Amira terperangkap dalam pernikahan yang menyakitkan dengan Nakula, suami kasar yang merusak fisik dan mentalnya. Puncaknya, di pesta perusahaan, Nakula mempermalukannya dengan berselingkuh terang-terangan dengan sahabatnya, Isabel, lalu menceraikannya dalam keadaan mabuk. Hancur, Amira melarikan diri dan secara tak terduga bertemu Bastian—CEO perusahaan dan atasan Nakula yang terkena obat perangsang .
Pertemuan di tengah keputusasaan itu membawa Amira ke dalam hubungan yang mengubah hidupnya.
Sebastian mengatakan kalau ia mandul dan tidak bisa membuat Amira hamil.
Tetapi tiga bulan kemudian, ia mendapati dirinya hamil anak Bastian, sebuah takdir baru yang jauh dari penderitaannya yang lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Siang itu, setelah suasana di kantor mulai tenang, Amira berdiri di depan jendela besar ruang kerja Sebastian.
Ia memandang ke luar, ke arah taman perusahaan yang dipenuhi karyawan berlalu-lalang.
Namun matanya tidak benar-benar melihat pemandangan itu.
Yang ia lihat adalah bayangan masa lalu dan malam pesta yang penuh penghinaan, tawa sinis, dan luka batin yang dulu hampir merenggut harga dirinya.
“Bas,” panggil Amira pelan.
Sebastian yang sedang memeriksa dokumen menoleh.
“Ada apa, sayang?”
Amira berbalik menghadapnya, wajahnya tenang tapi tatapannya tajam.
“Aku ingin kau panggil teman-teman Nakula dan Isabel. Mereka yang dulu ikut memperolokku di pesta ulang tahun perusahaan. Aku ingin bertemu mereka.”
Sebastian menatap istrinya sejenak, membaca kesungguhan di wajah Amira.
“Untuk apa, Mira?”
Amira menarik napas dalam-dalam, lalu menjawab dengan tenang,
“Untuk menutup semua bab lama dalam hidupku. Aku ingin mereka tahu siapa yang mereka hina dulu dan siapa aku sekarang.”
Senyum kecil muncul di bibir Sebastian. Ada kebanggaan di sana.
“Baik,” katanya singkat sambil menekan tombol interkom.
“Diko, tolong panggil beberapa staf yang dulu satu tim dengan Nakula dan Isabel. Suruh mereka ke ruang meeting utama sekarang.”
Tak lama kemudian, lima orang pria dan dua wanita masuk ke ruang meeting besar di lantai atas.
Mereka tampak gelisah dan mungkin sudah mendengar kabar tentang pemecatan Isabel dan Nakula.
Sebastian duduk di kursi utama, dingin dan berwibawa, sementara Amira berdiri di sampingnya dengan anggun.
Dress putihnya yang sederhana membuatnya tampak seperti sosok yang tak tersentuh elegan, berkelas, tapi penuh kekuatan.
Beberapa dari mereka saling berbisik, hingga salah satu di antaranya menatap Amira dengan dahi berkerut.
“Siapa wanita ini, Pak? Kenapa kami—”
Ia tidak sempat melanjutkan kalimatnya.
Amira berjalan maju satu langkah, tersenyum tipis, lalu berkata dengan suara lembut tapi menggema di seluruh ruangan:
“Kalian tidak mengenaliku?” tanya Amira.
Suasana hening.
Salah satu perempuan menatap lebih lama, lalu wajahnya tiba-tiba pucat.
“T-tidak mungkin Amira?”
Yang lain saling pandang, kaget.
Amira mengangguk pelan.
“Ya. Aku Amira. Wanita yang kalian hina di pesta malam itu. Yang kalian sebut ‘mandul’, ‘jelek’, dan ‘tidak pantas berdampingan dengan siapa pun’. Kalian ingat?”
Salah satu pria mencoba tersenyum kaku.
“I-iya, tapi itu hanya bercanda waktu itu, Bu—”
Amira menatapnya dingin.
“Bercanda? Lucu sekali. Karena waktu itu, kata-kata kalian membuatku ingin mengakhiri hidupku.”
Mereka terdiam. Tak satu pun berani membalas.
Sebastian berdiri perlahan, suaranya berat dan tegas.
“Dan sekarang, perempuan yang kalian rendahkan itu adalah istriku. Istri sah CEO perusahaan ini.”
Beberapa orang langsung menunduk dalam, wajah mereka memucat.
Amira melangkah mendekat, menatap satu per satu wajah mereka dengan sorot tajam namun tetap anggun.
“Aku tidak datang untuk membalas dendam. Aku hanya ingin kalian tahu setiap kata yang kalian ucapkan pada seseorang bisa menghancurkan lebih dalam daripada yang kalian bayangkan.”
Ia berhenti di depan Arman yang dulu paling lantang menertawainya.
“Kamu pernah berkata, ‘Siapa yang mau lihat wajah seperti itu setiap hari’. Masih ingat?”
Arman menelan ludah, wajahnya memerah.
“S-saya minta maaf, Bu Amira. Saya benar-benar tidak tahu—”
“Sekarang kamu tahu,” potong Amira lembut.
“Dan semoga kamu tidak pernah mengulanginya kepada siapa pun lagi.”
Suasana ruangan berubah hening. Hanya suara AC yang terdengar.
Sebastian menatap para karyawan itu dengan dingin.
“Mulai hari ini, kalian akan mengikuti pelatihan etika dan profesionalisme. Aku tidak akan memecat kalian,.karena Amira yang memintaku untuk tidak melakukannya. Tapi aku harap kalian tahu, kesempatan kedua tidak selalu datang dua kali.”
“Terima kasih, Pak. Bu Amira,” ucap mereka hampir serempak, menunduk dalam sebelum meninggalkan ruangan.
Begitu pintu tertutup, Amira menatap Sebastian dengan mata berkaca-kaca.
“Terima kasih, Bas. Sekarang aku benar-benar merasa bebas.”
Sebastian mendekat, memeluknya dari belakang dan berbisik di telinganya:
“Kamu tidak hanya bebas, sayang. Kamu menang dengan cara paling elegan.”
Sebastian kembali duduk di kursinya, mengambil beberapa dokumen dari map hitam di atas meja. Ia menandatangani satu per satu dengan ekspresi fokus dan tegas, sementara Amira memperhatikan dari sofa.
Tangannya yang berotot tampak kokoh menggenggam pena, dan setiap tanda tangan seolah menjadi simbol kendali penuh atas hidup dan perusahaannya.
Setelah menyelesaikan lembar terakhir, Sebastian menutup map itu dengan tenang.
“Sudah selesai,” katanya sambil berdiri. Ia menatap Amira dan tersenyum hangat.
“Sekarang waktunya kita ke acara pembukaan hotel Tuan Alexander. Aku sudah janji akan hadir tepat waktu.”
Amira berdiri perlahan, merapikan dress putih lembutnya yang kini dipadu dengan blazer pastel.
Ia tampak anggun aura elegan terpancar dari setiap gerakannya.
“Baik, Bas. Aku sudah siap,” ujarnya sambil menatap suaminya dengan senyum kecil.
Sebastian menghampiri dan memegang tangan istrinya.
“Kalau begitu, mari kita buat semua orang tahu pasangan Sebastian dan Amira Vettel selalu datang dengan gaya,” katanya menggoda.
Amira tertawa kecil, pipinya merona.
“Yang penting kita tidak terlambat dulu, Tuan Vettel.”
Mereka berjalan keluar dari ruang kerja, menuruni lift pribadi menuju lobi. Beberapa staf yang mereka lewati langsung memberi salam hormat.
Tatapan mereka kagum, tak hanya pada Sebastian sang CEO, tapi juga pada Amira yang kini tampak seperti lambang keanggunan dan kekuatan baru perusahaan itu.
Mobil hitam mewah sudah menunggu di depan pintu utama.
Diko segera membukakan pintu, dan Sebastian mempersilakan Amira masuk lebih dulu.
Begitu mobil melaju, suasana di dalam terasa hangat.
Cahaya matahari sore menembus kaca, memantulkan kilau halus dari cincin pernikahan di jari Amira.
“Bas,” ucap Amira pelan sambil menatap keluar jendela.
“Dulu aku tidak pernah membayangkan bisa berada di titik ini. Datang ke acara besar seperti ini, tanpa rasa takut, tanpa rasa malu.”
Sebastian menatap wajah istrinya dengan sangat lembut.
“Itu karena kamu sudah berdamai dengan masa lalu, Mira. Sekarang semua orang akan melihat siapa dirimu yang sebenarnya.”
Amira tersenyum kecil.
“Bukan hanya aku. Tapi juga karena kamu selalu di sisiku.”
Sebastian menggenggam tangan istrinya lebih erat.
“Dan aku akan tetap di sini, apa pun yang terjadi.”
Tak lama kemudian, mobil mereka berhenti di depan hotel mewah bergaya modern klasik milik Tuan Alexander.
Karpet merah terbentang di depan pintu masuk, kamera wartawan sudah berjajar di kiri kanan, menunggu tamu-tamu penting datang.
Begitu pintu mobil dibuka, Sebastian turun lebih dulu, lalu mengulurkan tangan pada Amira.
Ia membantu istrinya keluar dengan gerakan penuh wibawa dan kehangatan layaknya pria yang mempersembahkan dunianya untuk wanita yang dicintainya.
Sorot lampu kamera segera mengarah pada mereka.
Bisik-bisik kecil mulai terdengar di antara tamu undangan.
karna bastian mandul