NovelToon NovelToon
Blood & Oath

Blood & Oath

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan Tentara / Perperangan / Fantasi Timur / Action / Fantasi / Balas dendam dan Kelahiran Kembali
Popularitas:678
Nilai: 5
Nama Author: Ryan Dee

Tharion, sebuah benua besar yang memiliki berbagai macam ekosistem yang dipisahkan menjadi 4 region besar.

Heartstone, Duskrealm, Iron coast, dan Sunspire.

4 region ini masing masing dipimpin oleh keluarga- yang berpengaruh dalam pembentukan pemerintahan di Tharion.

Akankah 4 region ini tetap hidup berdampingan dalam harmoni atau malah akan berakhir dalam pertempuran berdarah?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ryan Dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 2 - Act 1 - Dendam yang mulai tumbuh

Sebulan sebelum kejadian di frostmarch.

Iron Coast.

Ombak di sini tak pernah tidur. Suaranya memecah kesunyian setiap pagi, menghantam karang seolah menguji keteguhan tanah ini. Udara asin menempel di kulit, dingin menggigit—meski tak sedingin Frostmarch.

Pantai ini bukan hanya batas negeri. Ia adalah garis perang.

Bekas pertempuran tersebar di mana-mana: pasir yang menghitam, serpihan senjata berkarat, dan reruntuhan menara pantai yang tak lagi berdiri utuh. Di hadapanku menjulang dua dinding raksasa, benteng yang dibangun puluhan tahun silam untuk menahan Thal’kren—makhluk humanoid dari laut dalam, berkulit sekeras cangkang kepiting dan bermata biru pucat yang menyala di kegelapan.

Tak ada yang tahu dari mana mereka datang, atau mengapa hanya manusia yang mereka buru. Hewan ternak, bahkan binatang liar, tak pernah mereka sentuh. Seakan-akan mereka mencari seseorang.

Mereka datang dua kali setiap bulan, saat bulan berada di puncak langit dan ombak mengamuk seolah menyambut kedatangan mereka. Ketika itu terjadi, langit seolah runtuh dan laut berubah menjadi gerbang bagi kematian.

Kini, pertahanan Iron Coast dijaga ketat. Dua tebing menjepit pantai ini, dan di antara keduanya berdiri dua lapis tembok besar—masing-masing setinggi dua puluh lima meter, sepanjang lima ratus meter, dan selebar lima meter.

Tembok pertama menjadi garis depan. Balista raksasa dan pemanah berjaga di atasnya, sementara puluhan meriam tertanam di dalam dinding batu. Namun, pertahanan itu tak selalu cukup. Sudah lebih dari sekali, Thal’kren menghancurkannya dan memaksa para knight bertarung mati-matian agar mereka tak mencapai desa.

Itulah mengapa tembok kedua dibangun, berjarak seratus meter dari yang pertama—jarak yang cukup untuk memberi ruang bagi pasukan membentuk formasi bertahan dan memberi waktu bagi pemanah mundur jika barisan depan runtuh.

Di tembok kedua, lima catapult besar berjaga, mampu melemparkan batu sebesar tiga ekor kuda. Di sana pula dipasang senjata baru, karya para pandai besi dari desa terdekat—senjata yang bisa menembakkan ribuan anak panah sekaligus, bahkan dengan ujung yang dimodifikasi menjadi bahan peledak.

Dan di antara semua penjaga pantai selatan ini, berdiri satu pasukan khusus:

The Silver Sentinels.

Mereka adalah benteng terakhir Iron Coast, para prajurit elit yang hanya menerima lulusan peringkat sepuluh besar dari akademi. Mereka mengenakan armor perak berkilau dengan sigil kraken di dada—simbol keberanian di tengah badai. Kini, jumlah mereka hanya tersisa dua puluh lima orang. Tiap tahun, semakin sedikit yang datang menggantikan yang gugur.

Hanya mereka yang benar-benar memilih jalan ini yang akan bertahan.

---

Suara sirine tiba-tiba meraung memecah udara, menggema dari menara pengintai ke seluruh pantai.

> “Para Thal’kren datang!” teriak salah satu penjaga di tembok depan.

Aku segera berdiri dari kursi, meraih pedangku, dan keluar dari tenda. Angin kencang menghantam jubah merahku yang dihiasi bordir emas—sigil keluarga Droswain berkibar di punggungku.

> “Komandan Torren! Para Thal’kren datang dari laut—jumlah mereka besar!”

“Berapa banyak?”

“Sekitar seratus lima puluh, dan terus bertambah!”

Aku menghela napas berat. “Siapkan semua posisi! Balista dan meriam di tembok pertama—siaga penuh! Tembok kedua, siapkan senjata berat dan senjata panah massal. Panggil seratus knight untuk formasi bertahan di distrik tengah. Jika tembok pertama runtuh, mereka yang akan menahan garis!”

Kami menaiki tangga menuju puncak dinding. Dari atas, laut malam tampak bergolak—ombak memantulkan sinar bulan di antara barisan bayangan yang bergerak cepat.

Dan di sanalah mereka.

Makhluk-makhluk mengerikan itu berlari keluar dari air, tubuh mereka bersinar samar oleh darah biru yang berpendar. Suara dentingan karapas mereka saling beradu seperti jutaan gendang perang. Ketakutan menyebar di wajah para knight, keringat dingin menetes meski udara begitu menggigit.

Aku mengangkat pedang tinggi-tinggi. Suaraku menggema di antara angin dan deru ombak.

> “Knight of Iron Coast!”

“Malam ini, mereka datang menuntut tanah kita!”

“Tunjukkan pada mereka arti ketakutan yang sesungguhnya!”

Sorak-sorai membalas, menggema di sepanjang dinding.

> “Balista—siap!”

“Tembak!”

Shuuush!

Duarrr!

Puluhan anak panah raksasa melesat dan menghantam tubuh para Thal’kren. Ledakan dan percikan darah biru menyala di udara, menari di atas ombak. Ombak mengamuk, malam terbakar oleh dentuman meriam dan suara perang.

Pertempuran berlangsung sengit. Setiap ledakan mengguncang dinding, setiap jeritan Thal’kren ditelan oleh deru badai. Tapi kami tidak mundur. Tidak kali ini.

Dan akhirnya—fajar datang.

Saat sinar pertama matahari menyentuh lautan, makhluk-makhluk itu mulai mundur. Mereka kembali ke dalam ombak, menghilang seperti bayangan yang terusir cahaya.

Aku berdiri di atas dinding, menatap laut yang kini tenang.

Tak ada satu pun prajurit gugur malam ini. Hanya asap tipis dari meriam dan darah biru di pasir.

Kemenangan kecil.

Untuk satu hari lagi.

Tapi jauh di dalam hati, aku tahu:

Mereka akan datang kembali.

Dan suatu hari, tembok ini mungkin tak cukup tinggi.

---

Angin laut berhembus kencang seperti biasa. Hujan turun deras, menimpa kanvas tenda hingga menimbulkan suara seperti ribuan anak panah menghantam tanah.

Di luar, ombak mengamuk di bawah langit kelabu, dan udara asin bercampur aroma besi dari senjata basah. Aku duduk di dalam tenda, cahaya redup dari lampu minyak menari di atas surat yang baru saja kubuka.

Tulisan tangan yang rapi dengan segel resmi dari Heartstone tertulis jelas di bagian atasnya.

Surat itu berasal dari Lord Celdric Arendale, Perdana Menteri Heartstone.

> “Salam hormat, Sir Torren Droswain.

Kuharap surat ini menemui Anda dalam keadaan baik.

Kabar kali ini menyangkut anggota baru untuk pasukan Silver Sentinels.

Sayangnya, hanya satu knight muda yang dikirim dari Heartstone — seorang bernama Erick Hunter, berasal dari kota kecil bernama Rivera.

Aku percayakan sepenuhnya pembinaan dan nasibnya di tanganmu.

Tertanda,

Lord Celdric Arendale.”

Begitu selesai kubaca, suara langkah cepat terdengar di luar, lalu seorang knight membuka pintu tenda.

“Lapor, Komandan! Rekrutan baru untuk Silver Sentinels sudah tiba. Ia menunggu perintah Anda di luar tembok kedua.”

“Baik. Aku akan segera ke sana,” jawabku tegas.

Aku bangkit, mengambil jubah merah dengan hiasan emas dan sigil keluarga Droswain, lalu melangkah keluar di bawah derasnya hujan. Angin dingin menerpa wajahku saat aku berjalan menuruni jalan becek menuju gerbang luar.

Sesampainya di sana, aku melihatnya — seorang pemuda berdiri tegap di bawah hujan.

Wajahnya masih muda, sorot matanya penuh tekad… dan kegugupan yang tak sepenuhnya bisa ia sembunyikan.

“Jadi kau Erick?” tanyaku tegas.

Ia menegakkan tubuh, menatap lurus ke depan.

“Benar, Komandan. Namaku Erick Hunter dari Rivera,” ucapnya lantang.

“Aku dikirim ke sini untuk menjadi bagian dari pasukanmu. Aku akan melakukan yang terbaik, dan tak akan mengecewakanmu.”

Aku menatapnya dalam diam sejenak, memperhatikan cara ia berdiri, cara suaranya bergetar sedikit meski berusaha tegas.

Ada sesuatu yang ganjil.

“Semua anggota Silver Sentinels datang ke sini atas kehendak sendiri. Tak ada paksaan,” ucapku perlahan.

“Tapi kau dikirim. Itu berarti… kau tidak punya pilihan lain.”

Aku menyipitkan mata. “Jadi, apa yang sudah kau lakukan?”

Ia terdiam. Nafasnya tertahan.

Beberapa detik berlalu sebelum akhirnya ia menjawab dengan suara ragu.

“B–balas dendam, Komandan.”

“Balas dendam?” ulangku. “Jadi kau seorang kriminal?”

“Ya…” suaranya turun. “Aku membunuh bandit yang telah membunuh kakakku bertahun-tahun lalu… bersama sahabatku.”

“Dan di mana sahabatmu sekarang?” tanyaku datar.

“Aku tidak tahu, Komandan. Setelah sidang di Heartstone, aku belum sempat bertemu dengannya lagi.”

Aku menarik napas panjang.

“Beruntung kau memiliki catatan akademi yang baik. Kalau tidak, aku sudah memulangkanmu ke Heartstone tanpa sepatah kata pun.”

Ia menunduk, diam.

“Dengar baik-baik, Erick Hunter,” ucapku dengan nada berat.

“Tempat ini bukan untuk mereka yang menyimpan dendam. Karena musuh yang kita lawan bukan manusia — kau tidak bisa melihat wajah mereka, tidak bisa mengenali mata mereka, dan kau tidak akan pernah tahu siapa yang membunuh saudaramu.”

Aku mendekat, menatap matanya lurus-lurus.

“Jika kau bertarung demi dendam, kau akan mati sia-sia.

Jadi, buang bebanmu. Di sini, kau bertarung demi hidup orang lain, bukan masa lalu.”

Ia mengangguk cepat, memberi hormat.

Salah satu knight bawahanku segera membawanya untuk mengambil perlengkapan dasar.

Aku menatap punggungnya yang menjauh.

Hujan terus turun, membasahi batu dan baja. Di tempat seperti ini, dendam adalah racun yang mematikan sebelum perang dimulai.

---

Sebulan berlalu.

Sepuluh hari setelah kematian Lord Victor Draemir.

Langit hari ini masih kelabu, matahari tertutup awan tebal yang enggan beranjak. Hujan turun tanpa henti, menghapus jejak darah dan lumpur di antara dua tembok raksasa yang membentang sepanjang garis pantai.

Para pekerja sibuk memperbaiki celah besar di tembok pertama — bekas serangan terakhir para Thal’kren seminggu lalu. Di belakang mereka, pasukan Silver Sentinels berjaga bersama para knight lokal, senjata siap terhunus.

Aku duduk di ruang peristirahatan kecil di balik tembok kedua, menatap surat baru yang tergeletak di meja. Segelnya: lambang matahari dan mahkota — simbol kerajaan Heartstone.

Dengan hati-hati kubuka gulungan itu. Tulisan tangan di dalamnya membuat nafasku tertahan.

> “Kepada Sir Torren Droswain,

Dengan berat hati aku menulis kabar duka: sahabat lamamu, Lord Victor Draemir dari Frostmarch, telah gugur.

Ia tewas dalam konfrontasi dengan Lord Draco Morwyne, setelah insiden yang melibatkan salah satu knight di bawah Victor.

Aku tahu betapa dalam persahabatan kalian, sejak masa muda di akademi.

Namun demi menjaga keseimbangan antar wilayah, aku memohon — jangan ada darah lagi yang tumpah.

Semoga kekuatan dan kebijaksanaan menyertaimu.

— Rowan Arendale, Raja Heartstone.”

Tanganku bergetar.

Suara hujan di luar tenda seakan berubah menjadi nyanyian duka.

Kupandangi tulisan itu lama, lalu perlahan kulipat, menatap kosong ke arah meja. Bayangan masa lalu berkelebat — tawa kami di padang salju Frostmarch, duel persahabatan di bawah langit senja, dan janji masa muda yang kini terkubur bersama tubuh sahabatku.

“Victor…” bisikku lirih.

“Ku kira kita akan mati bersama di medan perang, atau menikmati masa tua di tanah kelahiran kita. Tapi ternyata… takdir tak sebaik itu pada kita.”

Aku menutup mata sebentar, menarik napas dalam-dalam, lalu mengambil pena.

Jika kematian datang dengan kehormatan, maka satu-satunya balasan yang pantas adalah doa, bukan darah.

> “Kepada Yang Mulia Raja Rowan Arendale,

Terima kasih atas kabar duka ini.

Aku tidak akan membiarkan amarah menodai kehormatan pasukanku.

Knight of the Silver Sentinels tidak pernah menaruh dendam.

Dengan hormat,

Sir Torren Droswain.”

Kusiramkan lilin cair di atas amplop, menempelkan segel sigil Iron Coast.

Surat itu kuserahkan pada knight utusanku untuk dikirim ke Heartstone secepatnya.

Di luar, hujan belum juga berhenti.

Dan di bawah langit yang selalu basah ini, aku bersumpah — selama jantungku masih berdetak, aku akan menjaga pantai ini.

Bukan karena dendam.

Tapi karena janji.

---

1
Mr. Wilhelm
kesimpulanku, ini novel hampir 100 persen pake bantuan ai
Ryan R Dee: sebenernya itu begitu tuh tujuannya karena itu tuh cuma sejenis montage gitu kak, kata kompilasi dari serangan disini dan disana jadi gak ada kata pengantar buat transisi ke tempat selanjutnya, tapi nanti aku coba revisi ya kak, soalnya sekarang lagi ngejar chapter 3 dulu buat rilis sebulan kedepan soalnya bakalan sibuk diluar nanti
total 7 replies
Mr. Wilhelm
transisi berat terlalu cepat
Mr. Wilhelm
Transisinya jelek kyak teleport padahal narasi dan pembawaannya bagus, tapi entah knapa author enggak mengerti transisi pake judul kayak gtu itu jelek.
Ryan R Dee: baik kak terimakasih atas kritik nya
total 1 replies
Mr. Wilhelm
lebih bagus pakai narasi jangan diberi judul fb kek gni.
Mr. Wilhelm
sejauh ini bagus, walaupun ada red flag ini pake bantuan ai karena tanda em dashnya.

Karena kebnyakan novel pke bantuan ai itu bnyak yg pke tanda itu akhir2 ini.

Tapi aku coba positif thinking aja
perayababiipolca
Thor, aku hampir kehabisan kesabaran nih, kapan update lagi?
Farah Syaikha
🤔😭😭 Akhirnya tamat juga, sedih tapi puas, terima kasih, author.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!