Angel hidup dengan dendam yang membara. Kakaknya ditemukan tewas mengenaskan, dan semua bukti mengarah pada satu nama
Daren Arsenio, pria berbahaya yang juga merupakan saudara tiri dari Ken, kekasih Angel yang begitu mencintainya.
bagaimana jadinya jika ternyata Pembunuh kakaknya bukan Daren, melainkan Pria yang selama ini diam-diam terobsesi padanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SNUR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
Selepas kepergian Ken, ruang tamu itu berubah hening. Yang tersisa hanya Renata dan Alunan
Tatapan Renata jatuh kepada Aluna, menantunya wanita yang selalu terlihat anggun, dan kuat, tetapi menyimpan luka yang tak pernah dibicarakan.
Renata menghela napas pelan dan duduk lebih dekat.
“Aluna,” panggilnya lembut.
Aluna menoleh. Senyumnya terukir, namun bukan senyum tulus melainkan senyum yang di paksakan.
Renata mengusap tangan Aluna dengan pelan.
“Aku tahu… pernikahanmu dengan Ken tidak berjalan seperti yang kamu harapkan.”
Mata Aluna bergetar sedikit mendengar ucapan ibu mertuanya itu.
Ia menunduk, mencoba menyembunyikan rasa sakit yang muncul di wajahnya.
"Ken memang sangat mencintai gadis itu. Entah apa yang dilihatnya dari dia. "
Aluna menggigit bibirnya. menahan rasa sakit yang teramat perih di dada.
“Aku… aku mencintai Ken, Mama,” suaranya lirih, nyaris patah. bertahun-tahun ia menyimpan rasa cinta ini sendirian, mengharapkan suami yang ia nikahi satu tahun yang lalu membalas rasa cintanya.
“Aku tahu dia tidak pernah benar-benar jatuh cinta denganku. Aku tahu dia menikahi aku karena keluarga, karena ikatan bisnis…”
Ia berhenti, suaranya gemetar bercampur dengan isak tangis.
“…tapi aku pikir… aku pikir kalau aku selalu ada untuknya, suatu hari nanti dia akan melihat aku.”
Renata menatapnya penuh iba. ia tahu bahkan semua orang juga tahu kisah cinta anak tirinya dengan seseorang yang bernama Angel, gadis cantik dengan paras menawan bak malaikat.
“Ken bukan laki-laki jahat, Aluna. Tapi hatinya… sulit dijangkau.”
Aluna mengangguk kecil.
Tangannya meremas ujung rok, menahan air mata yang nyaris tumpah. bahkan suaranya mulai parau.
“Aku tahu,” bisiknya. “Aku tahu Ken berbeda. Dia bukan suami yang buruk. Dia hanya… tidak sepenuhnya milikku.”
Renata mengusap pipi Aluna.
“Tapi aku bangga padamu. Kamu tetap setia.”
Aluna perlahan mengangkat wajahnya, menatap mata ibu mertuanya dengan penuh keyakinan.
“Karena aku mencintai Ken.”
Suara Aluna kini tegas.
“Meskipun dia tidak mencintaiku… aku akan tetap mencintainya. Dan aku akan menunggu sampai waktu itu tiba. ”
Renata hanya diam tidak yakin bahwa ken akan berpaling dari Angel mengingat selama tiga belas tahun ini tidak ada yang bisa memisahkan mereka.
“Aku akan menunggu sampai Ken melepaskan Angel.”
Matanya meredup namun penuh kecemburuan yang selama ini ia pendam.
Renata menatapnya lama.
“Aluna…”
“Maafkan aku,” potong Aluna pelan, “aku tahu aku terdengar menyedihkan. Tapi aku hanya… mencintai Ken.”
Renata menggenggam tangan Aluna lebih erat.
“Kamu bukan wanita yang menyedihkan. Kamu adalah wanita yang kuat.”
Renata menarik napas panjang.
“Dan aku… akan mendukungmu.”
Aluna menutup mata. menahan gejolak di dadanya.
“Terima kasih… Mama.”
Renata memeluknya dengan lembut pelukan seorang ibu yang memahami betapa pahitnya mencintai seseorang yang tidak pernah membalas.
Mobil mewah itu melaju meninggalkan kediaman keluarga Arsenio, namun suasana di dalamnya jauh dari kata tenang.
bela duduk di kursi belakang, dengan kedua tangan mengepal, wajahnya merah padam bukan karena malu melainkan frustasi dan terobsesi.
Ayahnya membuka mulut lebih dulu.
“bela, Lupakan Daren! " titahnya dengan tegas
“Tidak.”
bela memotong dengan suara tajam.
Kedua orang tuanya menoleh kagetendengar teriakan itu. bela jarang sekali bersuara sekeras itu. sejarah apapun dia tidak pernah melupakan sikap santunnya.
“Aku tidak mau mendengar alasan apapun, ” katanya dingin.
“Kalian harus memaksa perjodohan ini tetap berjalan.”
Ibunya menghela napas panjang.
“bela… Daren jelas menolak hubungan itu. Kita tidak bisa memaks—”
“Aku mau dia.”
bela kembali memotong, bahkan kali ini lebih keras dari sebelumnya.
“Aku mau Daren De Castello. Dan kalian harus mendukung aku.”
Ayahnya menatap bela lewat kaca tengah mobil, ia kembali menegaskan dengan suara beratnya.
“bela, pernikahan tidak bisa dipaksakan begitu saja. Apalagi Daren—dia terkenal sulit di jangkai, temperamen—”
“Itu justru yang membuatnya menarik!”
Mata Sabela berkilat, penuh kegilaan yang mulai tumbuh.
Ibunya menyentuh tangan Sabela, berusaha menenangkan gadis itu.
“Sayang, Daren bukan pria yang mudah. Kau lihat sendiri bagaimana dia memandangmu tadi—”
bela tersenyum tipis.
“Oh, tentu saja aku lihat itu. Dia menatapku… seperti menatap angin.”
Ia bersandar, tatapannya kosong tetapi penuh obsesi gila.
“Dan pria seperti itu… justru membuatku ingin memilikinya lebih.”
Ayahnya mulai khawatir karena sikap Bela. is takut kejadian. beberapa tahun silam kembali terulang.
“Bela—”
“Ayah.”
bela menatapnya lurus, tatapan yang dingin dan tidak menerima bantahan apapun.
“Keluarga De Castello adalah pintu menuju masa depan yang besar. Dan Daren adalah kuncinya.”
Ibunya menelan ludah. Anaknya benar-benar sudah gila. Dia tak habis pikir dengan pemikiran Bela.
“Aku tidak peduli berapa lama. Aku tidak peduli seberapa dinginnha dia.”
bela berbicara lebih pelan, tetapi lebih mengancam.
“Aku akan membuatnya menatapku. Aku akan membuatnya menginginkanku.”
Ibunya menunduk, mulai menyadari betapa keras kepalanya anak tunggal mereka ini. ini adalah kesalahan mereka sendiri yang terlalu memanjakan Bela.
“Aku ingin kalian tekan Renata,” kata bela lagi.
“Dia sangat peduli citra keluarga dia pasti akan mempertimbangkan ulang perjodohan ini jika kalian memberi penawaran besar.”
Ayahnya mengusap wajah. memukul setir mobil dengan keras melampiaskan amarah pada putrinya.
“bela… kau terdengar seperti—”
“Seperti apa?”
bela mendekat, menatap ayahnya melalui pantulan kaca mobil.
“Seperti orang yang sudah gila karena cinta?”
Ayahnya terdiam sedangkan bela tersenyum miring.
“Kalau itu yang diperlukan untuk mendapatkan Daren…”
Ia menyandarkan kepala ke sandaran kursi, menatap langit malam dari jendela.
“…aku tidak keberatan menjadi gila.”
Ken membuka pintu apartemen perlahan, takut menimbulkan suara. Lampu ruang tamu sudah dimatikan, hanya cahaya redup dari kamar yang menerangi sedikit ruangan. Ia melepas jasnya, meletakkannya di sofa, lalu melangkah menuju kamar.
Saat pintu kamar bergeser terbuka, Ken terdiam.
Angel tertidur pulas di atas ranjang posisinya miring, rambutnya berantakan menutupi sebagian wajah, selimut hanya menutupi setengah tubuhnya. Nafasnya halus, tenang dan damai.
Ken menelan ludah, perasaannya menghangat
Ia mendekat pelan, duduk di sisi ranjang, menatap wajah Angel yang tampak begitu tensng Tangan Ken terulur, menyibakkan rambut yang menutupi pipi Angel.
“tidur yang nyenyak sayang” gumam Ken lirih.
Angel tidak bergerak, hanya napasnya yang
teratur menjadi jawaban. Ken tersenyum tipis senyum yang hanya muncul saat melihat perempuan ini.
Ia memegang tangan Angel, mengecup punggung tangannya lembut.
Kepalanya menunduk mendekat, bibirnya menyentuh kening Angel.
“Aku sayang kamu…” bisiknya pelan, hampir tidak terdengar.
“Entah kenapa, tiap hari perasaan itu semakin kuat.”
Ken mengelus pipinya pelan, suaranya pecah oleh kejujuran yang bahkan tidak pernah ia ucapkan kepada Aluna.
Ia naik ke ranjang, berbaring di samping Angel, menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Lalu perlahan memelukbAngel dari belakang, melingkarkan lengannya di pinggang Angel.
Angel merespons dalam tidurnya menggenggam jemari Ken tanpa sadar, seolah tubuhnya tahu siapa yang memeluknya.
Ken tersenyum kecil lagi.
“Selama kamu ada di sini… aku tidak butuh siapa pun lagi.”
Ia memejamkan mata, masih memeluk Angel erat.
“Good night, Angel… Sayangku.”