Julia (20) adalah definisi dari pengorbanan. Di usianya yang masih belia, ia memikul beban sebagai mahasiswi sekaligus merawat adik laki-lakinya yang baru berusia tujuh tahun, yang tengah berjuang melawan kanker paru-paru. Waktu terus berdetak, dan harapan sang adik untuk sembuh bergantung pada sebuah operasi mahal—biaya yang tak mampu ia bayar.
Terdesak keadaan dan hanya memiliki satu pilihan, Julia mengambil keputusan paling drastis dalam hidupnya: menjadi ibu pengganti bagi Ryan (24).
Ryan, si miliarder muda yang tampan, terkenal akan sikapnya yang dingin dan tak tersentuh. Hatinya mungkin beku, tetapi ia terpaksa mencari jalan pintas untuk memiliki keturunan. Ini semua demi memenuhi permintaan terakhir kakek-neneknya yang amat mendesak, yang ingin melihat cicit sebelum ajal menjemput.
Di bawah tekanan keluarga, Ryan hanya melihat Julia sebagai sebuah transaksi bisnis. Namun, takdir punya rencana lain. Perjalanan Julia sebagai ibu pengganti perlahan mulai meluluhkan dinding es di
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Larass Ciki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
RYAN
“Ayah, kita mau ke mana?” tanya Noel, suaranya polos namun penuh rasa ingin tahu saat aku menggendongnya. Rasanya hatiku berdebar. Bagaimana bisa aku memberitahunya bahwa aku akan membawanya pergi dari ibunya? Rasanya seperti pisau yang mengiris dadaku.
“Bawa bayi yang sedang beristirahat. Aku akan membiarkanmu tinggal bersama Paman Chris,” jawabku dengan suara yang terkendali. Aku bisa merasakan tatapan tajam Noel yang menusuk dari belakang, tapi aku tidak peduli. Aku berjalan menuju kamar presidensial, tempat aku akan menaruhnya sementara aku pergi mencari wanita yang baru saja menyusup ke hidupku.
“Chris, jaga dia. Aku akan datang sebentar lagi,” kataku setelah memastikan Noel aman di kamar bersama Chris.
“Noel, tunggu aku,” aku menciumnya di kening, terasa manis dan murni.
“Chris, pastikan anakku tidak kelaparan. Masak sesuatu untuknya atau bawakan makanan,” ujarku sambil menatap Chris dengan serius.
“Ryan, aku tahu apa yang harus kukatakan, tapi anak itu ada di sini, jadi aku tak akan berkata apa-apa,” jawabnya, wajahnya tampak terganggu. Aku hanya menyeringai dan segera beranjak, meninggalkan mereka berdua.
Aku melangkah cepat menuju ruang dansa, berharap menemukan wanita yang telah menarik perhatianku, namun dia tidak ada di sana. Aku kemudian pergi keluar, mencari lebih lanjut. Dan di sana, di tengah taman bunga yang indah, dia berdiri, memegang seikat tulip merah. Wanita ini, ibu dari anakku. Benar-benar cantik. Senyumku tak bisa terkendali.
Aku mengeluarkan ponselku dan mengambil gambar dia dengan cepat, tak bisa menahan diri. Betapa cantiknya dia. Aku tersenyum sendiri, menikmati pemandangan yang ada. Setelah itu, aku mulai berjalan mendekatinya perlahan, namun dia tidak menyadari keberadaanku. Detak jantungku semakin cepat, dan tiba-tiba dia berbalik hendak pergi.
Sebelum dia bisa melangkah lebih jauh, aku menutup mulutnya dengan telapak tanganku dan menyeretnya ke sudut gelap. Dia berjuang, menendang dan mencoba melepaskan diri, tetapi aku tak memberinya kesempatan. Aku mendorong tubuhnya ke dinding, menatapnya tajam. Wajahnya penuh kebingungan dan rasa takut, namun aku tak peduli. Aku sudah terlalu jauh terjerat dalam emosiku.
Dia mulai berteriak, tetapi aku tak memberi ruang untuk suara itu. Aku menundukkan kepala dan mencium lehernya. Aku tak bisa menahan diri, perasaan ini terlalu kuat. Begitu manis, tubuhnya begitu lembut, membuatku hampir kehilangan akal sehat. Kendalikan dirimu, Ryan. Aku mengingatkan diriku sendiri, berusaha sekuat tenaga untuk tidak terbawa perasaan. Wanita ini, dia berani berbicara marah padaku, bahkan menamparku. Itu membuatku merasa asing pada diriku sendiri. Jika itu wanita lain, aku mungkin sudah memerintahkan pengawalku untuk memotong tangannya, tapi dia berbeda. Dia mengendalikan aku dengan cara yang tak bisa kujelaskan.
Aku memaksakan ciuman lebih lama lagi, seakan tak bisa berhenti. Rasanya seperti aku bisa menghabiskan sisa hidupku hanya untuk menciumnya. Tapi akhirnya, aku melepaskannya. Begitu aku mundur, dia hendak menamparku lagi, tapi aku hanya tersenyum, seakan menantangnya.
“Mau lihat anakmu?” tanyaku, memandangi ekspresinya yang begitu emosional.
Senyumnya kembali muncul, kali ini jauh lebih cerah, penuh kebahagiaan. Matanya berbinar, seakan dunia menjadi miliknya. Aku melihatnya dan merasa hatiku meleleh, seketika.
“Bolehkah?” jawabnya dengan suara lembut, penuh harapan. Itu pertama kalinya aku melihat senyum seindah itu darinya. Aku merasa sedikit lebih hidup hanya dengan melihatnya.
Namun, entah mengapa, pikiran buruk menghantui. Kata-kata nenek terdengar kembali di kepalaku. Wanita ini melahirkan demi uang, dan aku merasa sakit ketika mengenangnya. Jantungku terasa sesak, perasaan cemburu muncul begitu saja, mengingat kata-kata yang pernah diucapkan nenek.
“Biarkan aku menidurimu sekarang, dan aku akan membiarkanmu melihatnya,” kataku dengan suara penuh racun. Begitu kata-kata itu keluar, senyumnya menghilang begitu cepat, digantikan dengan rasa sakit yang jelas terlihat di wajahnya. Air mata mulai mengalir dari matanya. Aku merasa seperti sampah, begitu rendah. Apa yang telah kulakukan? Mengapa aku menjadi seperti ini? Kenapa aku harus menyakiti wanita yang hanya ingin bertemu dengan anaknya?
“Jangan pernah muncul di hadapanku lagi,” dia berkata dengan suara penuh kebencian. “Aku bukan pelacur,” lanjutnya, dan itu seperti pisau yang menusuk dadaku. Aku merasa hancur, namun dalam diriku, aku tahu aku tak bisa membiarkannya pergi begitu saja.
Namun, aku tak bisa menahan amarah yang memuncak. Dia ingin pergi, jadi aku menariknya kembali, memegang tangannya dengan erat.
“Jadilah wanitaku. Aku akan memberimu segala yang kau inginkan,” kataku dengan penuh kejujuran. Aku ingin dia, dan anakku juga membutuhkan ibunya. Aku tak bisa membiarkan wanita ini pergi lagi, seperti yang terjadi bertahun-tahun lalu.
“Apa kau menganggapku pelacur?” Dia berbicara dengan suara serak, dan aku merasakan hatiku hancur mendengar pertanyaannya. Aku mengingat kembali bagaimana dulu aku memanggilnya dengan kata-kata kasar, melempar uang padanya. Itu membuatku merasa semakin jelek.
“Aku tak peduli berapa banyak pria yang pernah tidur denganmu,” jawabku dengan suara datar, mencoba menutupi rasa sakit yang aku sendiri rasakan. Dalam pikiranku, aku merasa begitu egois, merasa memilikinya. Namun, pada saat yang sama, ada perasaan cemburu yang sangat mendalam. Aku tidak bisa membayangkan dia bersama pria lain. Dia milikku.
Tapi dia memaksaku untuk melihat kenyataan. “Jika kau pikir aku tidur dengan pria lain, mengapa kau ingin aku menjadi wanitamu?” katanya, suaranya penuh dengan kebingungan dan rasa kecewa. Aku tidak punya jawaban, hanya diam. Apa yang terjadi padaku? Kenapa aku ingin dia, padahal aku bisa mendapatkan siapa pun yang aku inginkan?
Aku menarik napas dalam-dalam dan mengabaikan kata-katanya. Aku meraih pinggangnya, mendekatkan tubuhku, dan berbisik di telinganya, “Aku akan memberimu semua yang kau inginkan.” Dia menatapku dengan senyum menggoda yang membuatku hampir kehilangan akal.
“Apa yang kau inginkan?” jawabnya sambil meletakkan tangannya di dadaku dengan gerakan yang penuh godaan. Aku hampir tidak bisa menahan diri.
“Aku ingin hak asuh penuh atas anakku dan aku ingin dia memanggilku mama,” katanya, dan aku hampir tak bisa bernapas. Apa? Itu yang dia inginkan? Hak asuh penuh atas Noel, anakku? Dia ingin menggantikan posisiku dalam hidup anakku?
Aku menertawakan diriku sendiri, merasa bodoh. Aku kira dia menginginkan kehidupan mewah, penuh berlian dan emas, tetapi ternyata yang dia inginkan hanyalah hak asuh anakku. Itu berarti dia ingin membuangku dari hidup mereka berdua. Wanita ini berbeda dari yang lain.
“Kita tidak akan bertemu lagi, Tuan Winston. Bayarlah utangmu dengan menjadikan anakmu seorang pria yang berpendidikan dan menghormati wanita,” katanya, sambil mendorongku menjauh. Kata-katanya mengena tepat di hatiku. Aku tahu aku telah merendahkannya selama ini, dan sekarang dia tak ingin aku menjadi bagian dari hidupnya.
Wanita ini tidak seperti yang dikatakan nenek. Dia tidak peduli dengan uang. Yang dia inginkan hanya anaknya. Aku hanya berdiri di sana, menonton saat dia pergi. Aku tahu aku tak bisa membiarkannya pergi begitu saja. Ada sesuatu yang lebih besar di sini, sesuatu yang harus aku cari tahu. Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi, terutama saat aku teringat hari terakhir aku melihatnya. Mungkinkah dia datang untuk membawa Noel hari itu? Aku harus menemukan jawabannya.
julian demi adiknya, kadang athor bilang demi kakaknya🤦♀️🤦♀️🤦♀️🤦♀️🤦♀️
y illahi
dialog sma provnya
dn cerita, susah di mengerti jdi bingung bacanya
ga mau kasih duit, boro" bantuan
duit bayaran aja, aja g mau ngasih
,mati aja kalian keluarga nenek bejad
dn semoga anaknya yg baru lair ,hilang dn di temukan ibunya sendiri
sungguh sangat sakit dn jengkel.dn kepergian noa hanya karna uang, tk bisa di tangani😭😭😭