tidak mudah bagi seorang gadis desa seperti Gemi, untuk menjadi seorang prajurit perempuan elit di kerajaan, tapi yang paling sulit adalah mempertahankan apa yang telah dia dapatkan dengan cara berdarah-darah, intrik, politik, kekuasaan mewarnai kehidupannya, bagaimana seorang Gemi bertahan dalam mencapai sebuah kemuliaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mbak lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Draft
Sepuluh orang gadis dalam satu barak penampungan di dalam satu angkatan, dan setelah ini kami akan dipencar menjadi tiga kesatuan, dua orang di kesatuan Selendang kuning,
kesatuan selendang kuning adalah pasukan elit perempuan, rata-rata orang di kesatuan ini adalah gadis yang cerdas, cantik, karena kesatuan ini lebih fokus kepada penyelidikan, mata-mata, agen rahasia, dan menjaga kesetabilan keamanan dari dalam, jarang ada pasukan Selendang kuning yang terjun langsung ke medan perang apabila masih ada pasukan yang lain, Tantri dan Sekar adalah orang yang pantas untuk itu, kedua gadis itu cantik seperti rembulan malam.
Sedangkan aku bersama kedua gadis bernama retno dan Laras akan berada di kesatuan Candraka, kesatuan ini dibentuk dengan fungsi menjadi pasukan pengaman untuk perempuan di dalam istana, perjalanan istri pejabat dan pengungsian disaat huru-hara adalah poin pentingnya, beberapa diantara pasukan ini lebih cepat kaya karena berhubungan dengan para pembesar kerajaan.
dan tiga orang lainya Gendis, Ajeng dan Mayang masuk pasukan Bayangkara, pasukan idaman seluruh orang, pasukan ini tidak banyak hanya terdiri dari beberapa orang drngan kemampuan setara dengan lima prajurit biasa, pasukan ini hanya punya satu atasan yaitu mahapatih, tidak ada yang bisa memerintah mereka, di daerah mereka sudah hampir mirip dengan raja kecil, pada dasarnya aku ingin sekali masuk kesatuan ini.
selama enam bulan kami ditempatkan dipenampungan untuk diberikan pendidikan dasar sebelum disebarkan ke kesatuan masing-masing.
Sebelum ayam berkokok kami akan bangun untuk kemudian membedal kuda kami ke bukit di belakang kotaraja, kami akan naik dengan berjalan kaki bahkan berlari untuk mengambil papan nama yang disiapkan di sana untuk dibawa turun kembali, kemudian membedal kuda kami kembali sebelum matahari benar-benar keluar, kalau sempat kami akan mandi dan mengambil sarapan dengan terburu-buru, kalau sedikit kesiangan kami harus merelakan menunda acara mandi, kadang mengambil jatah makan dengan asal, yang penting ada sesuatu masuk ke perut, untuk menghadap guru yang mengajarkan tentang berbagai ilmu pengetahuan seperti pengobatan, racun , strategi dan banyak hal, terejda acara makan siang dan kembali kami belajar sampai sore, setelah belajar kami sempatkan untuk mandi, sebelum ketika matahari sudah tenggelam guru beladiri akan datang, mengajari kami ilmu murni dan ilmu sejati.
bagi yang sudah punya dasar bagian ini tidak terlalu melelahkan, hari hampir tengah malam dan kami tertidur dalam kondisi capek untuk kembali bangun pada jam setelah tengah malam, dan itu terjadi setiap hari.
Tubuh kami menyusut dan kehilangan berat badan, Ajeng terlihat parah, semua tulang wajahnya menonjol terlihat sepuluh tahun lebih tua, tapi badan kami semakin kuat, otot kaki dan tangan kami terlatih dengan baik.
kami dididik untuk bekerja team, salah satu dari kami bersalah maka kami berdelapan akan menanggungnya bersama, bilur bekas pecut dan tongkat sudah hampir rata di semua sisi tubuh kami,
seperti biasa malam itu kami bergegas untuk sampai dulu di barak, Tantri sedang datang bulan dan berharap mempunyai waktu untuk mandi pagi lebih lama, jadi sebelum kami berangkat, tantri sudah berangkat dulu, semalam sebelum tidur dia sudah berpamitan,
kami menyusul sesuai jam seharusnya, kuda dipacu dengan saling menyalip, awalnya dulu seorang senapati membawa kami, setelah beberapa saat senapati Untara hanya sekali-sekali mengawasi kami, tapi kami tetap melakukanya drngan baik, bukan karena tanggung jawab karena kami tahu kami selalu diawasi.
Kuda coklat Tantri terparkir di tempat biasa, lalu kami semua berhamburan berlari ke bukit itu melewati hutan dan terjal, beberapa saat kemudian ketika kami sudah sampai di atas dan mengambil masing-masing papan nama.
" Kenapa papan nama Tantri masih disini ?" tanyaku kepada teman-temanku, mereka serentak mengerubungiku.
" lho ... piye tho " sahut Ajeng pendek, kami mulai celingak-celinguk mencari jejak Tantri,
" laras, sekar kalian turunlan, lihat apakah Tantri sudah dibawah, bawalah papan nama ini " kata Mayang yang merupakan pimpinan regu minggu ini,
" satu orang berjaga disini Retno dua orang ke arah selatan , gendis dan ajeng, jangan berpencaran apapun keadaanya dua jam lagi kita berkumpul dibawah, kita akan memberi kode dengan panah sanderan gemi ikut aku " kata mayang dengan tegas.
kami segera berpencar ke masing-masing arah, aku mengikuti Mayang untuk mencari di sekitar bukit, mungkin saja Ratri sedang tersasar, kami juga mulai meneriakan namanya
" Ratri ... ratri " teriakan kami bergema dan memantul,
aku memberi tanda pada beberapa kayu yang kulewati, sejauh kami berjalan aku juga punya kekuatiran kalau kami akan kesasar, tapi sejauh itu kami tidak menemukan jejak apapun, sebuah panah sanderan dilepas di sisi yang berbeda dengan kami, kami berdua melihat ke arah mana, dan segera berlari dengan mengandalkan insting, tidak ada penerangan hanya cahaya bulan yang remang-remang.
"ratri ditemukan " kata mayang dan aku mengangguk.
Malang tidak dapat dihindari, sebagus apapun penglihatan kami ternyata sebagai manusia yang membutuhkan cahaya, Mayang salah melangkah dan terperosok kedalam jurang, aku tidak sempat meraih tanganya, gadis itu menggelinding ke dasar, tapi untungnya dia berpegangan pada akar dan pohon disana, tubuhnya tidak terhempas begitu saja, dan menggantung,
" bertahanlah " teriaku dari atas,
"cepatlah, akar ini rapuh " kata mayang dari bawah
aku segera merangkak kebawah dan mencari pijakan yang cukup kuat setapak demi setapak aku mulai turun dan segera mengulurkan tangan kananku, sedang tanganku yang lain berpegangan pada pohon yang kuat untuk menopang kami berdua, tapi sayang sekali aku masih kurang sedikit kebawah tanganku belum bisa mencapai mayang,
aku segera melepaskan selendangku, Selendang ini walaupun tipis tapi terbuat dari bahan pilihan yang sangat kuat, memang di desain untuk hal semacam ini, aku mengikatkan tubuhku di kayu sebagai penopang, dan syukurlah aku bisa menangkap tangan mayang sebelum gadis itu benar-benar jatuh kami berdua menggantung di Selendang, dengan sekali tarikan Mayang berayun dan mendapatkan pijakan kembali, setelah itu perlahan kami merangkak keatas tebing seperti dua monyet besar.
kami menghempaskan tubuh kami setelah berada di atas, dan mengambil nafas
" untunglah " kata mayang sambil melongok ke bawah,
" Kenapa jurang sebesar ini tidak kelihatan " kataku seperti gunaman
" mataku sedang lamur, ayo kita segera pergi " kata mayang, tapi aku merasa keanehan aku sperti menginjak dan berdiri di sesuatu yang lentur, bukan seperti tanah becek atau pasir halus.
" jangan bergerak " kataku dengan sangat pelan, mayang berhenti bergerak dan melihat kearahku, dia sepertinya juga mengerti dengan apa yang kurasakan, dan bersama kami melihat ke bawah tanah tempat kami berpijak.
kami menjerit dengan jeritan yang tidak pernah kami lakukan sebelumnya.