya mengepal.

“Aku tidak pernah ingin menyusahkan siapa pun. Aku memilih jalan ini karena aku tahu aku bisa mencintai anak ini. Aku tidak butuh izin untuk mencintai.”

Matanya mulai berkaca-kaca, namun ia tetap berdiri tegak., dadanya sesak. Tapi sebelum ada yang menjawab, pintu utama terbuka. Suara langkah tegas terdengar mendekat, lalu muncullah sosok Aleron Rafael Moonstone—dengan setelan kerja yang masih rapi, wajah lelah namun matanya menyala penuh determinasi. Ia langsung melihat Thea, dan kemudian seluruh ruangan. Semua mata kini tertuju padanya.

“Maaf terlambat.” katanya, suaranya Suaranya tenang, tapi nadanya penuh perlindungan.

Ia menatap tajam ke arah semua orang di ruangan, lalu bicara.

“Kalian semua sibuk berteriak soal keputusan Thea. Seberapa banyak kalian benar-benar mengenal Thea? Seberapa banyak kalian peduli saat ia berjuang sendirian? Seberapa banyak kalian tahu bagaimana proses hidupnya? Kalian hanya peduli pada hasil. Kalian hanya peduli pada reputasi. Tapi kalian tidak pernah peduli pada perasaannya.”

Tak ada yang berani menyela. Suara Al tajam, tetapi penuh pengendalian.

“Keputusan mengadopsi anak ini bukan keputusan impulsif. Aku di sana. Aku tahu semua prosesnya. Dan aku memilih untuk ikut bertanggung jawab. Karena Thea tidak sendiri.” Al menatap tajam Sharon dan Mellody. “Dan soal belum menikah—itu akan segera berubah. Karena aku yang akan menikahi Thea.”

“Kalian semua sibuk berteriak soal keputusan Thea. Tapi seberapa banyak dari kalian yang tahu proses hidupnya? Siapa yang pernah benar-benar hadir untuk Thea selama ini? Kalian hanya peduli ketika keputusan Thea tidak sesuai ekspektasi kalian, tapi kalian tak pernah peduli pada rasa sakitnya.”

Dayana membuka mulut, tapi Al menatapnya langsung.

“Anda ibu kandungnya, Nyonya Dayana. Tapi pernahkah Anda melihat Thea sebagai individu, bukan sebagai bayangan dari keluarga ini? Dia terluka bertahun-tahun, berjuang sendiri, dan kalian semua di mana?”

Sharon mendengus. “Dia juga yang pergi sendiri ke luar negeri, nggak ada yang usir.”

“Oh, jadi kalian pikir tidak ikut menyakitinya?” Al berbalik cepat. “Lo dan Mellody sibuk mencibir dan menghakimi, padahal kalian bahkan tak tahu rasanya tumbuh dengan luka yang dia simpan.”

Mellody melipat tangan. “Dan sekarang lo siapa? Sok jadi pahlawan? Kami saudara perempuannya, kamu cuma orang luar.”

Al tak bergeming.

“Gue bukan orang luar. Gue calon suami Thea. Dan gue akan membesarkan Cio bersama Thea. Karena gue tahu seperti apa wanita ini—kuat, penuh cinta, dan layak jadi ibu. Lebih dari siapapun di ruangan ini yang cuma tahu menghakimi.”

Suasana membeku. Galen yang sedari tadi diam akhirnya bicara.

“Aku tahu Thea bukan tipe yang akan ambil keputusan gegabah. Aku dan Rebecca sudah tahu sejak awal soal Cio.” Kata Galen sambil menatap Joseph dan Dayana. "Dan Lo Thea, terserah kalau ini keputusan lo" Lanjut Galen menatap Thea,

Rebecca mengangguk. “Hidup Thea adalah tanggung jawabnya. Aku yakin dia pasti bisa mempertanggungjawabkannya"

Carlos masih diam. Ia menatap Thea lama, lalu akhirnya mengangguk pelan, memberi isyarat bahwa ia menghargai pilihan kakaknya meski tak ikut bicara.

Joseph berdiri.

“Sudah cukup.” Suaranya menggetarkan ruangan, tapi tenang dan berwibawa. “Thea… selama ini kamu sudah banyak menderita. Tapi hari ini kamu membuktikan bahwa kamu sangat hebat melawan kerasnya kehidupan. Kamu memilih untuk mencintai, untuk bertanggung jawab, dan itu tidak semua orang bisa. Maafkan Daddy ya nak” Ucap Joseph tulus menatap Thea dengan mata berkaca-kaca.

Ia menatap ke arah Dayana yang masih diam, lalu ke Sharon dan Mellody yang tertunduk tak rela.

Joseph akhirnya angkat suara lagi, "Dayana, anak ini bukan hanya anak siapa-siapa. Ini keputusan Thea. Ia tumbuh menjadi wanita kuat yang memilih mencintai dan memberi rumah untuk seorang anak kecil yang tak punya siapa-siapa. Bukankah itu seharusnya dibanggakan?”

Dayana masih tampak marah, tapi kini lebih tertahan. Ia duduk kembali, diam, matanya tidak bisa lepas dari stroller tempat Cio terlelap.

“Kalau kita benar-benar keluarga, kita harus bisa menghargai pilihan masing-masing. Meskipun kita tidak setuju, bukan berarti kita berhak mencabik harga diri seseorang.”

Suasana mulai melunak—walau dingin tetap terasa. Thea menatap Joseph dengan mata berkaca-kaca, tak menyangka ayah tirinya yang dulu terasa jauh kini jadi orang pertama yang berdiri di sisinya.

Al lalu menggenggam tangan Thea. “Ayo, waktunya pulang.”

Thea mengangguk. Mereka berjalan meninggalkan ruangan dengan stroller Baby Cio yang masih terlelap.

Beberapa menit kemudian, Galen dan Rebecca juga berpamitan, lalu disusul Carlos dan Angela. Sementara di ruang keluarga, Dayana duduk diam, mata menatap kosong ke arah pintu yang baru saja ditutup oleh putrinya—putri yang ternyata sudah menjadi wanita yang jauh lebih kuat dari bayangan siapa pun.

Kalau kamu ingin versi lanjutan tentang reaksi Dayana setelah malam itu, atau respons emosional Thea di perjalanan pulang, aku bisa bantu buatkan.

♾️

Malam itu, langit kelabu menyisakan sisa gerimis yang mengaburkan pantulan lampu kota di kejauhan. Di dalam mobil hitam yang melaju pelan menyusuri jalanan, suasana terasa senyap namun sarat makna. Cahaya lampu jalan memantul lembut pada kaca mobil, menciptakan bayang-bayang halus di dalam kabin.

Thea duduk bersandar dengan tubuh sedikit miring, mendekap erat Baby Cio yang tertidur pulas dalam pelukannya. Wajah mungil itu terlelap dengan damai, tangan kecilnya mencengkeram ujung cardigan Thea seolah tak ingin jauh. Thea menatap bayi itu lama sekali, jantungnya terasa nyeri namun hangat. Matanya sudah sembab sejak meninggalkan mansion keluarga Roland. Meski tak menangis deras, air mata sesekali jatuh tanpa suara, membasahi pipinya perlahan.

Al duduk di sampingnya, memperhatikan Thea dalam diam. Jemarinya yang menggenggam kemudi sesekali melonggar, tak ingin mengganggu keheningan yang dibutuhkan Thea saat ini. Tapi ia juga tahu, jika dibiarkan terlalu lama sendiri, perempuan itu akan kembali menutup rapat dirinya. Maka ketika Thea menghela napas panjang, Al perlahan memindahkan tangannya, menggenggam lembut tangan Thea yang bebas.

Thea tersentak kecil tapi tak menolak. Justru genggaman itu seperti memecah semua pertahanan terakhirnya. Ia memejamkan mata sejenak, menahan gejolak di dadanya, lalu perlahan bersuara, nyaris seperti bisikan.

“Aku capek, Al…”

Al hanya mempererat genggamannya, tak menyela.

“Capek… selalu harus kuat… selalu harus waras... selalu harus bisa menjelaskan semuanya dengan kepala dingin... padahal kadang aku cuma ingin didengar tanpa dihakimi.”

Suaranya parau, lirih tapi jelas. Ia menunduk, menatap jemari mungil Cio yang masih tertaut pada bajunya.

“Mereka pikir aku keras kepala. Mereka pikir aku ambil keputusan gegabah. Tapi mereka nggak pernah benar-benar mau tahu alasannya. Aku takut Cio tumbuh merasa asing... sendiri... seperti aku dulu.”

Al menoleh. Matanya tajam menatap wajah Thea yang kini perlahan menoleh ke arahnya. Wajah itu lelah, tapi dalam mata cokelat teduhnya ada nyala—cinta, keberanian, dan luka yang dalam.

“Aku hanya ingin Cio merasa cukup... dicintai... dilindungi. Aku nggak mau dia merasa nggak ada tempat yang bisa disebut rumah.”

Al menarik napas panjang, lalu membungkuk sedikit, menyentuh pelipis Thea dengan lembut, dan berkata, “Dia sudah punya rumah. Di sini,” ujarnya sambil menempelkan jemarinya ke dada Thea. “Dan di sini.” Ia kemudian menyentuh dadanya sendiri.

Thea terdiam, menatapnya dalam.

Setelah beberapa saat, Thea bersuara lagi, kali ini suaranya lebih tenang meski masih bergetar.

“Besok… aku mau ke makam Daddy, Opa, dan Oma…”

Al mengangguk perlahan, matanya tak lepas dari wajah Thea. “Aku antar. Besok kita pergi sama-sama.”

Seketika itu, genggaman tangan mereka menjadi lebih erat. Al tak hanya menggenggam tangan Thea—ia menggenggam lukanya, kelelahan hatinya, juga tekad dan cintanya.

Malam terus bergulir, lampu-lampu jalan berlalu perlahan. Tapi di dalam mobil itu, meski tak banyak kata terucap lagi, sebuah janji sudah lahir diam-diam, janji untuk terus melangkah bersama.

1
Stella
Bagus banget, jadi mau baca ulang dari awal lagi🙂
About Gemini Story: wahhh terimakasih kak 🤗 sehat selalu ya kak🤗
total 1 replies
Jena
Ga nyesel banget deh kalo habisin waktu buat habisin baca cerita ini. Best decision ever!
About Gemini Story: wahh terimakasih kak 🤗 aku seneng ada yang suka sama cerita aku hehe ☺️ sehat dan bahagia selalu ya kak 🤗
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!