Alden berjalan sendirian di jalanan kota yang mulai diselimuti dengan senja. Hidupnya tidak pernah beruntung, selalu ada badai yang menghalangi langkahnya.
Dania, adalah cahaya dibalik kegelapan baginya. Tapi, kata-katanya selalu menusuk kalbu, "Alden, pergilah... Aku tidak layak untukmu."
Apa yang menyebabkan Dania menyuruh Alden pergi tanpa alasan? Nantikan jawabannya hanya di “Senja di aksara bintang”, sebuah cerita tentang cinta, pengorbanan dan rahasia yang akan merubah hidup Alden selamanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NdahDhani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17: Jebakan
Saat ini, Alden sedang berada di rumah sakit. Sepulangnya dari mengantar Dania, Alden menemukan seorang pria paruh baya yang tergeletak tak sadarkan diri. Ia menemukan orang itu di sebuah parkiran perusahaan yang terlihat sepi.
Karena khawatir akan keselamatannya, Alden meminta bantuan satpam untuk menelpon ambulans. Sayangnya, ia harus ikut untuk memberikan keterangan lebih lanjut jika ditanya pihak rumah sakit.
Alden sempat berbicara dengan pria paruh baya itu dan kini ia duduk di bangku depan ruangan, berharap keluarga beliau akan segera tiba dan ia bisa kembali menjajakan dagangannya.
Ting!
Di sela-sela kegelisahannya dengan orang yang tidak dikenalinya itu, tiba-tiba saja ada sebuah pesan dari nomor yang tidak dikenali Alden.
"Temen lo ada sama gue. Kalo lo mau Rani selamat, lo datang sendirian ke tempat ini. Gue tunggu!"
Alden membulatkan matanya, ia tidak percaya apa yang ia baca. Rani, bagaimanapun ia adalah teman Alden. Meskipun gadis itu sempat menaruh rasa pada Alden beberapa waktu lalu.
Alden gelisah, ia tidak mungkin meninggalkan pria paruh baya itu sendirian selagi keluarganya belum tiba. Tapi, di lain sisi keselamatan Rani jauh lebih penting.
"Lo datang atau Dania juga akan mengalami nasib sama!"
Pesan dari nomor tidak dikenal itu kembali mengirimkan pesan padanya. Tanpa pikir panjang, Alden langsung berlari meninggalkan rumah sakit.
Pesan yang menyebutkan nama Dania, membuat Alden tidak bisa menunda lagi. Bagaimana pun ia tidak rela siapapun menyakiti gadis cantik itu.
Nafasnya memburu, antara marah dan khawatir. Ia bolak-balik mengecek ponselnya, melihat alamat yang dikirimkan oleh orang itu.
Tibalah Alden di sebuah gudang tak terpakai, yang terletak di sela-sela bangunan kosong yang berada di sekitar sana. Terlihat banyak barang-barang dan kotak-kotak berserakan di sekitar bangunan kusam itu.
Alden mengernyitkan dahi, pikirannya sudah melayang kemana-mana. Siapa orang yang mengirimkan pesan itu? Dan dimana Rani?
Ia melangkah masuk dengan hati-hati, berusaha untuk tidak menimbulkan suara apapun karena bisa saja didengar oleh si pengirim pesan.
Brak!
Suara benda terjatuh dari dalam ruangan, membuat Alden langsung berlari ke arah suara itu dan melihat sekeliling. Tapi kosong, tidak ada Rani atau siapapun di sana selain barang-barang yang tak terpakai.
"Rani!" teriaknya kemudian, berharap ada jawaban dari temannya itu. "Rani, kamu dimana?!"
Hening, tidak ada sahutan apapun dari dalam ruangan gudang itu. Alden mulai merasa janggal, tapi tidak mengurungkan niatnya untuk mencari temannya itu.
Baru saja melangkahkan kakinya, tiba-tiba saja pintu gudang tertutup keras, membuat Alden langsung menoleh.
"Woi! Siapa di sana!" teriak Alden sambil membuka pintu gudang. Alden terkejut dan mulai panik, pintu itu dikunci dari luar.
"Woi! Jangan main-main sama gue, siapa lo!" Alden mencoba untuk mendobrak pintu.
"Uhukk... Uhuk!" Alden terbatuk-batuk dan nafasnya terasa sesak ketika melihat asap yang masuk dari celah pintu.
Alden semakin merasa panik dan mendobrak pintu dengan keras. Ia tidak menyangka bahwa ini hanya jebakan. Dan Alden tidak tahu siapa orang dibalik semua ini.
"Ya Allah, selamatkan aku..."
...✧✧✧✧✧✧✧✧✧✧...
Dania sedang duduk di tepi ranjang ayahnya. Ia sangat khawatir dengan kondisi ayahnya saat ini. Ayahnya punya riwayat jantung, beruntungnya seseorang membawa ayahnya ke rumah sakit.
"Papa kenapa bisa gini? Dania khawatir," ujarnya lirih menatap ayahnya yang terbaring lemah, dengan selang infus di tangannya.
"Enggak papa sayang. Papa baik-baik aja." ujarnya sambil membelai pipi Dania lembut.
"Untungnya ada orang baik yang menolong papa." ujar ibu Dania yang duduk di kursi. "Tapi, siapa pemuda itu, Pa?"
"Papa enggak tau, Ma. Papa lupa tanya namanya. Intinya Papa sangat berterima kasih pada pemuda itu." ujar ayah Dania lirih.
"Pa, jangan banyak bicara dulu. Yang penting papa baik-baik aja. Semoga lekas sembuh, Pa." ujar Dania sambil memeluk ayahnya. Matanya terlihat berkaca-kaca menunjukkan betapa khawatirnya ia pada ayahnya itu.
"Iya pa. Papa harus banyak-banyak beristirahat jangan terlalu memikirkan apapun dulu." ujar Ibu Dania menimpali, sementara ayah Dania hanya mengangguk lemah. Istri dan anaknya benar-benar mengkhawatirkannya saat ini.
"Papa baik-baik aja sayang. Doakan yang terbaik untuk papa. Papa pasti akan sembuh." Ibu Dania membelai lembut rambut Dania, berusaha menenangkan putrinya itu meskipun ia sendiri sangat khawatir akan suaminya.
Sementara itu, Alden berhasil keluar dari gudang kosong. Untung saja Fathan cepat mengangkat panggilan dari Alden dan ia langsung bergerak cepat untuk menyelamatkan sahabatnya itu dari kobaran api yang kian membesar.
Untung saja pemadam kebakaran cepat tiba dan memadamkan api sebelum merambat kemana-mana.
"Lo kenapa bisa terjebak di situ?" ujar Fathan merasa aneh.
"Gue dijebak. Tadinya ada yang ngirim pesan ke gue. Dia bilang Rani dalam bahaya, dan bawa-bawa nama Dania juga. Gue gak mikir panjang langsung ke sini." jelas Alden membuat Fathan geram.
Fathan menggenggam tinju, dan nafasnya mulai memburu karena emosi. "Kurang ajar! Siapa yang berani ngelakuin ini sama lo?!"
"Argh! Gue bakal cari tu orang. Siapapun dia harus bertanggung jawab atas apa yang dia lakukan sama lo!" Tiba-tiba saja Fathan menghantam tembok, ia terlihat sangat marah dengan kejadian yang menimpa Alden hari ini.
Fathan sepertinya benar-benar ingin menebus kesalahannya yang telah lalu. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk membuat orang yang berniat buruk pada Alden akan menyesali perbuatannya.
"Gue gapapa kok. Thanks udah nolongin gue." ujar Alden sambil menepuk pundak Fathan, berusaha untuk menenangkan emosi sahabatnya itu.
"Aman. Yang penting lo baik-baik aja." ujar Fathan kembali menepuk pundak Alden dan mengatur nafas yang masih terlihat sangat marah.
"Tapi gue masih gak ngerti. Lo di jebak berarti ada yang dendam sama lo."
"Gue juga gak tau ini ulah siapa. Gue gak bisa langsung berasumsi dan nuduh seseorang begitu aja tanpa bukti." jelas Alden.
Pemuda itu memang harus memikirkan apapun matang-matang sebelum bertindak. Ia tidak ingin pesimis mengingat pesan ibunya.
"Lo memang gak pernah berubah. Lo masih sama seperti Alden yang gue kenal. Gue bakal buat dia menyesal!" Fathan menekankan kata 'dia', walaupun ia sendiri tidak tahu siapa dalang dibalik permainan ini.
"Lo gak perlu terlibat dalam masalah gue. Gue jadi gak enak." ujar Alden yang merasa tidak enak mengaitkan permasalahannya ini kepada sahabatnya itu.
"Anggap aja ini sebagai bentuk permintaan maaf gue karena kesalahan lalu. Please jangan tolak, lo udah gue anggap kayak sodara sendiri. Lo tau sendiri kakak gue meninggal karena kecelakaan dan itu buat gue kesepian."
Alden terdiam, memang benar adanya apa yang diceritakan Fathan. Mengingat cerita Fathan yang tidak akur dalam keluarganya sendiri.
Hanya kakak laki-lakinya itu yang selalu ada untuk Fathan. Tapi, takdir berkata lain. Kakaknya telah lebih dulu menghadap sang ilahi.
"Thanks," hanya kalimat itu yang diucapkan Alden yang hanya diangguki singkat oleh Fathan.
Mereka mungkin belum berteman lama, tapi ikatan persahabatan mereka mulai terjalin kembali meskipun sempat berselisih paham dan asing beberapa waktu lalu.
^^^Bersambung...^^^