Winda Hapsari, seorang wanita cantik dan sukses, menjalin hubungan kasih dengan Johan Aditama selama dua tahun.
Sore itu, niatnya untuk memberikan kejutan pada Johan berubah menjadi hancur lebur saat ia memergoki Johan dan Revi berselingkuh di rumah kontrakan teman Johan.
Kejadian tersebut membuka mata Winda akan kepalsuan hubungannya dengan Johan dan Revi yang ternyata selama ini memanfaatkan kebaikannya.
Hancur dan patah hati, Winda bersumpah untuk bangkit dan tidak akan membiarkan pengkhianatan itu menghancurkannya.
Ternyata, takdir berpihak padanya. Ia bertemu dengan seorang laki-laki yang menawarkan pernikahan. Seorang pria yang selama ini tak pernah ia kenal, yang ternyata adalah kakak tiri Johan menawarkan bantuan untuknya membalas dendam.
Pernikahan ini bukan hanya membawa cinta dan kebahagiaan baru dalam hidupnya, tetapi juga menjadi medan pertarungan Winda.
Mampukah Winda meninggalkan luka masa lalunya dan menemukan cinta sejati?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mama Mia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20
“Jadwalkan pertemuan hari ini di jam makan siang! Katakan juga harus dia sendiri dan anaknya yang datang!”
“Baik.” Denis menunduk hormat lalu pergi.
“Oh, iya, setelah itu, siapkan mobil!” tambah Ardan sebelum Denis menutup pintu.
“Anda akan pergi?” Denis mengerutkan kening, karena seingatnya sang CEO tidak ada janji pertemuan saat ini.
“Tentu saja, Aku harus menjemput istriku untuk makan siang bersama untuk menyambut mereka, kan?” Ardan berbicara santai sambil memutar kursinya ke kiri dan ke kanan.
Denis mengangguk. Sedikit banyak dia mulai paham ke arah mana maksud ucapan sang CEO. Denis adalah teman ardan sejak pria itu masih dalam masa sulit. Dia tahu semua yang terjadi. Mereka pernah berjuang bersama, hanya saja Ardan lebih beruntung. Mungkin karena Ardan lebih gigih darinya.
“Akan Saya siapkan.” Ardan mengangguk, lalu menutup pintu.
“Sudah waktunya kita bertemu kembali, Gunawan Aditama.”
*
*
*
Di ruang kerja Winda, mata wanita itu tampak fokus dengan komputer di hadapannya. Tangan kiri sesekali membalik berkas, dan tangan kanan cekatan bergerak lincah di atas keyboard dan sesekali terdiam menggenggam mouse. Hal yang sama juga sedang dilakukan oleh rekan seruangannya.
Kriiing…
Terdengar telepon kantor di meja pak Haris, ketua divisi, berdering. Winda yang kebetulan duduk paling depan, tepat berhadapan dengan meja ketua, mengangkat sejenak wajahnya dan tampak olehnya pria berusia 35 tahun itu sedang mengangkat selalu menempelkan telepon itu pada telinganya.
“Iya?” Suara Pak Haris.
Winda kembali mengalihkan atensinya pada komputer di hadapannya.
“Baik. Akan Saya sampaikan.”
Klek.
Terdengar telepon dikembalikan pada tempatnya. Pak Haris baru saja menutup telepon dengan ekspresi yang tak terbaca. Keheningan sesaat menyelimuti ruangan sebelum Pak Haris bersuara, suaranya datar namun berwibawa.
"Winda,"
Mendengar namanya disebut Winda mengangkat kembali wajahnya. “Iya Pak?”
"Kamu dipanggil untuk datang ke ruang CEO." Pak Haris memberitahukan isi panggilan.
Seketika, suasana ruangan berubah. Semua mata tertuju pada Winda. Tangan-tangan mereka yang sebelumnya bergerak lincah seketika berhenti. Saling pandang dengan teman, dan saling bertanya dengan isyarat mata. “Ada apa?” Semua merasa penasaran sekaligus khawatir.
Winda sendiri merasa jantungnya berdebar tak karuan. “Saya Pak?” ia menatap Pak Haris dengan mata yang membulat.
“Iya, Kamu. Sekretaris CEO baru saja menelpon dan meminta kamu untuk datang ke sana sekarang.”
"Apakah saya membuat kesalahan, Pak?" tanyanya, ia sedikit heran sekaligus gugup.
Pak Haris menggeleng pelan. "Aku juga tidak tahu, Winda. Tetapi katanya, ada yang ingin bertemu denganmu di ruang CEO.”
Winda mengangguk, kemudian berdiri dari tempat duduknya setelah menyimpan data di komputer dan mematikan nya.
Setelah melewati lift, dan sedikit berjalan, sampailah langkah Winda di depan ruang CEO. Mengambil nafas sejenak sebelum kemudian mengetuk pintu.
Pintu terbuka, menampakan wajah asisten Denis dengan senyum ramahnya. Winda mengangguk hormat, dan masuk ke dalam ruangan setelah dipersilakan.
Baru beberapa langkah masuk ke dalam ruangan, kening Winda berkerut. Matanya terpaku pada sosok yang duduk berhadapan di sofa ruang tunggu CEO. Meskipun hanya tampak dari bagian punggung ke atas, ia merasa mengenal pemilik sosok itu. Rambut yang tersisir maskulin, postur tubuh yang tegap, dan warna jas yang dikenakan… semuanya terasa begitu familiar.
"Silakan, Nona Winda," suara Tuan Antony membuyarkan lamunannya. Yang juga membuatnya tak paham, kenapa tuan Antony memanggilnya Nona?
Winda berjalan mendekat, jantungnya berdebar semakin kencang. Ketika ia sampai di depan sofa, ia melihat dengan jelas wajah orang yang duduk berhadapan dengan Tuan Antony. Itu adalah Ardan, suaminya.
"Ardan?" bisik Winda, suaranya nyaris tak terdengar.
Ardan tersenyum, Ia berdiri dan mengulurkan tangannya. "Aku datang menjemputmu untuk makan siang," kata Ardan, suaranya lembut namun tegas.
Winda terbelalak. “Makan siang? Ini masih jauh dari waktu makan siang. Dan aku masih bekerja.”
“Tidak masalah Nona Winda. Tuan Ardan sudah meminta izin untuk Anda.” Suara Tuan Anthony terdengar sopan.
Winda mengangguk dan menunduk hormat pada Tuan Anthony, lalu menatap suaminya dan mendengus kesal. Seenaknya saja pria di hadapannya ini.
“Terima kasih, Tuan Antony.” Bukan Winda, tapi Ardan yang lebih dulu menjawab, membuat Winda merasa tak enak hati pada atasannya.
“Dengan senang hati, Tuan Ardan. Anda berkunjung ke perusahaan kecil ini adalah suatu kehormatan dan keberuntungan bagi saya. Kedepannya Anda bisa datang dan menemui Nona Winda kapanpun Anda mau.” Anthony berbicara dengan wajah penuh binar. Mana dia tahu sebelumnya, kalau salah satu karyawati yang bekerja di tempatnya, akan menjadi istri dari tuan Ardan yang terhormat.
***
Jam makan siang di sebuah restoran mewah. Gunawan Aditama dan Johan yang sudah sejak satu jam lalu menunggu, berkali-kali ingin mengumpat kesal. Akan tetapi merasa segan pada asisten Denis yang duduk di hadapan mereka.
“Maaf, Tuan Denis.” Gunawan berbicara sesopan mungkin walaupun sebenarnya dalam hati ingin mencaci maki. “Apakah Tuan Bagaskara benar-benar bisa datang?”
Denis mengangkat wajahnya. “Jika Tuan Bagaskara sudah berkata akan datang, maka beliau pasti akan datang. Beliau sedang dalam perjalanan, tetapi jika anda tidak sabar anda boleh pergi.” Denis menatap ke arah Tuan Gunawan dengan wajah tidak suka.
“Ah, tidak. Bukan seperti itu maksud saya. Tentu saja saya akan menunggu dengan senang hati. Sudah lama saya menantikan kesempatan untuk bertemu dengan beliau.” Mau tak mau Gunawan merendah di hadapan Denis. Jangan sampai pengajuan kerjasama ini batal. Nasib perusahaannya bergantung pada persetujuan dari Bagaskara Grup.
Denis mengangguk, menatap datar pada dua wajah yang menunduk. “Apa Anda ingin memesan kopi lagi atau jus barangkali? Jangan khawatir Tuan Bagaskara yang akan membayar semuanya.”
“Tidak.” Gunawan dan Johan bersamaan melambai-lambaikan telapak tangannya di hadapan dan. Mereka sudah menghabiskan masing-masing dua cangkir kopi. Jika memesan kopi lagi, bisa-bisa perut mereka akan kembung. Sebenarnya mereka merasa perut mereka lapar, tetapi tidak mungkin jika mereka memesan makanan duluan.
Lima belas menit kemudian, orang yang mereka tunggu-tunggu datang. Dengan santai, organ duduk di samping Denis setelah menarik kursi dan membantu Winda untuk duduk.
“Winda…?” Johan begitu tertegun melihat siapa yang datang. Tak menyangka jika dia bisa bertemu dengan Winda lagi.
Winda terdiam melihat ada Johan di tempat itu. Apakah ini tujuan Ardan mengajaknya untuk makan siang, karena dia akan bertemu dengan Johan?
Gunawan menatap tajam ke arah sosok yang masih dikenalnya. Ardan. Anak yang beberapa tahun lalu dia usir dari rumah, kini telah menjadi sosok pria dewasa. Badannya tak lagi kecil seperti dulu. Bahkan lebih tinggi tegap dibandingkan dengan Johan anaknya.
“Untuk apa bergabung di meja kami?” Tuan Gunawan bertanya sinis. “Lebih baik kau pergi dari meja kami!”
Denis hendak menyahuti ucapan Tuan Gunawan, tetapi Ardan memberikan isyarat agar asistennya itu diam.
“Apa benar kau menyuruhku untuk pergi?” Ardan bertanya santai.
“Tentu saja. Kedatanganmu sangat mengganggu. Kami akan ada pertemuan bisnis dengan pengusaha besar, jangan sampai kau mengacaukannya!” Gunawan menatap tajam.
“Nona Kusuma, Sebenarnya saya sangat menyayangkan Anda. Kenapa Anda menolak Putra saya, dan justru menikah dengan pemuda miskin sepertinya?” Gunakan mengalihkan pandangannya pada Winda.
“Saya yakin, setelah ini pasti Anda yang akan menghabiskan banyak uang untuk menafkahinya.” Gunakan berbicara sambil menatap remeh ke arah Ardan.
“Win, ayo kita baikan. Aku minta maaf untuk masa lalu. Aku pasti akan berubah.” Johan ikut bicara. Mencoba meraih tangan Winda , tapi dengan cepat wanita itu menepisnya.
“Perusahaan kami akan menjalin kerjasama dengan perusahaan besar. Perusahaan papaku akan semakin berkembang, dan aku pasti akan bisa menebus kesalahanku yang dulu. Aku akan mengganti semua yang pernah aku minta padamu.”
Winda mendengus kesal. Percaya diri sekali pria di hadapannya ini. “Sayangnya aku tidak tertarik.” Winda melipat kedua tangannya di depan dada.
“Kau! Cepatlah pergi dari sini!” Kesal dengan jawaban Winda, Tuan Gunawan kembali mengusir Ardan. “Pengusaha yang akan kami temui pasti akan segera datang. Aku tidak mau kedatanganmu mengganggu!” Gunawan berbicara sambil mengarahkan telunjuk jarinya ke wajah Ardan.
“Baiklah kalau itu keinginanmu.” Ardan kembali berdiri, dan juga membantu Winda untuk berdiri. “Kuharap kau tidak menyesal telah mengusirku!”
duh.. kan jadi gatel jariku/CoolGuy/
Ardan yang nyidam
Winda yang mengalami morning sick
lucu banget.....
lanjut ka....