Sejak usia lima tahun, Raya Amelia hidup dalam neraka buatan ayahnya, Davin, yang menyalahkannya atas kematian sang ibu. Penderitaan Raya kian sempurna saat ibu dan kakak tiri masuk ke kehidupannya, membawa siksaan fisik dan mental yang bertubi-tubi. Namun, kehancuran sesungguhnya baru saja dimulai, di tengah rasa sakit itu, Raya kini mengandung benih dari Leo, kakak tirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14
"Apa kau bilang?" Kevin menghampiri Leo, berdiri di sampingnya dengan wajah bingung. "Kau kenal dia?"
Leo tidak berpaling. Tangannya mencengkeram besi pagar dengan kuat hingga buku-buku jarinya memutih. "Kevin... siapa nama ibunya?"
Kevin terdiam sejenak, tampak ragu melihat tatapan di mata Leo yang mendadak berubah liar. "Orang-orang di sini memanggilnya Anna. Kenapa? Kau tampak seperti baru melihat hantu."
"Anna?" Leo tertawa getir, tawa yang terdengar lebih seperti rintihan.
"Dia sangat tertutup. Dia hanya fokus bekerja dan mengurus Lili. Kenapa? Tumben sekali kau tertarik dengan kehidupan orang asing."
Leo tidak menjawab. Di kejauhan, sayup-sayup terdengar suara tawa kecil Lili yang kian menjauh, menyusuri jalanan setapak di antara hijaunya tanaman teh.
Leo menghela nafas panjang. Matanya masih terpaku pada titik di mana Lili dan ibunya menghilang di balik tikungan jalan setapak kebun teh.
"Anak itu..." Leo menjeda kalimatnya, tenggorokannya mendadak terasa kering. "Berapa usianya?"
"Mungkin sekitar enam tahun. Kenapa?" Kevin menatap Leo dengan dahi berkerut, menyadari perubahan aura pada sahabatnya itu.
Tujuh tahun.
Raya menghilang tujuh tahun lalu saat tengah mengandung darah dagingnya. Jika anak itu lahir, usianya akan sama dengan Lili sekarang. Seandainya dulu ia tidak melakukan kesalahan fatal itu... seandainya dulu Raya tidak pergi dalam keadaan mengandung... mungkin hari ini ia juga akan melihat seorang anak kecil berlari ke arahnya dengan tawa yang sama.
"Leo? Kamu melamun?" tegur Kevin.
"Tidak," dusta Leo pendek. Ia meremas jemarinya yang gemetar. "Hanya merasa udara di sini terlalu dingin."
Leo berusaha menepis pemikiran gila itu. Di dunia ini ada jutaan anak kecil berusia enam tahun, dan ada ribuan wanita yang berjualan kue untuk bertahan hidup. Tidak mungkin. Takdir tidak mungkin bermain sekejam itu setelah tujuh tahun ia dikurung dalam neraka penyesalan.
Namun, rasa sesak di dadanya tidak kunjung hilang.
"Kevin," panggil Leo tiba-tiba, matanya menatap tajam ke arah sahabatnya. "Besok, suruh ibunya antar pesanan lagi ke sini. Aku yang akan membayarnya."
* * *
Angin pegunungan yang sejuk menyambut kedatangan Anna dan putri kecilnya, Lili, di depan sebuah gubuk sederhana beratap rumbia. Meski dindingnya hanya terbuat dari kayu tua, suasana di sana selalu terasa tenang. Anna menghela napas lega, lalu meletakkan keranjang dagangannya yang sudah kosong di atas dipan kayu yang ada di teras rumah.
"Ibu, tadi di rumah Om Kevin ada Om ganteng tapi aneh," ucap Lili tiba-tiba, memecah fokus ibunya yang sedang merapikan dagangan.
Anna melepas caping yang sejak tadi melindungi wajahnya dari terik matahari pagi. Rambut hitamnya yang legam tergerai sedikit berantakan. Ia menoleh, menatap putri kecilnya dengan senyum hangat yang menjadi obat lelahnya setiap hari.
"Lili, kamu tidak boleh menyebut orang yang lebih tua dengan sebutan aneh," tegur Anna pelan.
"Tapi Om itu melihat Lili terus, Bu. Begini nih wajahnya..." Lili segera memasang aksi. Ia membusungkan dada, menyipitkan mata, dan mengerutkan keningnya sedalam mungkin, mencoba meniru tatapan intens dan penuh selidik yang ia terima dari Leo tadi pagi.
Melihat tingkah lucu putrinya yang sangat ekspresif, Anna tidak bisa menahan tawa kecilnya. Ia membungkuk sedikit, lalu mengusap pucuk kepala anaknya dengan penuh kasih sayang.
"Itu mungkin karena Om itu sedang terpesona dengan kecantikan Lili," goda Anna sambil mencubit pelan pipi tembam putrinya.
"Apa Lili beneran cantik, Bu?" tanya Lili polos. Rona merah tipis muncul di pipinya, tanda ia sedikit malu tapi juga senang dipuji.
"Tentu saja. Lili adalah gadis paling cantik di mata Ibu," jawab Anna mantap.
Lili kemudian mendudukkan dirinya di atas dipan, memeluk erat boneka beruang pemberian Kevin. Jarinya memainkan bulu cokelat boneka itu, lalu sebuah pertanyaan meluncur begitu saja dari bibir mungilnya, menghantam dada Anna tanpa peringatan.
"Ibu... apa Ayah Lili juga orang yang tampan?"
Dunia seolah berhenti sejenak bagi Anna. Tangannya yang sedang sibuk merapikan kain penutup keranjang mendadak kaku. Napasnya terasa berat, seolah udara di sekitarnya mendadak hilang saat memori tentang wajah pria itu kembali melintas.
Anna menarik napas dalam, mencoba menenangkan debaran jantungnya yang mendadak liar. Ia menoleh ke arah putri kecilnya, menatap wajah Lili yang memiliki garis-garis serupa dengan seseorang yang ada di masa lalunya, seseorang yang telah menghancurkan segalanya. Dengan senyum yang dipaksakan agar terlihat tegar, ia menjawab lirih.
"Iya, sayang... dia orang yang sangat tampan."
"Tapi ketampanan tidak selalu berarti kebaikan, Lili," sambung Anna dalam hati, kalimat yang hanya berani ia bisikkan pada jiwanya sendiri.