Kiana Elvaretta tidak butuh pangeran. Di usia tiga puluh, dia sudah memiliki kerajaan bisnis logistiknya sendiri. Baginya, laki-laki hanyalah gangguan—terutama setelah mantan suaminya mencoba menghancurkan hidupnya.
Namun, demi mengamankan warisan sang kakek, Kiana harus menikah lagi dalam 30 hari. Pilihannya jatuh pada Gavin Ardiman, duda beranak satu yang juga rival bisnis paling dingin di ibu kota.
"Aku tidak butuh uangmu, Gavin. Aku hanya butuh statusmu selama satu tahun," cetus Kiana sambil menyodorkan kontrak pra-nikah setebal sepuluh halaman.
Gavin setuju, berpikir bahwa memiliki istri yang tidak menuntut cinta akan mempermudah hidupnya. Namun, dia salah besar. Kiana tidak datang untuk menjadi ibu rumah tangga yang penurut. Dia datang untuk menguasai rumah, memenangkan hati putrinya yang pemberontak dengan cara yang tak terduga, dan perlahan... meruntuhkan tembok es di hati Gavin.
Saat g4irah mulai merusak klausul kontrak, siapakah yang akan menyerah lebih dulu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Savana Liora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17: Les Privat & Guru Genit
"Empat puluh? Kamu serius, Alea? Empat puluh?"
Kiana memegang kertas ulangan matematika itu dengan ujung jari, seolah kertas itu adalah benda terkutuk yang membawa virus mematikan. Angka 40 tertulis besar dengan tinta merah di pojok kanan atas, lengkap dengan lingkaran tebal yang seakan mengejek siapa pun yang melihatnya.
Alea duduk di sofa ruang tengah sambil memeluk boneka beruangnya erat-erat. Wajahnya cemberut, bibirnya manyun beberapa senti.
"Susah, Tante! Angkanya muter-muter di kepala aku!" bela Alea. "Lagian buat apa sih belajar pecahan? Emangnya kalau beli bakso harus hitung diameter mangkoknya dulu?"
"Logika macam apa itu?" Kiana memijat pelipisnya. Dia menoleh ke arah Gavin yang baru saja pulang kerja dan sedang melepas dasi. "Gavin, lihat anak kamu. Nilai matematikanya lebih rendah dari suhu kopi kamu.."
Gavin mendekat, melirik kertas itu sekilas, lalu menghela napas panjang. "Matematika memang bukan keahlian keluarga Ardiman, Kia. Dulu saya juga cuma dapat enam puluh waktu SD."
"Jangan bangga dengan kebodohan masa lalu," sembur Kiana tajam. "Kamu CEO. Kamu hitung profit triliunan. Kalau anak kamu hitung kembalian permen saja nggak bisa, mau dikasih makan apa perusahaan nanti? Saham?"
Kiana melempar kertas itu ke meja. "Nggak bisa dibiarkan. Alea butuh les privat. Sekarang. Saya nggak mau nilai rapor semester depan merah semua kayak baju partai."
"Les lagi?" keluh Alea, melempar kepalanya ke sandaran sofa. "Aku capek, Tante! Gurunya pasti ngebosenin kayak Pak Joko yang giginya kuning itu!"
"Nggak. Kali ini Tante yang cari," Kiana mengambil ponselnya, jarinya lincah mengetik pesan ke asistennya. "Sinta, cari guru les matematika terbaik di Jakarta Selatan. Syaratnya: IPK 4.0, lulusan universitas ternama, metode ajar fun, dan bisa datang ke rumah hari ini juga. Bayar berapapun."
Gavin duduk di samping Alea, mengusap kepala putrinya. "Turutin Tante Kiana ya. Demi masa depan kamu. Kalau nilai kamu bagus, Papa belikan..."
"Jangan mulai menyogok," potong Kiana tanpa menoleh dari layar ponsel. "Belajar itu kewajiban, bukan transaksi jual beli. Dia belajar buat otaknya sendiri, bukan buat dapat mainan."
Gavin kicep. Dia mengangkat tangan tanda menyerah. "Oke, Bu Bos. Laksanakan."
Dua jam kemudian, bel pintu mansion Ardiman berbunyi.
Bi Inah tergopoh-gopoh membukakan pintu. Kiana sedang duduk di ruang tamu, mengecek email di iPad, sementara Alea tengkurap di karpet sambil main game di tablet, menunggu "eksekusi" les dimulai.
"Permisi, Bu. Tamunya sudah datang," lapor Bi Inah. Wajah asisten rumah tangga itu terlihat sedikit bingung.
"Suruh masuk," kata Kiana tanpa mendongak.
Derap langkah sepatu hak tinggi terdengar mendekat.
Tak.Tak.Tak.
"Selamat sore. Saya Bella, dari Smart Nova Bright Agency."
Suara itu mendayu-dayu, terlalu manis dan sedikit serak basah.
Kiana mendongak. Alisnya langsung terangkat tinggi.
Di hadapannya berdiri seorang wanita muda, mungkin baru lulus kuliah. Cantik, harus diakui. Rambutnya panjang bergelombang diwarnai cokelat terang. Wajahnya full makeup dengan lipstik merah menyala.
Tapi yang membuat mata Kiana menyipit adalah pakaiannya.
Bella mengenakan blus putih ketat dengan dua kancing atas terbuka, memperlihatkan sedikit belahan dada, dipadukan dengan rok pensil hitam yang sangat pendek—jauh di atas lutut—dan memeluk pinggulnya dengan ketat.
Ini guru les matematika atau SPG pameran otomotif?
"Kamu... guru lesnya?" tanya Kiana skeptis, matanya memindai Bella dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Bella tersenyum lebar, mengibaskan rambutnya. "Betul, Ibu. Saya lulusan Matematika Murni Universitas ternama di negeri ini, IPK 3.98. Saya biasa mengajar anak-anak high profile."
Kiana melirik Alea. Bocah itu sudah duduk, menatap Bella dengan tatapan tidak suka. Alea punya radar alami terhadap orang-orang palsu, dan radar itu sekarang berbunyi nyaring.
"IPK kamu bagus," komentar Kiana dingin, meletakkan CV yang baru saja disodorkan Bella. "Tapi saya harap cara mengajar kamu lebih tertutup daripada pakaian kamu. Ini rumah ada anak kecil dan bapak-bapak, tolong kondisikan."
Senyum Bella sedikit kaku, tapi dia cepat menguasai diri. "Oh, maaf Bu. Saya tadi dari acara formal, jadi belum sempat ganti. Tapi saya profesional kok."
"Bagus. Alea, bawa Miss Bella ke ruang belajar. Satu jam. Tante mau lihat hasilnya."
Alea mendengus, bangkit dengan malas. "Ayo, Miss."
Bella mengikuti Alea, tapi matanya jelalatan menyapu seisi rumah mewah itu. "Rumahnya besar banget ya, Dek Alea. Papanya ada di rumah?"
Kiana yang mendengar pertanyaan itu langsung menajamkan telinga.
"Papa kerja," jawab Alea ketus.
"Oh, kerjanya sampai malam ya? Kasihan dong sendirian," pancing Bella lagi.
"Miss mau ngajar atau mau sensus penduduk?" tegur Kiana dari sofa.
Bella tersentak, lalu buru-buru tersenyum kikuk dan mempercepat langkahnya masuk ke ruang belajar yang pintunya sengaja dibuka lebar oleh Kiana.
Tiga puluh menit berlalu. Kiana masih duduk di ruang tamu, pura-pura membaca majalah bisnis, tapi sebenarnya mengawasi situasi.
Gavin turun dari lantai dua. Dia sudah mandi dan berganti pakaian santai—kaos polo navy dan celana pendek selutut. Dia terlihat segar dan tampan dengan rambut yang masih sedikit basah.
"Gurunya sudah datang?" tanya Gavin sambil menuang air putih di meja bar mini dekat ruang tamu.
"Sudah. Di dalam," jawab Kiana tanpa minat, membalik halaman majalah. "Hati-hati, Gavin. Ada ranjau darat."
"Ranjau apa?" Gavin bingung.
Belum sempat Kiana menjawab, Bella keluar dari ruang belajar. Dia membawa buku tulis Alea, berjalan dengan pinggul digoyang-goyangkan berlebihan.
Begitu melihat Gavin, mata Bella langsung berbinar seperti melihat diskon 90% di branded store.
"Ah! Selamat sore, Pak!" sapa Bella dengan suara yang tiba-tiba berubah jadi dua oktaf lebih tinggi dan manja.
Gavin menoleh, sedikit kaget melihat wanita asing dengan pakaian minim di rumahnya. "Sore... Anda siapa?"
"Saya Bella, Pak. Guru les privatnya Alea," Bella berjalan mendekat, memangkas jarak privasi. Dia berdiri terlalu dekat dengan Gavin, sampai Gavin harus mundur selangkah. "Wah, Alea cerdas sekali lho, Pak. Persis Papanya pasti."
Gavin tersenyum sopan, senyum bapak-bapak ramah. "Oh ya? Syukurlah kalau dia bisa mengikuti. Tolong dibantu ya, Mbak Bella. Matematikanya memang agak lemah."
"Panggil Bella saja, Pak. Nggak usah pakai Mbak, biar akrab," kata Bella sambil memainkan ujung rambutnya. Matanya menelusuri lengan kekar Gavin yang terekspos kaos polo. "Tenang saja, Pak. Saya akan bimbing Alea sampai pintar. Kalau perlu saya datang setiap hari juga nggak apa-apa. Gratis biaya transport deh buat Bapak."
Kiana mendengus keras dari sofa, membanting majalahnya. "Gratis transport tapi minta bayaran lain ya, Miss Bella?"
Bella menoleh, wajahnya pura-pura polos. "Maksud Ibu? Saya cuma mau membantu."
"Bantu Alea, bukan bantu Bapaknya," potong Kiana tajam. "Balik ke ruang belajar. Jam mengajarnya belum selesai. Alea masih butuh dijelaskan soal pecahan, bukan soal rayuan."
Wajah Bella memerah. Dia melirik Gavin, berharap dibela.
"Iya, Miss. Kasihan Alea nungguin," kata Gavin datar, sama sekali tidak peka dengan kode-kode genit Bella. Dia malah mengambil gelasnya dan berjalan menuju Kiana.
Bella menggigit bibir kesal, lalu berbalik masuk kembali ke ruang belajar dengan hentakan kaki kasar.
Gavin duduk di samping Kiana. "Kenapa mukanya ditekuk gitu?"
"Kamu sadar nggak sih barusan dia flirting sama kamu?" bisik Kiana gemas.
"Siapa? Guru les itu? Nggak ah. Dia cuma ramah," jawab Gavin polos sambil minum.
"Ramah jidatmu. Itu namanya 'tebar jala', Gavin. Dia lihat kamu kayak kucing lihat ikan asin," Kiana menggelengkan kepala. "Mulai besok, kamu dilarang keluar kamar kalau dia lagi ngajar. Saya nggak mau rumah ini jadi lokasi syuting sinetron azab pelakor."
"Kamu cemburu?" goda Gavin sambil menyenggol bahu Kiana.
"Najis," Kiana mendelik. "Saya cuma menjaga sterilitas lingkungan belajar anak saya dari virus gatal."
Tiba-tiba ponsel Kiana berdering. Panggilan dari kantor. Ada masalah kargo di pelabuhan yang butuh otorisasi mendesak.
"Sial," umpat Kiana melihat layar ponsel. "Aku harus ke kantor sebentar. Ada kontainer nyangkut di bea cukai."
Kiana berdiri, menyambar tasnya. Dia menatap Gavin tajam.
"Gavin, dengar baik-baik. Aku pergi sebentar. Paling cuma satu jam. Selama aku pergi, jangan ladeni guru itu. Jangan senyum, jangan ngobrol, jangan napas di dekat dia. Paham?"
"Iya, Kiana. Ampun deh. Saya juga mau kerja di ruang kerja kok," Gavin tertawa kecil. "Hati-hati di jalan."
Kiana melangkah pergi, tapi perasaannya tidak enak. Insting wanitanya berteriak ada bahaya. Dia menoleh sekali lagi ke arah ruang belajar. Pintu itu sedikit terbuka. Dia bisa melihat punggung Bella.
"Awas aja kalau macam-macam," gumam Kiana, lalu menghilang di balik pintu utama.
Sepeninggal Kiana, suasana rumah menjadi hening.
Di ruang belajar, Alea mulai bosan.
"Miss, ini nomor lima gimana? Aku nggak ngerti," tanya Alea sambil menunjuk soal cerita.
Bella tidak menjawab. Dia sibuk membedaki wajahnya dengan cushion di depan kamera HP. Dia jugamembuka kancing bajunya satu lagi.
"Miss!" panggil Alea lagi, lebih keras.
"Duh, berisik banget sih!" bentak Bella pelan, menyimpan bedaknya. "Baca sendiri dong. Itu kan ada contohnya. Masa gitu aja nggak bisa? Katanya anak orang kaya, masa otak lemot?"
Alea ternganga. "Kata Tante Kiana, guru dibayar buat ngajarin, bukan buat ngehina."
"Tante Kiana, Tante Kiana melulu. Dia itu cuma ibu tiri kamu, Alea. Bukan ibu kandung. Kamu nggak usah terlalu dengerin dia," hasut Bella dengan suara manis yang berbisa. "Miss lebih cocok jadi ibu kamu lho. Miss kan pintar, cantik, sabar..."
"Sabar apanya? Miss dari tadi main HP!" protes Alea. "Aku mau bilang Papa!"
"Eh, jangan!" Bella menahan tangan Alea. "Kalau kamu aduin Miss, nanti Miss bilang ke Papa kamu kalau kamu nakal dan nggak mau belajar. Papa kamu bakal marah besar lho."
Alea menarik tangannya kasar. Dia benci wanita ini. Dia kangen Tante Kiana yang galak tapi jujur.
"Aku haus. Mau minum," kata Alea, mencari alasan buat kabur.
"Yaudah sana ambil sendiri. Sekalian ambilin Miss air dingin ya. Yang banyak es batunya. Di sini panas, AC-nya jelek," perintah Bella seenaknya, mengipas-ngipas lehernya.
Alea keluar dari ruang belajar dengan wajah cemberut. Dia berjalan ke dapur.
Sementara itu, Bella tersenyum licik. Kiana sedang pergi. Ini kesempatan emas. Dia tahu Gavin ada di ruang kerjanya di lantai bawah, dekat ruang tamu Tadi dia sempat mengintip.
Bella merapikan rambutnya, menarik roknya sedikit lebih tinggi, lalu berjalan keluar mengendap-endap.
"Pak Gavin?" panggil Bella dengan suara mendayu di depan pintu ruang kerja Gavin yang terbuka sedikit.
Gavin sedang fokus menatap layar laptop, memakai kacamata bacanya. Dia menoleh sebentar. "Ya? Ada apa? Alea mana?"
"Alea lagi istirahat sebentar, Pak. Minum," Bella masuk tanpa izin. Dia berjalan mendekati meja kerja Gavin. Aroma parfum murah yang menyengat langsung memenuhi ruangan.
"Pak, maaf mengganggu. Saya mau tanya soal... pembayaran les. Boleh transfer langsung ke rekening pribadi saya saja? Nggak usah lewat agensi. Biar lebih... dekat," kata Bella sambil meletakkan tangannya di meja Gavin, mencondongkan tubuhnya ke depan sehingga belahan dadanya terekspos jelas di depan mata Gavin.
Gavin refleks memundurkan kursinya. Dia risih. "Soal pembayaran, semua urusan istri saya. Kiana yang atur. Silakan bicara sama dia nanti."
"Yah... kok sama Bu Kiana terus sih, Pak? Bapak kan kepala keluarganya," Bella memajukan bibirnya, sok imut. Dia berjalan memutari meja, mendekati kursi Gavin. "Bapak kelihatan tegang banget lho otot lehernya. Mau saya pijatin sebentar? Saya jago mijit lho."
Tangan Bella sudah terulur hendak menyentuh bahu Gavin.
Gavin langsung berdiri, menepis tangan itu sopan tapi tegas. "Nggak perlu. Saya baik-baik saja. Tolong kembali mengajar Alea. Saya sedang sibuk."
"Ah, Bapak mah malu-malu," Bella tidak menyerah. Dia justru makin nekat. Dia sengaja menyenggol tumpukan berkas di meja Gavin sampai jatuh berantakan ke lantai.
Brak!
"Ups! Maaf, Pak! Saya goyang!" pekik Bella dibuat-buat.
Gavin menghela napas kesal. Dia berjongkok untuk memungut berkas-berkas penting itu.
Bella melihat kesempatan. Dia ikut berjongkok di samping Gavin, sangat dekat, sampai paha mereka bersentuhan.
"Biar saya bantu, Pak," bisik Bella, tangannya bukan mengambil kertas, malah 'tidak sengaja' meraba tangan Gavin.
"Mbak Bella, tolong minggir," suara Gavin mulai dingin. Dia berdiri cepat, membawa berkasnya.
Tapi Bella ikut berdiri dan tiba-tiba saja dia memegang kepalanya.
"Aduh... Pak... kok kepala saya pusing ya..." desah Bella dramatis. Kakinya goyah dibuat-buat. "Gelap... aduh..."
Dan dengan gerakan yang sudah dilatih dari menonton sinetron ratusan episode, Bella menjatuhkan tubuhnya ke arah Gavin.
Gavin yang kaget, secara refleks menangkap tubuh wanita itu agar tidak membentur lantai.
"Eh! Mbak!" Gavin panik, menahan bahu Bella.
Posisi mereka sekarang sangat ambigu. Gavin berdiri memeluk Bella yang terkulai lemas di dadanya, wajah wanita itu mendongak dengan mata terpejam manja, tangannya mengalung di leher Gavin.
"Pak... pegangin saya... lemas..." rintih Bella, diam-diam tersenyum dalam hati. Kena kau.
CKLEK.
Suara pintu utama yang dibuka terdengar jelas.
Gavin menoleh kaget ke arah pintu ruang tamu yang terhubung langsung dengan ruang kerjanya yang tanpa sekat pintu.
Di sana, berdiri Kiana Elvaretta.
vote untuk mu