Red Thread
Suara roda koper menggema lembut di lantai marmer bandara Soekarno-Hatta diantara hiruk pikuk keramaiannya. Althea Reycecilia Rosewood menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan debar jantungnya yang tidak biasa. Lima tahun—terlalu lama untuk menyebut ini hanya sekadar kunjungan. Ini adalah pulang.
Udara Jakarta menyambut dengan kehangatan tropis yang khas. Bukan hanya suhu yang membuat kulitnya terasa berbeda, tapi juga aroma udara yang membawa kenangan—tentang masa remajanya dulu, tentang tawa, dan tentang luka yang belum sempat sembuh sepenuhnya. Ya, sehari setelah kelulusan sarjananya Althea memilih untuk pergi keluar negeri tepatnya ke London, Inggris untuk bekerja disana, ralat atau mungkin itu hanya kata penenang untuk menghindari sesuatu.
Althea menoleh ke kiri dan kanan, matanya mencari wajah-wajah yang dulu begitu familiar. Dan di tengah keramaian terminal kedatangan, tiga sosok berlari kecil ke arahnya.
“ALTHEAAA!” suara tinggi nan nyaring itu datang dari Charlene Ester Smith, yang dengan gaya khasnya melambai-lambaikan tangan seperti kipas angin.
Sebelum Althea sempat menanggapi, Charlene sudah menerjangnya ke dalam pelukan erat. “Lo cantik banget, sumpah! Kayak keluar dari majalah Vogue! Tapi… ya ampun, lima tahun, Thea! Lo jahat, lo ngilang!”
Althea tertawa, memeluk balik sahabatnya itu. “Hati-hati Char. Gue enggak ngilang. Cuma... hilang arah sebentar. Biasa quarter life crissis”
Rosseane Gwen Nixon menyusul dari belakang, langkahnya tenang, senyumnya hangat. “Akhirnya lo pulang juga. Welcome home, Althea.”
“Thanks, Rose,” kata Althea lembut. Pelukannya dengan Rosseane jauh lebih tenang, seperti memeluk rumah yang selalu ada di sana, menunggu dengan sabar.
Dan terakhir, Ellenora Joy Hubbert—dengan rambut cokelat panjang dan jaket denim favoritnya—mengangkat alis. “Kalau ini mimpi, jangan bangunin gue. Lo beneran di sini, Thea? Bukan hologram?”
Althea tersenyum lebar. “Ngaco Lo, gue daging dan darah, El. No CGI.”
“Gue suka versi lo yang nyata.” Ellenora memeluknya singkat tapi hangat. “Welcome back in real life my sister.”
Mereka tertawa bersama, suara tawa yang langsung terasa seperti dulu. Di tengah keramaian bandara, empat perempuan berdiri dalam lingkaran yang utuh kembali, meski tak sepenuhnya sama. Mereka telah tumbuh, berubah, menghadapi hidup masing-masing. Tapi sesuatu di antara mereka tetap bertahan—ikatan yang tak hilang oleh waktu atau jarak.
Charlene merangkul bahu Althea. “Oke, kita langsung ke tempat makan favorit kita. Lo pasti kangen Seafood Bang Tagor, kan?”
“Dan es teh manis yang ga terlalu manis,” tambah Ellenora.
Rosseane menyelipkan tangan ke lengan Althea. “Kita punya banyak cerita untuk dikejar. Tapi pelan-pelan aja. Malam ini cuma soal menyambut Lo pulang.”
Althea menatap ketiga sahabatnya dengan mata yang mulai basah. “Gue harap… gue enggak salah pulang.”
Charlene menepuk-nepuk punggungnya. “Selama lo pulang ke kita, itu enggak akan pernah salah.”
Mereka berjalan keluar dari bandara bersama, langkah-langkah kecil menuju awal yang baru. Althea tak tahu apa yang menantinya di kota ini—yang jelas, ia tidak sendirian.
♾️
Mobil Ellenora melaju lincah membelah malam Jakarta yang tak pernah benar-benar tidur. Jendela setengah terbuka membawa angin lembut masuk ke dalam, bersama dengan suara musik dari radio yang mengalun pelan. Althea duduk di kursi penumpang depan, sesekali menatap keluar, memandangi kota yang berubah tapi tetap terasa akrab. Billboard, lampu jalan, warung tenda—semuanya seperti potongan puzzle dari ingatan yang lama tak tersentuh.
"Tempatnya masih ada, Thea. Lo bakal seneng," kata Ellenora dari kursi belakang, sambil mengunyah permen karet. "Seafoodnya sekarang tambah rame, tapi masih murah dan enak."
"Lo sih cuma kangen Bang Tagor yang suka ngasih lo diskon karena lo genit," sela Charlene dengan mata melirik ke kaca spion.
“Bukan genit, itu namanya bersosialisasi,” jawab Ellenora sambil tersenyum nakal. Tawa mereka pecah ringan. Rosseane yang duduk di samping Ellenora hanya tersenyum, tangannya sibuk membalas pesan di ponselnya.
Mereka akhirnya tiba di sebuah warung kecil di pojok jalan yang tak terlalu ramai. Warung itu sederhana, dengan lampu kuning temaram dan meja-meja kayu yang sudah aus dimakan waktu. Tapi di mata keempat sahabat itu, tempat itu adalah harta karun—penjaga cerita lama yang belum selesai.
"Masih sama," gumam Althea saat duduk di bangku kayu yang sedikit berderit.
"Tempat ini enggak akan pernah berubah," kata Rosseane sambil meletakkan tas di pangkuannya.
"Sama kayak kita." Charlene menyeringai.
"Ya... sebagian dari kita."
Malam itu, di sebuah warung seafood sederhana pinggir jalan. Lampu bohlam kuning bergelantungan di atas tenda biru yang sedikit berkibar karena angin malam. Asap dari bakaran cumi dan kepiting menggoda penciuman siapa pun yang lewat. Mereka duduk di bangku plastik, meja bundar dari besi ringan, dengan alas kertas cokelat yang sudah sedikit basah oleh saus tiram dan cangkang kerang.
“Sumpah ya, gue kangen banget makan kayak gini bareng kalian,” gumam Thea, menyeka saus dari sudut bibirnya dengan tisu. Ia tampak lebih rileks malam itu, hoodie-nya digantikan dengan blouse santai dan rambut digerai seadanya.
“Lo pikir kita gak kangen?” balas Elenora sambil memecah capit kepiting.
“Kita kayak grup band yang ditinggal vokalisnya tiba-tiba waktu mau manggung.”
Rose mengangguk dramatis. “Dan ngomongnya H-1 lagi. Ngotak dikit lah! Seenggaknya H-30 gitu.”
Thea menunduk. “Gue tahu... dan gue minta maaf.”
Charlene mengangkat kepalanya dari piring kerang. “Lo masih inget gak, pas kita anter lo ke bandara?”
Thea mengangguk perlahan. “Terlalu jelas sampai gue berdoa minta gue lupa. Tapi gak bisa.”
“Gue inget lo pakai hoodie abu-abu, rambut lo dikuncir seadanya,” ujar Elen sambil menyeka tangannya.
“Muka lo kayak… orang hidup enggan mati pun enggan.”
Thea menarik napas. “Karena emang iya. Gue nyerah. Bukan karena gue gak sayang kalian, tapi gue gak bisa ngadepin hidup gue waktu itu. Gue takut kalau gue gak pergi, gue bakal makin hancur.”
Hening sejenak.
Hanya suara penggorengan dari dapur kecil di belakang mereka dan musik dangdut sayup-sayup dari tenda sebelah.
Rose menyandarkan dagunya di tangan. “Lo tahu gak, Thea… hari itu setelah lo masuk ke dalam, Elen nangis. Charlene diem seharian. Gue marah-marah ke siapa aja. Kita kehilangan lo, tapi kita juga ngerti... lo pergi buat bertahan.”
Thea tersenyum kecil. Matanya berkaca-kaca. “Waktu itu… gue gak bisa bilang apa pun. Karena kalau gue ngomong lebih banyak, gue takut gue batal naik pesawat.”
“Dan lo gak akan jadi Thea yang sekarang. Yang lebih kuat. Lebih… hidup” ujar Charlene sambil menatapnya lembut.
Thea menatap ketiganya. “Gue gak janji jadi sempurna. Tapi sekarang gue balik bukan buat kabur. Gue balik karena gue udah cukup kuat buat hadapin semuanya.”
Elen menjulurkan tangan, menggenggam tangan Thea. “Kita gak pernah butuh lo jadi sempurna. Kita cuma butuh lo tetap ada.”
Rose mengangguk. “Dan jangan pernah pergi lagi ninggalin kita.”
Mereka semua tertawa pelan, sambil mengangkat gelas berisi es teh manis yang sudah mulai encer.
“Cheers buat hidup yang baru, dan pertemanan yang gak pernah kadaluarsa,” ujar Charlene sambil tersenyum.
“Cheers,” sahut mereka serempak.
Di tengah kota Jakarta yang tak pernah tidur, di bawah langit malam yang lembap dan penuh asap, mereka duduk bersama. Bersama luka yang pernah ada, dan harapan yang perlahan kembali tumbuh.
Beberapa menit berlalu dalam percakapan ringan, sebelum suasana mulai melambat. Althea tahu, cepat atau lambat, pertanyaan itu akan datang. Dan benar saja, Rosseane-lah yang pertama membukanya dengan nada halus.
“Jadi, Thea... kenapa baru sekarang pulang?”
Althea menatap minumannya sejenak. Es yang mengapung di permukaan gelas tampak seperti waktu—mencair perlahan, tak bisa dicegah.
“Sayang mau ninggalin kerjaan disana, banyak bule ganteng lagi" jawabnya sambil terkekeh.
“Dulu gue pergi karena merasa nggak punya tempat di sini. Tapi... ternyata rasa asing itu juga nggak hilang meski sejauh apa pun gue pergi.” lanjutnya langsung merubah wajahnya sendu.
“Rasa asing karena... dia?” tanya Ellenora, nadanya hati-hati.
Althea tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap ke kejauhan. Ke arah jalan yang kosong. Seolah sedang melihat bayangan seseorang di sana.
“Bukan cuma karena dia. Tapi dia bagian besar dari alasannya.” Ucapnya pelan.
Charlene meletakkan sendoknya. “Kalau ketemu lagi, lo bakal ngomong sesuatu ke dia?”
“Gak tahu,” Althea mengangkat bahu. “Mungkin... nggak perlu.” lanjutnya
Diam sejenak mengisi meja itu. Tapi bukan diam yang canggung—lebih seperti ruang bagi masing-masing dari mereka untuk merenung.
Rosseane akhirnya bicara.
“Kalau lo udah berani balik, berarti lo udah cukup kuat buat ngadepin apa pun. Termasuk masa lalu. BTW lo tinggal ke mansion Rosewood atau Roland? ”
Althea menatap Rosseane dan tersenyum tipis. “Gue tinggal diapart.” ucap Thea membuat teman-temannya mengangguk pelan memahami keadaan Althea. Bahkan mereka tak sanggup membayangkan hidup menjadi Althea. Menjadi sosok yang kuat dan tak mau merepotkan orang lain.
Rose duduk di samping Althea, meletakkan sehelai tisu basah ke tangan sahabatnya yang dari tadi tampak lebih banyak tersenyum lembut daripada tertawa lepas seperti biasanya.
“Lo masih inget gak sih,” ujar Charlene sambil menyeruput kelapa muda, “waktu Thea tiba-tiba ngomong mau pindah ke London? Kita semua lagi disini juga kan?”
Rose tertawa kecil. “Yang bikin kaget itu bukan lo pindah, Thea. Tapi lo ngomong sambil nyabutin daging kerang, terus mukanya datar banget. ‘Gue besok ke London’ gitu doang, pergi ke London berasa kek ke Bekasi.”
Thea mengulas senyum tipis. “Emang harus dramatis biar enak, gitu?”
Elenora menyipitkan mata. “Lo tuh kebiasaan dari dulu, Thea. Sekali ngomong, isinya kayak bom.”
Althea menunduk sejenak, lalu menatap langit senja yang mulai redup. “Sorry guys, saat itu... cuma itu satu-satunya jalan yang bisa gue pilih. Gak banyak yang bisa gue pegang di sini. Dan kalau bukan karena beasiswa s2 dan ke terima jadi jewelry designer, mungkin gue juga gak jadi ke sana.”
Rose meraih tangan Althea di bawah meja, menggenggamnya hangat. “Tapi lo berhasil. Dan sekarang balik. Gimana rasanya balik lagi?”
Thea menghela napas, mencelupkan udang ke saus dan memutar-mutar sendoknya.
“Aneh. Rasanya kayak semua orang udah jalanin hidup masing-masing. Kayak lo semua... udah punya ritme sendiri. Gue balik dan... ngerasa kayak tamu.”
Charlene meletakkan sendoknya dan menatap serius. “Thea, lo gak pernah jadi tamu. Lo bagian dari kita. Meskipun waktu dan tempat misahin, tapi hati kita tetap nyambung.”
Elen menimpali sambil menyeruput es teh. “Dan lo bukan cuma bagian dari lingkaran ini, tapi juga bagian dari kenangan banyak orang, Thea. Masa remaja kita gak akan lengkap tanpa lo. Inget gak waktu kita kabur ke Puncak tanpa izin buat nonton meteor shower?”
Thea tertawa kecil. “Itu ide paling bodoh dan paling indah yang pernah kita lakukan. Gue masih inget gimana kita kedinginan karena lupa bawa jaket.”
Rose tertawa, lalu mengangguk. “Dan lo... satu-satunya yang bawa termos teh panas. Lo selalu mikir jauh ke depan.”
Thea menyeringai pelan. “Sekarang pun gue masih mikir jauh ke depan. Tapi bedanya... sekarang gue takut kalau masa depan gue kosong.”
Hening sesaat menyelimuti meja. Lalu Charlene berkata, dengan nada tenang namun penuh arti, “Lo gak sendiri sekarang. Kita semua masih di sini. Bahkan kalau dunia berubah, kita tetap jadi tempat pulang.”
Althea memandangi satu per satu wajah teman-temannya. Senyum mereka tak berubah—mereka tumbuh, tapi tidak melupakannya.
“Terima kasih...” bisiknya nyaris tak terdengar.
Di sini meja yang sama, tempat cerita lama pernah tumpah ruah, mereka tahu, kepulangan Althea bukan sekadar reuni. Itu adalah awal dari sesuatu yang belum selesai. Sesuatu yang menunggu untuk dihadapi, entah dalam bentuk penyesalan, pengampunan, atau… cinta yang belum benar-benar usai.
♾️
Langit Jakarta malam itu tampak muram. Gerimis tipis menari di balik jendela kaca apartemen yang baru kembali ia kenali. Althea Reycecilia Rosewood baru saja pulang ke Indonesia setelah empat tahun di luar negeri. Tidak ada pesta sambutan. Tidak ada pelukan hangat keluarga. Bahkan ia tidak mampir ke mansion keluarga Roland, tempat tinggal ibunya sekarang ataupun mansion keluarga Rosewood—rumah masa kecilnya—sebab hatinya terlalu lelah untuk kembali ke tempat yang kini terasa asing.
Begitu sampai di apartemennya, ia langsung melepaskan sepatunya, mengganti pakaian, lalu membiarkan air hangat dari shower menyapu tubuhnya yang letih. Seolah hendak meluruhkan segala sisa luka yang selama ini ia tahan dalam diam.
Setelahnya, ia berjalan menuju balkon, membuka pintu geser kaca, dan berdiri menatap jalan kota yang masih ramai oleh lampu kendaraan dan bunyi klakson. Angin malam menerpa kulitnya yang dingin. Namun tubuhnya bukan satu-satunya yang dingin—hatinya pun demikian. Pandangannya kosong, menyusuri kerlap-kerlip lampu kota, tapi pikirannya tenggelam dalam kenangan yang tak kunjung pergi.
Ayah kandungnya, Antonio Rosewood, telah meninggal beberapa bulan sebelum ia wisuda sarjananya. Sejak itu, hidupnya terasa lebih asing. Keluarga yang dulu sudah dingin sekarang malah bertambah asing. Sang ibu, Dayana Rosewood—atau kini Dayana Roland—memilih melanjutkan hidup dengan menikah lagi bersama Josep Roland. Sosok pria yang sebenarnya baik, namun tetap tak bisa mengisi kekosongan dalam diri Althea.
Kakak kandung Althea, Galen Aglen Rosewood, yang berusia lima tahun lebih tua darinya, sudah lama menjalani kehidupan keluarga yang utuh. Ia menikah dengan Rebecca Diandra Rosewood dan kini menjadi ayah dari anak kembar berusia lima tahun, Alexander Acello Rosewood dan Alexandra Acella Rosewood.
Tak hanya itu, Althea juga memiliki tiga saudara tiri. Carlos Gio Roland, anak pertama dari pernikahan Josep dan mendiang istrinya, Leny Roland. Carlos tiga tahun lebih tua darinya, dan sudah menikah dengan Angela Rea Roland, dan ayah seorang putra berusia tiga tahun bernama Darren Zio Roland.
Lalu ada Sharon Zea Roland, saudari tiri yang seumur dengannya—namun nyaris tak pernah berbagi hal apapun. Dan Mellody Sea Roland, adik tiri satu tahun lebih muda darinya yang terlalu jauh untuk bisa disebut dekat. Walaupun mereka seumuran dan sama sama-sama perempuan mereka sangat jauh sekali dengan kata akrab, bahkan mereka berdua terang-terangan tidak menyukai Thea dan menatap dengan tatapan permusuhan.
Pikirannya melayang pada satu pertanyaan, apa sebenarnya arti rumah dan keluarga, jika tidak ada yang benar-benar menantikanmu di dalamnya?
Rumah yang sangat terasa asing. Keluarganya… masing-masing sudah punya hidupnya sendiri. Mereka sibuk dengan keluarga, pasangan, dan anak-anak mereka. Althea bahkan tak tahu apakah kehadirannya kini masih berarti bagi siapa pun dari mereka.
Jadi di sinilah ia sekarang.
Sendirian. Di tengah riuhnya kota yang tak peduli akan hatinya. Di apartemen yang dingin. Berjuang sendiri. Melindungi diri sendiri. Tanpa sandaran.
Dengan napas berat, ia menatap langit yang gelap di atas sana.
"Selamat datang kembali, Thea," bisiknya pada diri sendiri, getir.
Luka lama tidak hilang hanya dengan satu pelukan, tapi mungkin… pelukan itu adalah tanda bahwa luka itu akhirnya diperhatikan. Di luar, angin malam berembus lembut. Jakarta tidak berubah banyak, tapi Althea tahu—ia sudah bukan gadis yang dulu lagi. Dan entah bagaimana, masa lalu akhirnya mulai mengejarnya satu per satu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments