Vexana adalah seorang Queen Mafia, agar terbebas dari para musuh dan jeratan hukum Vexana selalu melakukan operasi wajah. Sampai akhirnya dia tiba di titik akhir, kali ini adalah kesempatan terakhirnya melakukan operasi wajah, jika Vexana melakukannya lagi maka struktur wajahnya akan rusak.
Keluar dari rumah sakit Vexana dikejutkan oleh beberapa orang.
"Ibu Anne mari pulang, Pak Arga sudah menunggu Anda."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lunoxs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 - Mengalihkan Pikiran Dengan Sentuhan
"Hentikan, naiklah ke kamarmu," titah Arga, mengakhirinya semua pembicaraan yang baginya tak masuk akal.
Mas?
Sayang?
Astaga, Anne seolah selalu mampu membuatnya kehabisan kata-kata.
"Siap, Sayang," balas Anne menggoda, lalu langsung pergi tanpa beban sedikitpun. Malah bersemangat karena tak sabar membuka semua barang belanjaannya.
Arga geleng-geleng kepala sendiri, terus menyakini bahwa wanita itu adalah Anne.
*
*
Malam turun pelan-pelan menyelimuti rumah istri kedua yang megah, aroma lavender dari diffuser otomatis yang menyala setiap jam delapan.
Vexana baru saja selesai mandi. Rambutnya diikat tinggi, wajahnya segar tanpa riasan berlebihan, hanya lip balm dan wangi tubuh vanilla yang ia semprot secukupnya.
Di ranjangnya, tertata tiga lingerie dari belanjaannya tadi. Awalnya Vexana ingin menjadikan ini semua sebagai hadiah, tapi Arga terlalu kaku untuk hadiah semanis ini. Jadi Vexana secara mandiri hendak menunjukkannya sendiri.
Satu merah menyala, model klasik dengan renda tipis.
Satu hitam transparan, super minim dan sedikit terlalu!berani?
Satu lagi putih mutiara, dengan detail pita dan kesan innocent yang menipu.
Dengan wajah santai Vexana keluar kamar sambil membawa ketiganya. Ia berjalan menuju ruang kerja Arga tanpa ragu, seperti sedang membawa hadiah kejutan.
Tok. Tok.
Pintu terbuka. Arga berdiri di ambangnya, masih mengenakan pakaian yang sama sejak sore. Kemeja abu-abu, lengan digulung, dan celana panjang gelap. Tatapannya sedikit lelah, sampai matanya membulat pelan melihat Anne berdiri di depan pintu, mengangkat tiga lingerie ke udara dengan bangga.
“Aku bingung, Mas,” ucap Vexana tanpa basa-basi. “Malam ini Mas ingin aku pakai lingerie yang mana?”
Arga diam, mengedip sekali, lalu dua kali.
"Apa?” tanyanya tak percaya.
“Merah seksi, hitam liar, atau putih pura-pura polos?” lanjut Vexana, menyodorkan ketiganya seperti sedang menawarkan brosur paket bulan madu.
Arga memejamkan mata sejenak, lalu mengembuskan napas panjang. “Kamu datang ke ruang kerjaku hanya untuk bertanya tentang pakaian dalam?”
“Aku istrimu, Mas. Masa bertanya tentang lingerie saja dibilang menganggu?”
Arga menggeleng pelan, tatapannya tak percaya. “Anne, dengarkan aku baik-baik. Kita tidak akan melakukan apapun sampai kamu melakukan pemeriksaan dokter.”
Vexana tersenyum kecil, “Tapi jika secara mental aku waras, secara batin aku siap, masa harus menunggu hasil lab?”
“Ini bukan soal itu.”
“Lalu soal apa? Takut aku nanti amnesia lagi saat sedang aktif?”
“Anne.” Suara Arga mulai tegas. “Kita tunggu hasil pemeriksaan. Selesai. Simpan semua lingerie itu untuk nanti.”
Vexana memutar bola matanya dramatis. “Ya sudah, aku hanya ingin bertanya saja. Jadi bisa disortir mana yang buat malam kamis, Jum'at dan sabtu."
Arga hampir saja kehilangan kesabaran, tapi entah kenapa dia tidak bisa marah. Anne terlalu berbeda, dan membuatnya kewalahan.
“Aku pilih yang putih,” ucap Arga akhirnya, “Tapi bukan untuk malam ini.”
Vexana tersenyum puas. “Noted, akan ku catat. Mas ingin aku memakai warna putih saat mau membuat anak."
Dengan santai, Vexana berbalik meninggalkan Arga yang memandangi punggungnya dengan menghela napas.
"Wanita ini… apa benar Anne?' Arga mengusap wajahnya frustasi. Mengambil ponsel di saku celananya dan menghubungi Donna bahwa malam ini dia tak bisa pulang.
Bukan tanpa alasan, sebab Arga begitu enggan menyentuh Anne sebelum adanya pemeriksaan kesehatan. Donna setuju.
Hari pemeriksaan tiba.
Vexana duduk di ruang tengah, berpakaian sopan dengan setelan tunik bunga-bunga dan celana kulot lebar, rambutnya dikepang manis dua sisi. Penampilannya sangat Anne sekali, lembut, sederhana, dan tidak mengancam siapa pun.
Padahal di dalam kepala, mantan mafia itu sedang merancang strategi. Bagaimana caranya agar hasil pemeriksaan tetap menunjukkan 'gegar otak ringan' tidak kurang, tidak lebih dan yang pasti, jangan sampai ketahuan bahwa dia sebenarnya bukan Anne.
"Dokternya sebentar lagi sampai, Nyonya," ujar pelayan.
Vexana tersenyum manis. “Terima kasih, Bi. Biar aku yang sambut, ya. Aku suka dokter.”
Sambut? Dokter?
Arga yang kebetulan melintas langsung menoleh. “Kamu suka dokter?”
“Maksudnya, aku suka suasana rumah yang sehat dan penuh perhatian. Seperti itu, Mas,” jawab Vexana cepat, berkilah. Padahal maksud awal dia suka dokter karena memungkinkan untuk memutilasi orang.
'Ya Tuhan, aku harus meredam jiwa iblisku,' batin Vexana.
Beberapa saat kemudian, datanglah Dokter Hamish dan membawa tas medis berukuran besar.
Vexana langsung menghampiri dan menjabat tangan sang dokter terlalu lama. “Halo, Dok. Aku Anne, tapi kata suamiku sekarang aku Anne versi 2.0.”
Dokter Hamish tertawa kecil, menatap Arga penuh tanya.
Arga hanya mengangkat bahu. “Silakan periksa, Dok. Aku juga ingin tahu... sejauh apa gegar otaknya.”
Sesi pemeriksaan dimulai di kamar Anne. Arga menunggu di luar agar tidak menganggu jalannya pemeriksaan.
“Nama lengkap Anda?” tanya Hamish memulai semuanya.
Vexana tersenyum. “Anne... eh, Dewangga? Atau masih pakai nama keluarga lama?”
“Baik. Berarti Anda ragu soal nama sendiri?”
“Bukan ragu, kupikir namaku fleksibel.”
Dokter mencatat. “Tahu tahun berapa sekarang?”
“Um...” Vexana pura-pura mengernyit. “Dunia ini... kan keras, ya. Tahun-tahun tuh seperti kabur begitu.”
“Jadi?”
“2002?”
“Ini 2025.”
“Oya? Cepat sekali ya waktu berlalu.”
Dokter Hamish menyipitkan mata, menatap lebih intens.
"Tes memori sederhana ya, Bu Anne. Saya akan ucapkan tiga kata, Anda ulangi sekarang, dan nanti saya minta ulang lagi setelah beberapa menit."
"Oke, siap."
“Tiga kata, apel, sepeda, dan rumah.”
“Apel, sepeda, rumah. Mudah.”
“Bagus. Sekarang kita tes lainnya. Saya akan tunjukkan jam dinding, coba baca pukul berapa sekarang.”
Vexana langsung menjawab, “Jam 9 lewat 15.”
“Bagus. Sekarang gambar jam di kertas ini, pukul 3 tepat.”
Vexana mengambil pulpen, lalu menggambar bulat… dan menaruh angka acak, 3 di atas, 12 di bawah, dan jarum jam seperti ular mabuk.
Dokter hanya menghela napas.
“Ibu tahu fungsi jam itu?”
“Untuk… hiasan dinding.”
“Oke.”
Satu jam kemudian, pemeriksaan selesai. Vexana keluar dengan senyum lebar, sementara Dokter Hamish menyusul dengan wajah tak kalah bingung dari Arga yang menunggunya.
“Bagaimana, Dok?” tanya Arga, waspada.
Dokter Hamish membuka catatannya. “Secara fisik tidak ada kelainan. Tapi secara kognitif, ada beberapa gejala yang bisa dikategorikan sebagai gegar otak ringan campur gejala histeria ringan. Sementara tidak ada alasan untuk membawanya ke rumah sakit. Tapi ibu Anne harus rutin evaluasi.”
“Jadi dia masih bisa menjalani kehidupan normal?”
“Dengan sedikit adaptasi, iya.”
Arga mengangguk, sedikit lega.
Vexana langsung menimpali, “Berarti aku sehat, kan? Mas, ayo kita buat anak sekarang. Sebelum aku lupa lagi!” katanya polos dengan mata berbinar.
Dokter Hamish sampai mendelik saat mendengar hal tersebut, sementara Arga menutup mata sambil menahan napas.
“Sekian dari saya,” pamit Dokter Hamish dan seorang pelayan mengantarnya keluar rumah.
Arga memandang Vexana dengan ekspresi campur aduk. “Kamu serius saat mengatakan ingin buat anak?”
“Tentu, Mas. Aku sudah dinyatakan sehat.”
“Sehat ... dengan catatan kamu baru saja mengatakan bahwa jam fungsinya untuk hiasan dinding.”
"Memangnya untuk apa?"
Arga hanya bisa menghela napas panjang. Wanita ini benar-benar membuatnya pusing.
'Kenapa Arga masih menatapku curiga? Apa yang harus lakukan sekarang, setidaknya dia tidak terus mengingat tentang pemeriksaan dokter.' batin Vexana.
Di otaknya hanya ada satu cara yang terbesit, mengalihkan pikiran dengan sentuhan.
"Mas, sebenarnya pemeriksaan tadi membuatku sedikit pusing, aku mau peluk," pintanya kemudian, lalu tanpa aba-aba memeluk Arga dengan erat.
Grep!
gass.....
semoga saja arga lebih tertarik dengan anna daripada anne.ya🙏🙏👍👍 spy anne bisa di tolong lagi dengan monica untk menjauhkan dari donna ya...🙏🙏😱😱😔😔