Sejak kematian ayahnya yang misterius, Elina diam-diam menyimpan dendam. Saat Evan—teman lama sang ayah—mengungkapkan bahwa pelakunya berasal dari kepolisian, Elina memutuskan menjadi polisi. Di balik ketenangannya, ia menjalankan misi berbahaya untuk mencari kebenaran, hingga menyadari bahwa pengkhianat ada di lingkungan terdekatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengendus kejahatan di Sakura
Pak Dimas berjalan menyusuri koridor panjang bersama Valencia. Langkah sepatu mereka bergema lembut di lantai marmer, melewati dinding kaca yang memperlihatkan di luar—bersih, elegan, dan penuh prestise—tapi Valencia tahu, di balik tembok indah itu ada sesuatu yang busuk.
Beberapa menit kemudian, mereka tiba di depan kelas bertuliskan XII-A. Dimas mengetuk pintu, lalu membuka perlahan. Suasana kelas hening seketika, beberapa murid langsung berdiri sopan melihat kepala sekolah masuk.
"Selamat pagi, Bu Miranda," ucap Dimas dengan sopan.
Guru muda berambut coklat itu menatap ke arah mereka, tersenyum hangat. "Selamat pagi, Pak Dimas."
"Saya ingin memperkenalkan murid baru yang akan bergabung di kelas ini mulai hari ini," jelas Dimas, memberi isyarat pada Valencia untuk maju.
Semua mata tertuju padanya. Valencia menarik napas pelan—kini bukan dirinya sebagai detektif, melainkan Lili, siswi baru yang harus terlihat lembut dan ramah.
"Perkenalkan," ucapnya dengan suara lembut, sedikit menunduk. "Nama saya Liliana Putri Aurora, kalian bisa panggil saya Lili."
Beberapa siswa langsung terdengar berbisik pelan.
"Cantik banget."
"Kayak model deh."
Bahkan ada yang bersiul kecil, membuat Valencia menahan diri agar tetap tersenyum manis.
"Baik, Lili," sahut Bu Miranda. "Selamat datang di kelas XII-A. Silakan duduk di bangku kosong di belakang, di sebelah Yuliana."
Valencia mengangguk, lalu berjalan menuju tempat duduk yang ditunjuk. Ia menatap sekeliling sekilas—beberapa wajah murid tampak ramah, tapi sebagian lainnya menatapnya dengan pandangan curiga.
Sesampainya di kursi, gadis berambut panjang di sebelahnya tersenyum sopan.
“Hai, aku Yuliana,” ucapnya pelan.
Valencia membalas senyum itu dengan ramah. “Hai, senang kenal kamu.”
Namun di balik senyum hangat itu, pikiran Valencia tetap waspada. Ia tahu, salah satu dari mereka… mungkin saja adalah bandar yang ia cari.
•●•
Bu Miranda mulai menulis rumus di papan tulis, suaranya tegas namun lembut. “Anak-anak, kita akan lanjut ke topik logaritma. Harap diperhatikan, karena soal ini akan keluar di ujian akhir.”
Semua siswa langsung fokus, tak ada yang bercanda atau menunduk diam. Suasana kelas itu benar-benar serius, nyaris terlalu tenang.
Valencia—atau Lili—memperhatikan papan tulis dengan ekspresi datar. Ia tersenyum tipis, menahan tawa kecil dalam hati. Pelajaran begini? Mudah banget.
Dulu, saat dia masih sekolah, dia termasuk salah satu siswa paling cerdas. Soal logaritma semacam ini baginya hanyalah pemanasan.
Tak terasa, waktu berlalu cepat.
Bel berbunyi—nyaring dan khas. Bu Miranda menutup bukunya dan menatap seluruh kelas. “Baik, cukup sampai sini. Istirahat dulu sebelum jam berikutnya dimulai.”
“Baik, Bu!” sahut para murid serempak.
Yuliana langsung menoleh ke arah Valencia. “Kantin yuk, Li.”
Valencia tersenyum sopan. “Ayo.”
Mereka berjalan keluar kelas, melintasi lorong panjang yang dipenuhi aroma bunga sakura dari taman depan. Tapi di sepanjang jalan itu, Valencia bisa merasakan pandangan orang-orang tertuju padanya. Tatapan kagum… tapi juga ada yang terasa mengamati terlalu lama.
"Kenapa mereka ngeliatin gue? Emang ada yang salah?" tanya Valencia pelan pada Yuliana.
Maklum, ini pertama kalinya dia mendapat tatapan seperti itu. Saat masih bersekolah dulu, orang-orang justru sering mengabaikannya karena statusnya sebagai siswa beasiswa.
Yuliana terkekeh kecil. "Mereka ngeliatin kamu karena kamu cantik, Li."
Valencia mengerjap, lalu menggeleng pelan. "Padahal gue biasa aja."
Begitu tiba di kantin, Valencia sedikit terkejut. Ruangan luas itu seperti kafe mahal—tak ada antrean, tak ada rebutan tempat duduk. Semua siswa makan dengan tenang, penuh sopan santun.
Yuliana menarik tangan Valencia pelan, mengajaknya duduk di salah satu bangku kosong. Di sudut meja, terukir nama Yuliana.
"Ini bangku lo?" tanya Valencia heran.
"Iya," jawab Yuliana santai sambil duduk. "Di sini semua murid punya bangku masing-masing." Ia menoleh ke Valencia, tersenyum kecil. "Lo mau pesan apa?"
Valencia menatap layar tab yang terpasang di meja. Matanya sedikit membulat. Sekolah ini benar-benar jauh berbeda dari sekolah lamanya—makanan kantinnya semuanya sehat dan bertaraf internasional, bahkan menu pun dipesan lewat tab, bukan ditulis di papan dinding.
"Gue... nasi goreng seafood aja, Yul," jawab Valencia akhirnya.
Yuliana mengangguk, memesan lewat tab, dan tak lama pesanan mereka pun datang.
Saat mereka mulai makan, suara riuh tiba-tiba terdengar dari arah pintu kantin.
Valencia menoleh penasaran. "Mereka kenapa?" tanyanya, alis sedikit terangkat.
Yuliana mencondongkan tubuh sedikit, suaranya setengah berbisik tapi penuh antusias.
"Ada most wanted sekolah masuk ke kantin."
"Most wanted?" ulang Valencia bingung.
"Iya, cowok paling ganteng di sekolah ini," jelas Yuliana dengan mata berbinar. "Dia juga ketua geng motor di sini—namanya Evos."
bab slnjut ny thor