NovelToon NovelToon
Terjerat Hasrat Tuan Muda

Terjerat Hasrat Tuan Muda

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / One Night Stand / Cinta Terlarang / Beda Usia / Teen School/College / Dark Romance
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author: OctoMoon

Demi melunasi hutang ibunya, Nayara rela menjual keperawanannya pada pria asing di hotel mewah. Ia pikir semuanya berakhir malam itu—hingga pria itu kembali muncul sebagai kakak sahabatnya sendiri.

Alaric, Pewaris keluarga kaya yang dingin sekaligus berbahaya, langsung mengenali Nayara sebagai gadis yang pernah ia sentuh. Sejak saat itu, hidup Nayara berubah jadi permainan penuh ancaman godaan dan rahasia terlarang yang siap meledak kapan saja.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon OctoMoon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17 / THTM

Pagi datang dengan cepat, tapi untuk Nayara, semalam rasanya seperti tak pernah berakhir.

Ia tidak benar-benar tidur. Setiap kali terpejam, bayangan layar ponselnya yang menampilkan foto dirinya terus muncul.

Matanya bengkak, tubuhnya lelah, dan langkahnya terasa berat saat menuju sekolah.

“Kamu pucat banget, Nay. Gak apa-apa?”

tanya salah satu teman sekelasnya saat mereka duduk di bangku.

Nayara hanya menggeleng kecil.

“Kurang tidur aja…”

jawabnya, memaksa senyum.

Guru masuk, suasana kelas kembali normal. Tapi fokusnya buyar total. Setiap kali mendengar suara notifikasi ponsel di kelas, jantungnya refleks berdegup cepat.

Ia menatap tasnya—ponselnya di silent, tapi entah kenapa, ia tetap merasa itu akan berbunyi lagi.

Bel istirahat berbunyi.

Teman-teman keluar, tapi Nayara memilih diam di tempat, mencoba mengerjakan tugas agar pikirannya sibuk.

Namun beberapa menit kemudian, suara langkah menghentikan aktivitasnya.

“Nayara, ini ada kiriman buat kamu.”

Seorang satpam sekolah menyerahkan kotak kecil berwarna hitam dengan pita merah di atasnya.

“Dari siapa, Pak?”

“Katanya... dari seseorang yang sayang kamu.”

Satpam itu tersenyum tanpa curiga, lalu pergi.

Nayara terpaku. Kotak itu kecil—ukuran telapak tangan.

Ia sempat ingin membuangnya, tapi rasa penasaran bercampur takut membuat tangannya gemetar membuka pita itu.

Di dalamnya… ada lipstik warna merah tua.

Dan di bawahnya, secarik kertas dengan tulisan tangan yang sudah tak asing:

“Warna ini cocok di bibirmu. ”

Jantung Nayara berhenti sepersekian detik.

Tangannya refleks menutup kotak itu.

Teman sekelasnya kembali, membuatnya buru-buru menyembunyikan hadiah itu ke dalam tas.

“Nay, kamu kenapa sih? Mukamu tiba-tiba pucat banget?”

“Gak apa-apa, sumpah…”

suaranya parau, matanya berusaha tak menatap siapa pun.

Sisa hari itu berjalan lambat dan mencekam.

Setiap suara langkah di koridor, setiap pintu yang terbuka, membuatnya menoleh panik.

Saat jam sekolah berakhir, Nayara menunggu sampai semua murid pulang, baru berani keluar dari gerbang.

Langit sudah mulai mendung. Ia menatap jalan depan sekolah, berniat langsung ke rumah.

Tapi saat langkahnya baru beberapa meter, mobil hitam itu berhenti di sisi trotoar.

Kaca jendela mobil perlahan turun.

Wajah Alaric muncul dengan senyum datar—senyum yang tidak bisa diartikan.

“Naik.”

katanya singkat.

“Aku… aku harus pulang.”

jawab Nayara, suaranya bergetar.

“Kalau kamu gak mau, aku bisa kirim foto semalam ke seseorang yang kamu kenal.”

tatapan Alaric menajam.

“Kamu pilih, Nayara.”

Napasnya tercekat.

Orang-orang di sekitar tidak tahu apa-apa. Hanya melihat mobil hitam mewah dan gadis muda yang berdiri kaku di depan gerbang sekolah.

Dan pada akhirnya, dengan langkah yang gemetar, Nayara membuka pintu mobil itu…

dan duduk di dalamnya tanpa suara.

Mobil melaju perlahan meninggalkan gerbang sekolah.

Dari luar, semua terlihat biasa saja. Tapi di dalam mobil itu, dunia Nayara kembali berubah.

———

Mobil berhenti di tempat yang sepi — halaman belakang gedung tua yang sudah lama kosong.

Tempat itu masih sama seperti dulu: pagar berkarat, rumput liar tumbuh tinggi, dan udara di sekitarnya terasa berat, seperti menyimpan banyak rahasia.

Nayara menatap keluar jendela. Tangannya menggenggam ujung rok seragamnya erat-erat, menahan gemetar.

“Ngapain kita di sini?”

suaranya pelan, hampir tak terdengar.

Alaric menatapnya beberapa detik sebelum menjawab.

“Tempat ini adalah tempat yang sangat ku sukai.”

Nayara menunduk, tak berani menatapnya.

Ia bersandar di kursi, matanya tak lepas dari wajah Nayara yang menolak menatapnya.

“Beberapa minggu aku di luar negeri, aku pikir aku bisa lupa.”

“Aku pikir cuma rasa ingin tahu.”

“Tapi ternyata... setiap malam aku masih kebangun cuma buat ngelihat pesan kamu yang belum pernah aku hapus.”

Nayara menelan ludah.

“Kak… jangan ngomong kayak gitu. Aku cuma—aku cuma pengen semuanya normal lagi.”

“Normal?”

Alaric menoleh cepat.

“Kamu pikir aku bisa pura-pura normal setelah semua ini?”

Nada suaranya naik sedikit, tapi bukan marah — lebih seperti seseorang yang kehilangan kendali atas perasaannya sendiri.

“Aku juga pengen tenang, Nayara.”

“Tapi setiap kali aku lihat kamu... aku cuma ngerasa kayak semua keputusan yang aku ambil selama ini salah.”

Hening.

Hanya suara angin yang menggesek dedaunan di luar jendela.

Nayara menatapnya, untuk pertama kalinya tanpa rasa takut — lebih ke bingung.

“Kak… kalau Kakak tahu itu salah, kenapa masih dilakuin?”

Alaric menatap balik, lama.

“Karena aku gak tahu cara berhenti.”

Kata-kata itu menggantung di udara, berat dan jujur.

Nayara terdiam. Ada sesuatu dalam nada suara pria itu yang berbeda — bukan ancaman, bukan godaan — tapi semacam luka yang tidak disembunyikan.

“Kamu gak perlu dateng lagi.”

“Kamu gak perlu nurutin aku.”

Alaric berkata tiba-tiba, membuat Nayara mengangkat wajah.

“Tapi jangan hindar aku.”

“Karena aku tahu, makin kamu lari, makin aku nyari kamu.”

Nayara tidak menjawab.

Ia menatap keluar jendela, mencoba menyembunyikan air matanya yang mulai menggenang.

“Aku capek, Kak,”

bisiknya akhirnya.

“Aku cuma mau hidup aku balik kayak dulu.”

Alaric diam.

Tatapannya kosong ke depan.

Beberapa detik kemudian, ia menghela napas panjang lalu berkata pelan:

“Turunlah, Nayara. Aku antar kamu sampai sini aja.”

Nayara menatapnya bingung, tapi tak berani bertanya.

Ia membuka pintu, keluar perlahan. Saat menutup pintu mobil, ia sempat mendengar suara Alaric di dalam mobil itu — pelan, hampir seperti bicara pada diri sendiri:

“Andai kamu tahu betapa susahnya aku ngelepas kamu…”

Mobil hitam itu kemudian melaju pergi, meninggalkan Nayara sendirian di tempat sepi itu.

Ia berdiri diam, menatap jalan yang kosong.

Untuk pertama kalinya, bukan hanya takut yang ia rasakan.

Ada rasa lain — aneh, samar, tapi nyata.

——————

Sudah hampir seminggu sejak Alaric kembali dari luar negeri.

Selama itu pula, Nayara tidak pernah benar-benar tenang.

Ia mencoba menjalani hari seperti biasa — bangun pagi, berangkat sekolah, membantu ibunya di rumah besar bila sempat — tapi ada rasa aneh yang tak bisa ia enyahkan dari dadanya.

Mobil hitam itu.

Mobil yang kadang terparkir di seberang jalan sekolahnya.

Tidak setiap hari, tapi cukup sering untuk membuatnya gelisah.

Dan setiap kali melihatnya, jantung Nayara seperti berhenti berdetak sejenak — takut tapi juga entah kenapa… ingin memastikan apakah benar itu milik seseorang yang ia kenal.

“Nay, kamu kenapa? Dari tadi liatin ke luar terus,” tanya temannya, sedikit heran.

“Enggak… cuman… kayaknya aku salah lihat aja,” jawab Nayara cepat, menunduk dan pura-pura membuka buku.

Namun begitu bel berbunyi dan kelas menjadi riuh, pandangan Nayara masih terus mengarah ke luar jendela.

Mobil itu sudah tidak ada.

Tapi rasa was-was nya justru semakin menjadi.

Ia bahkan sempat merasa ada seseorang yang berjalan di belakangnya saat menuju kantin.

Langkah kaki itu teratur, tidak terlalu cepat, tapi tidak juga lambat.

Tiap kali Nayara berhenti, langkah itu juga berhenti.

Saat ia menoleh — kosong.

Tidak ada siapa-siapa.

“Aku mulai gila…” gumamnya pelan sambil menepuk dada.

Sore itu, saat membuka laci mejanya untuk menyimpan buku, Nayara menemukan sesuatu.

Sebuah kertas kecil, dilipat rapi.

Ia sempat berpikir itu hanya catatan dari temannya, tapi begitu dibuka, napasnya tercekat.

Tulisan di atas kertas itu rapi — sangat familiar.

Huruf-huruf tegas dengan tinta hitam.

“Kamu berusaha menjauh, tapi bayangan selalu menemukan pemiliknya.”

Nayara menjatuhkan kertas itu, matanya membulat.

Tangannya gemetar saat mencoba menyembunyikan kertas tersebut ke dalam tas.

Dia tahu tulisan itu.

Dia tahu gaya huruf itu.

Alaric.

Untuk sesaat, pikirannya seperti dibanjiri suara-suara — detak jam kelas, bisikan teman-temannya, bahkan suara langkah di luar ruangan terdengar seperti gema dari kejauhan.

Ia menarik napas panjang, memejamkan mata, berusaha menenangkan diri.

“Dia tahu aku di mana…”

“Dia tahu aku berusaha pergi…”

“Kenapa dia selalu tahu?”

Malamnya, Nayara tak bisa tidur.

Ia terus memandangi ponselnya, berharap tidak ada pesan masuk.

Namun tepat pukul sebelas lewat dua menit, layar ponselnya menyala — satu pesan masuk tanpa nama pengirim.

Pesan:

Kamu lupa, Nayara. Aku tidak pernah benar-benar jauh.

1
Suki
Ngagetin!
OctoMoon: hehehe😊 Makasih yah kak karna sudah berkunjung di karya ku✨😊
total 1 replies
mr.browniie
Penuh makna
OctoMoon: Terimakasih kak karna sudah berkunjung✨😊
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!