"Ambil saja suamiku, tapi bukan salahku merebut suamimu!"
Adara yang mengetahui pengkhianatan Galang—suaminya dan Sheila—sahabatnya, memilih diam, membiarkan keduanya seolah-olah aman dalam pengkhianatan itu.
Tapi, Adara bukan diam karena tak mampu. Namun, dia sudah merencanakan balas dendam yang melibatkan, Darren—suami Sheila, saat keduanya bekerjasama untuk membalas pengkhianatan diantara mereka, Darren mulai jatuh dalam pesona Adara, tapi Darren menyadari bahwa Adara tidak datang untuk bermain-main.
"Apa yang bisa aku berikan untuk membantumu?" —Darren
"Berikan saja tubuhmu itu, kepadaku!" —Adara
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Puluh Empat
Adara mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Akhirnya dia telah resmi menyandang status janda. Antara bahagia dan sedih dia rasakan saat ini.
Dia tak pernah membayangkan rumah tangganya akan hancur memasuki tahun kelima. Namun, dia juga tak boleh terus menyesali takdir. Semua sudah berjalan semestinya.
Saat di perjalanan, gawainya berbunyi. Adara melihat ada pesan masuk. Dia membacanya, ternyata dari seorang temannya yang seorang produser film. Dia menawarkan kerjasama agar perusahaan Adara mau membiayai sebuah produksi film.
Adara yang merasa tertarik, lalu melakukan perjanjian. Dia ingin bertemu siang ini juga dengan temannya itu yang bernama Arif. Mobil yang dia kendarai akhirnya berbalik arah. Dia akan langsung menuju sebuah Kafe tempat mereka tadi janjian.
Angin siang berhembus lembut, mengirimkan aroma segar dari taman kecil di sekitar kafe tempat Adara duduk. Dia memandangi secangkir kopi hitam di meja, sesekali memandang ke luar jendela, seolah menunggu sesuatu yang tak pasti. Hari itu terasa lebih cerah dari biasa, meskipun awan hitam mengintip dari kejauhan.
Tak ada yang menduga jika dia baru saja menerima keputusan cerai karena wajahnya yang tampak ceria. Adara begitu merasa lega setelah adanya keputusan itu.
Detik-detik berlalu, hingga akhirnya sosok yang ditunggu muncul. Arif, teman lama sekaligus produser film yang tengah naik daun, melangkahkan kaki dengan percaya diri. Dia mengenakan kaus putih dan celana jeans, penampilan kasual yang nyaris selalu menjadi ciri khasnya. Senyumnya lebar seolah membawa sinar matahari ke dalam kafe.
"Adara!" teriak Arif sambil melambai-lambaikan tangannya.
"Hai, Arif!" jawab Adara, bangkit dari kursinya. Mereka berpelukan hangat, seperti menghapus jarak waktu yang telah memisahkan mereka.
Arif duduk di hadapan Adara dan memesan kopi yang sama. "Sudah lama kita tidak ketemu. Bagaimana kabarmu?"
"Baik, sibuk dengan proyek-proyek baru. Tapi aku agak bosan, sih. Kenapa kau mau mengajak ketemu?" jawab Adara sambil mengaduk kopi.
Mata Arif berbinar-binar, seolah ada sesuatu yang sangat menarik untuk dibagikan. "Seperti isi chat tadi, aku mau ngobrol tentang proyek film baru yang sedang aku kerjakan. Aku butuh dukunganmu."
"Maksudmu, dukungan dalam bentuk apa?" Tanya Adara penasaran. Sejak Arif berkarir di dunia film, dia selalu ingin mendengar cerita tentang dunia yang penuh warna itu.
“Biaya!” jawab Arif sambil tersenyum nakal. “Aku ingin mengajakmu berinvestasi di film terbaruku.”
Adara terkejut sejenak. Meskipun pernah berbincang tentang dunia film, dia tidak pernah membayangkan akan terlibat secara langsung. "Kalau boleh tahu filmnya tentang apa?"
“Filmnya adalah drama romantis. Kisah dua orang yang mencari cinta sejati di tengah tantangan hidup mereka,” Arif menjelaskan dengan semangat.
Dia lalu melanjutkan, “Dan yang lebih menarik, aktor utama yang bermain adalah Darren!”
Mendengar nama Darren, jantung Adara berdegup kencang. Akan tetapi, dia berusaha menunjukkan wajah tenang. “Darren? Aktor terkenal itu?”
“Yup! Dia setuju untuk mengambil peran ini. Aku tahu kamu penggemar beratnya!” Arif melanjutkan. “Jadi, apa kamu mau bergabung? Ini kesempatan bagus.”
Arif tak tahu jika Adara dekat dengan pria itu saat ini. Sebelum menikah dengan Sheila, Darren memang merupakan salah satu idolanya.
Adara merasa bimbang. Di satu sisi, dia sangat tertarik, apalagi bisa terlibat dengan Darren, tetapi di sisi lain, dia tidak yakin tentang dunia film yang penuh risiko. "Tapi Arif, aku bukan orang yang berpengalaman di dunia film. Apa tidak ada orang lain yang lebih cocok?"
"Justru itu! Aku percaya kamu punya intuisi dan visi yang kuat. Kamu bisa membantu dalam banyak hal, mulai dari set desain hingga promosi. Selain itu, aku butuh seseorang yang bisa dipercaya," jawab Arif meyakinkan.
Adara mencermati raut wajah Arif yang bertekad. “Oke, ayo kita bicarakan lebih lanjut. Tapi kita juga perlu melihat skenario dan membuat perhitungan yang matang.”
“Bagus! Aku sudah mengatur semuanya. Mari kita lihat skenarionya saat kita selesai di sini,” Arif berkata dengan nada optimis.
Percakapan mereka mengalir lancar, membahas berbagai aspek film. Adara terpesona dengan cerita yang diceritakan Arif. Dia membayangkan bagaimana adegan-adegan indahnya akan terlihat dan merasakan semangat baru di dalam dirinya.
“Dan kamu tahu, kita bisa membuat film ini menjadi sesuatu yang benar-benar spesial,” kata Arif. “Bayangkan, jika ini sukses, kita berdua bisa mendapatkan nama di industri film!”
Adara tersenyum, membayangkan potensi keberhasilan itu. Namun, rasa keraguan masih melingkupi pikirannya. "Seandainya filmnya tidak laku?"
“Risiko dalam hidup kan biasa. Buktinya, banyak kesuksesan yang berawal dari kegagalan. Selain itu, kita harus percaya dengan apa yang kita kerjakan. Jika kita berusaha dengan baik, pasti akan ada hasilnya,” kata Arif, menggugah semangat Adara.
Mereka mengobrol berjam-jam hingga sore tiba. Adara merasa seakan waktu meluncur begitu cepat. Dia tahu bahwa keputusan tentang investasinya tidak bisa dianggap enteng, tetapi semangat yang ditularkan Arif membuatnya semakin berani.
“Adara, terima kasih karena mau mendengarkan semua impianku. Ini sangat berarti bagiku,” kata Arif dengan tulus.
“Tidak apa-apa. Aku merasa terinspirasi. Tapi aku masih perlu waktu untuk berpikir,” jawab Adara.
Jam menunjukkan pukul enam sore, dan Adara harus kembali. “Aku pamit dulu, ya? Nanti kita lanjut obrolan ini. Biar aku pikirkan semuanya.”
“Jangan buru-buru! Bawa pulang skenario ini dan baca. Nikmati prosesnya,” Arif menyerahkan lembaran-lembaran kertas yang berisi skenario kepada Adara.
"Saya akan lakukan," jawab Adara sambil tersenyum. "Selamat berjuang dengan itu."
Mereka saling berpelukan sebelum akhirnya Adara melangkah keluar dari kafe. Cahayanya meredup, menyisakan kesan hangat dari pertemuan mereka. Di luar, matahari terbenam dengan warna oranye keemasan yang menakjubkan.
Dalam perjalanan pulang, Adara memikirkan semua informasi yang Arif berikan. Mungkin maksud dari "berani mengambil risiko" itu sebenarnya adalah bagian dari kehidupannya yang selama ini dia hindari. Sejauh ini, hidupnya berada di zona nyaman, di mana segalanya terasa teratur dan aman.
Sesampainya dirumah, Adara membuka skenario yang diberikan Arif. Setiap halaman berisi alur cerita yang menggugah emosi. Ada sesuatu yang menarik dan penuh harapan dalam cerita itu. Dia mulai merasakan ketertarikan yang lebih dalam.
Satu hal membuat perubahan di hatinya: peluang untuk berpartner dengan Arif dan mungkin dia akan lebih dekat dengan Darren. Itu akan membuat sandiwara mereka akan lebih baik dan lancar.
Begitu banyak yang harus dipikirkan. Apa keputusan yang harus diambil? Apakah dia siap untuk melangkah ke dunia yang tak dikenal ini? Adara bertanya dalam hatinya.
Dengan pikiran yang penuh pertanyaan dan rasa ingin tahu, Adara duduk di sofa dan mulai membaca. Dia tahu ini baru permulaan dari sesuatu yang lebih besar. Dia sepertinya harus mencoba hal baru. Apa lagi dia tak begitu sibuk. Perusahaan saat ini dia percayakan pada seseorang untuk dipimpin. Dia hanya mengawasinya.
Good Andara jangan mau di injak 2 sama nenek gombel Sheila
kl mau pngsan,slakan aja....drpd mkin malu....😝😝😝